Mohon tunggu...
Rafael Ilham
Rafael Ilham Mohon Tunggu... Atlet - mhs

atlet

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi dari Pandangan Pelaku Tradisi Larangan Perkawinan Ngalor-Ngulon Masyarakat Adat Jawa

3 Juni 2024   09:31 Diperbarui: 3 Juni 2024   09:48 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

(Studi Kasus di Dusun Cinderejo Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono 

Kabupaten Wonogiri) 

Penulis Skripsi Oleh SITI ARISKA NURJANNAH 

NIM.19.21.2.1.041 

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta 

 

Di Review Oleh 

Rafael Ilham Prayogo ,222121198

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta 

 

PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang Masalah 

    Perkawinan adalah ikatan kesepakatan calon pengantin pria dan calon pengantin wanita untuk memenuhi kehendak Allah dan sunnatullah. Menurut UU No. 1 Tahun 1974, pernikahan berarti hubungan yang mengikat lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bertujuan membentuk keluarga yang sakinah, bahagia, dan kekal dengan sumber pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hukum adat, pernikahan bermakna hubungan laki-laki dan perempuan dengan tujuan mempertahankan keturunan agar tidak punah.

    Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan etnis, masing-masing dengan adat dan persyaratannya sendiri dalam hal pernikahan. Setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri yang dilestarikan oleh masyarakat setempat. Dalam masyarakat Jawa terdapat aturan atau batasan dalam memilih pasangan sebelum menikah, seperti bibit, bebet, bobot dan ada beberapa jenis perkawinan yang menurut masyarakat jawa tidak boleh untuk dilakukan.

 Salah satunya larangan perkawinan"ngalor-ngulon" dalam memilih calon pasangan. Berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang sah dalam pernikahan menurut Hukum Islam, bila persyaratan dan ketentuan tersebut telah terpenuhi, maka pernikahan tersebut dapat diadakan.  

    Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa tidak boleh menikah antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan turun-temurun ke atas atau ke bawah  

2. Berhubungan dalam garis keturunan menyamping antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua, dan antara seseorang dengan saudara neneknya  

3. Memiliki hubungan semenda, seperti mertua, anak tiri menantu, dan ibu atau bapak tiri  

4. Berhubungan sepersusuan  

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri 

6. Memiliki hubungan yang dilarang menurut agama atau peraturan lain yang berlaku. 

7. Secara aturan adat dan perundang-undangan ada larangan yang masih menjadi aturan adat bagi masyarakat jawa, yaitu larangan perkawinan ngalor-ngulon. 

    Akan tetapi, realita di masyarakat menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang mematuhi aturan larangan perkawinan ngalor-ngulon, ada beberapa masyarakat yang tidak mematuhi aturan tersebut. Jika dilihat berdasarkan hukum islam dan aturan perundang-undangan tidak ada larangan secara jelas tentang perkawinan ngalor-ngulon. Namun, di masyarakat banyak yang mematuhi dan mempercayai larangan tersebut yang biasanya harus diperhatikan sebelum pernikahan. 

    Larangan perkawinan ngalor-ngulon merupakan aturan yang ada sebelum pernikahan dilaksanakan dan masih dipertahankan sampai sekarang oleh masyarakat Jawa. Perkawinan ini tidak boleh untuk dilaksanakan karena dianggap melanggar tradisi aturan ataupun adat yang berlaku di masyarakat. 

    Adanya larangan ini merupakan sebuah adat yang sudah sejak lama dipegang dan dipercayai serta berkembang di masyarakat jawa khususnya masyarakat di Dusun Cinderejo Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Mayoritas masyarakat di Dusun Cinderejo Desa Jatisari memegang kuat kepercayaan kejawen, salah satunya mempercayai larangan perkawinan ngalor-ngulon, akan tetapi ada beberapa masyarakat yang tidak mempercayainya. 

Beberapa masyarakat yang tidak mempercayai akan hal tersebut dikarenakan mereka mempercayai bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini mutlak karena takdir dari Allah Swt. Sedangkan bagi masyarakat yang memilih untuk mematuhi aturan tersebut dikarenakan mereka memilih untuk menghargai dan melestraikan aturan jawa yang ada di lingkungan sekitar. 

    Menurut pemaparan narasumber yang berkedudukan sebagai sesepuh di Dusun tersebut, beliau memaparkan bahwa adanya larangan pernikahan ngalor-ngulon ini berdasarkan tradisi leluhur yang ada. Ditambah statement bahwa daerah zaman dahulu Kabupaten Wonogiri  sebelah timur mendapatkan julukan daerah buwakan. Yang memiliki arti daerah seburuk-buruknya orang yang diasingkan. 

     Perkawinan ngalor-ngalon ini jarang terjadi, karena sebagian masyarakat memilih menaati aturan tersebut, atau jika tetap ingin melakukan pernikahan maka mereka memilih melakukan tala bala agar hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.  Adanya larangan perkawinan ngalor-ngulon yang berkembang tidak dijelaskan bagaimana sejarah munculnya larangan pernikahan ngalor-ngulon ini, masyarakat hanya mengatakan bahwa ini peninggalan dari nenek moyang. 

Kondisi lingkungan masyarakat yang masih memegang kuat kepercayaan jawa juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap aturan larangan perkawinan ngalor-ngulon ini. Selama aturan adat yang berlaku di masyarakat tidak bertentang dengan kebaikan dan agama, maka kita harus menghargai dan menghormati adat yang ada.

    Alasan peneliti dalam memilih judul penelitian ini yaitu pertama, penelitian ini termasuk dalam bidang jurusan kuliah saya yaitu Hukum Keluarga Islam. Kedua, penelitian ini termasuk dalam pembahasan mata kuliah Fiqh Munakahat dan Hukum Adat. Ketiga, di dalam penelitian ini sangat relevan untuk menjawab pertanyaan masyarakat tentang kepercayaan dan hukum terhadap salah satu larangan perkawinan adat jawa yaitu larangan perkawinan ngalor-ngulon.

   Dari pemaparan alasan pemilihan judul dan latar belakang tersebut muncul beberapa kontroversi di masyarakat jawa, terutama terhadap masyarakat yang memilih untuk tetap melaksanakan perkawinan ngalor-ngulon. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk mencari tahu bagaimana sejarah adanya larangan perkawinan ngalor-ngulon ini dan pandangan pelaku larangan tersebut. 

Dalam hal ini peneliti akan mengkaji lebih mendalam dengan skripsi yang berjudul "Pandangan Pelaku Tradisi Larangan Perkawinan Ngalor-Ngulon Masyarakat Adat Jawa (Studi Kasus di Dusun Cinderejo Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri)" 

B. Rumusan Masalah

Apa yang melatar belakangi adanya larangan perkawinan ngalor-ngulon di Dusun Cinderejo Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ? 

Bagaimana pandangan pelaku terhadap larangan perkawinan ngalor-ngulon di Dsn. Cinderejo Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ? 

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui latar belakang adanya larangan perkawinan ngalor-ngulon di Dusun Cinderejo Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.

Mengetahui pandangan pelaku terhadap larangan perkawinan ngalor-ngulon di Dusun Cinderejo Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.

D. Manfaat Penelitian

1. Segi Teoritis, hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat mengembangkan dan mempraktikkan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Keluarga Islam khususnya dalam kajian ilmu hukum keluarga tentang larangan perkawinan bagi masyarkat adat jawa. 

2. Segi Praktis, adanya penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai referensi bagi seluruh pihak yang berkompeten didalam bidang hukum terkhusus dibidang hukum keluarga dan hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran secara lengkap dan menjawab beberapa pertanyaan masyarakat tentang beberapa larangan pernikahan adat jawa dilihat dari sudut pandang orang yang melanggar larangan tersebut. 

E. Kerangka Teori 

1. Pernikahan Menurut Hukum Islam Pengertian pernikahan dalam agama Islam adalah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga. Dalam fiqh munakahat, pernikahan berarti perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk mengesahkan hubungan mereka demi mencapai keluarga yang harmonis, penuh cinta, dan penuh berkah agar mendapat ridha Allah SWT. 

Sebelum seseorang menikah, syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Rukun pernikahan meliputi adanya calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali, dua orang saksi, dan ijab yang dilakukan oleh wali dan calon suami. Sementara itu, syarat pernikahan meliputi beragama Islam, mempelai pria bukan mahramnya, tidak melaksanakan ibadah haji, dan tidak ada unsur paksaan.

2. Pernikahan Menurut Hukum Adat  Secara hukum adat, pernikahan memiliki arti hubungan antara laki-laki dan perempuan yang menyatukan dua belah pihak baik dalam hal kekerabatan ataupun lingkungan masyarakat. Sedangkan tujuan pernikahan menurut hukum adat yaitu, terbentuk keluarga secara sah dan seluruh anggota keluarga nya bekerja sama demi keberlangsungan rumah tangga keluarga tersebut, dan memiliki hak serta keturunan secara sah.

Sahnya pernikahan menurut masyarakat adat pada umumnya bergantung dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Namun ada beberapa adat yang memiliki kriteria ataupun persyaratan tersendiri agar pernikahan tersebut dinyatakan sah baik secara hukum Indonesia maupun hukum adat.

    Masyarakat adat jawa sendiri menerapkan beberapa persyaratan sebelum orang tersebut melaksanakan pernikahan, diantaranya yaitu :

a. Umur, demi keberlangsungan tujuan pernikahan, adat jawa sendiri menerapkan batas umur pernikahan. Yang dimaksud batas umur disini baik laki-laki ataupun perempuan sudah baligh secara agama. 

b. Kuat gawe, memiliki arti cukup mampu untuk menghidupi dirinya sendiri, keluarganya dan kebutuhan rumah tangga. 

c. Mahar, yaitu barang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebelum berlangsungnya pernikahan. Mahar bisa berupa uang, barang, makanan atau binatang. Masyarakat jawa sendiri biasanya menyebut uang tukon. 

3. Larangan Perkawinan Ngalor-Ngulon Larangan Perkawinan Ngalor-Ngulon merupakan salah satu adat yang ada di masyarakat jawa yang mana orang tua tidak membolehkan anaknya menikah dengan orang yang berada di utara atau barat desa. Tradisi larangan pernikahan ini dilakukan sesuai aturan yang berada dikalender jawa. Sebelum pernikahan dilaksanakan, terdapat perhitungan atau pelaksanaan hari baik pernikahan yang ada kaitannya dengan weton dan arah rumah yang disebut petung jawi. 

   Petung jawi merupakan perhitungan baik atau buruk yang digambarkan dalam lambang atau watak hari, tanggal, bulan, tahun dan lain sebagainya. Aturan yang seperti ini tetap dilaksanakan oleh masyRarakat adat agar dalam pernikahan tersebut tercipta keberkahan, kebahagiaan dan dijauhkan oleh maksiat yang ada.    

F. Metode Penelitian

   Penyusunan penelitian ini menggunakan teknik penulisan yaitu : 

1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Sumber data yang digunakan terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Menggunakan pendekatan yang memiliki arti penelitian yang memberikan deskripsi yang rinci tentang fenomena atau peristiwa sesuai kondisi keadaan yang ada di lapangan.19 

2. Sumber Data 

Data Primer Data primer/utama adalah data yang diperoleh dari sumber asli. Dalam penelitian ini data utama akan diperoleh dari narasumber yang memahami tentang larangan pernikahan ngalor-ngulon, dan masyarakat yang melanggar aturan tersebut.

Data Sekunder Data sekunder adalah sumber data yang tidak dapat diperoleh secara langsung. Contohnya dapat berasal dari orang lain ataupun dokumen tertulis. Data sekunder berfungsi sebagai data yang mendukung data primer. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah dokumen kependudukan, jurnal dan kitab perundang-undangan.

3. Lokasi Penelitian 

Lokasi yang penelitian ini terletak di Dsn. Cinderejo Desa Jatisari Kec. Jatisrono Kab. Wonogiri. 

4. Teknik Pengumpulan Data 

a. Wawancara 

    Tujuan dari proses wawancara adalah untuk memperoleh informasi melalui dialog antara pewawancara dan narasumber. Dalam penelitian ini, digunakan teknik wawancara terstruktur di mana penulis menanyakan pertanyaan pada informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 

    Dalam penelitian ini akan melakukan wawancara secara langsung kepada pihak yang memahami tentang adat larangan pernikahan ngalor-ngulon (berjonggo) dan masyarakat Dsn. Cinderejo yang melakukan larangan tersebut.  

b. Dokumentasi 

    Pendokumentasian ialah dokumen tambahan dari interview. Keabsahan hasil penelitian akan terjamin bila terdapat bukti yang kuat. Pendokumentasian ialah metode pengumpulan informasi yang berwujud tulisan, ilustrasi, atau karya seseorang. Pendokumentasian yang dimanfaatkan pada penelitian ini ialah foto-foto saat melakukan interview dan dokumen-dokumen pendukung seperti data populasi dan sejenisnya.

5. Teknik Analisis Data 

    Analisis data merupakan langkah pengolahan data yang sudah terkumpul dengan cara pengelompokkan, untuk menghasilkan kesimpulan yang mudah dipahami. Dalam penelitian ini, teknik analisis yang digunakan adalah model Miles dan Huberman. Model Miles dan Huberman ini melalui tiga proses yaitu Data Reduction (Reduksi Data), Data Display (Penyajian Data), Conclusion Drawing/Verification. Langkah-langkah analisis model Miles dan Huberman sebagai berikut:

a. Reduksi Data 

    Reduksi merupakan proses merangkum, memilih hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting untuk dicari tema dan polanya. Pada penelitian ini teknik reduksi dilakukan sebelum pengumpulan data di lapangan yaitu penentuan tempat, pemilihan metode pendekatan, perumusan pertanyaan, yang kemudian berkesinambungan sampai penyusunan laporan penelitian. 

b. Penyajian Data 

    Langkah selanjutnya adalah penyajian data, penyajian data ini dapat berbentuk uraian singkat,bagan, ataupun tulisan yang bersifat naratif. Dalam penelitian ini penyajian data didapatkan dari hasil wawancara bersama pihak masyarakat yang faham tentang adat larangan menikah ngalor-ngulon dan masyarakat Dsn. Cinderejo Desa Jatisari yang melakukan larangan tersebut. Dalam penelitian ini penyajian data merupakan langkah kedua setelah reduksi data yang bertujuan untuk mempermudah peneliti untuk memahami data yang ada di lapangan. 

c. Verifikasi 

    Langkah ketiga dalam analisis data penelitian ini adalah menarik kesimpulan dan verifikasi.. Kesimpulan bisa berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang awalnya masih belum jelas dan sulit difahami sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Hasil kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah hasil dari penyajian data yaitu hasil wawancara dan analisis yang didasarkan pada hukum islam dan hukum adat. 

G. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan merupakan penjabaran secara deksriptif tentang hal-hal yang akan ditulis. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 

    Bab I merupakan pendahuluan yang berisi Latar belakang masalah, permasalahan, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta metode  penelitian dan sistematika penulisan. 

    Bab II menjelaskan tentang pernikahan dari hukum islam dan hukum adat, dan perkawinan menurut adat jawa dan larangan perkawinan ngalor-ngulon. 

    Bab III menjelaskan deskripsi data penelitian. Meliputi gambaran umum Dsn. Cinderejo Desa Jatisari Kecamatan Jatisrono meliputi letak geografis dan keadaan demografis serta gambaran umum permasalahan dan latar belakang adanya larangan perkawinan ngalor-ngulon serta pandangan masyarakat yang melanggar aturan larangan perkawinan ngalor-ngulon. 

    Bab IV berupa analisis mengenai latar belakang adanya larangan perkawinan ngalor-ngulon dan analisis pandangan masyarakat yang melanggar aturan larangan perkawinan ngalor-ngulon. 

    Bab V pada bab ini berisi penutup dan saran. 

 

Alasan Mengapa Saya Memilih Review Skripsi Ini

1. Fokus pada Pandangan Masyarakat: Judul ini memfokuskan pada pandangan masyarakat adat Jawa terkait dengan larangan perkawinan ngalor-ngulon. Penelitian ini berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat Jawa memandang dan mempertahankan tradisi ini.

2. Pelaku Tradisi: Judul ini menekankan pada pelaku tradisi, yaitu masyarakat adat Jawa yang mempertahankan dan menjalankan larangan perkawinan ngalor-ngulon. Penelitian ini ingin memahami bagaimana masyarakat Jawa melaksanakan dan mempertahankan tradisi ini.

3. Larangan Perkawinan Ngalor-Ngulon: Judul ini secara spesifik memfokuskan pada larangan perkawinan ngalor-ngulon, yang merupakan bagian dari tradisi adat Jawa. Penelitian ini ingin memahami bagaimana larangan ini diterapkan dan dipertahankan oleh masyarakat Jawa.

4. Masyarakat Adat Jawa: Judul ini menekankan pada masyarakat adat Jawa sebagai subjek penelitian. Penelitian ini ingin memahami bagaimana masyarakat adat Jawa memandang dan mempertahankan tradisi larangan perkawinan ngalor-ngulon.

 

Pembahasan

 A. Perkawinan Menurut Hukum Islam 

1. Definisi Perkawinan Menurut Hukum Islam 

    Perkawinan sendiri bersumber dari kata na-ka-ha yang memiliki arti berkumpul. Memiliki persamaan dengan kata za-wa-ja yang memiliki arti bersetubuh. Definisi nikah dalam konteks syariah memiliki arti perjanjian dengan tujuan untuk membentuk ikatan seorang laki-laki dan perempuan yang biasa disebut perkawinan. 

Menurut beberapa sumber zawwaja memiliki arti berpasangan atau berjodoh. Sedangkan menurut syara para fuqaha mendefinisikan zawwaja sebagai sebuah hak kepemilikan terhadap sesuatu melalui dan sesuai dengan syariat Islam. 

    Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Pasal 2 Bab 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan perkawinansebagai perjanjian yang sah untuk mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, yang dianggap sebagai ibadah. 

2. Hukum Perkawinan 

    Hukum perkawinan disini bertujuan untuk memberikan perlindungan untuk laki-laki ataupun perempuan dalam membina rumah tangga yang bertujuan mewujudkan keluarga sakiah dan bahagia serta dilandasi dengan hukum formal Sedangkan dalam syara hukum perkaiwnan tidak bisa lepas dari lima macam hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.5 

Menurut beberapa ulama, hukum asal nikah adalah sunnah yang berarti pernikahan ini jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa, alangkah lebih baiknya dikerjakan. Meskipun demikian, seseorang yang akan menikah tentunya harus mempersiapkan beberapa aspek seperti kesiapan secara bathiniyah, mental, dan ekonomi. 

Anjuran menikah di dalam al-quran bermakna anjuran, bukan wajib. Dijelaskan di dalam al-quran salah satunya Qs. An-Nur [24] : 32

 

Artinya : 

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) dan maha mengetahui" Jumhur ulama menyatakan bahwa hukum pekawinan terbagi menjadi lima macam, yaitu :

a. Wajib  

    Perkawinan menjadi wajib (fardhu ain) apabila orang tersebut sudah layak secara dhahir dan siap untuk menikah dan bathinnya mampu dalam membiayai diri sendiri dan keluarganya. Dikhawatirkan ketika tidak menikah akan menimbulkan perbuatan zina, maka diwajibkan untuk menikah. 

b. Sunnah 

    Hukum perkawinan dikatakan sunnah bilamana orang tersebut telah mampu untuk menikah, namun dia sanggup untuk menahan dirinya agar tidak terjerumus ke zina. Maka disunahkan untuk menikah. 

c. Mubah 

    Hukum perkawinan menjadi mubah apabila seseorang tersebut tidak ada dorongan ataupun hambatan untuk melakukan atau meninggalkan pernikahan atau terdapat peraturan yang mengharuskan segera menikah.  

d. Makruh 

    Hukum perkawinan menjadi makruh ketika orang tersebut sudah layak dhahir dan bathinnya, akan tetapi belum mampu dalam segi ekonomi untuk membiayai dirinya sendiri dan keluarganya. 

e. Haram 

    Menjadi haram belum memiliki kemampuan untuk menikah, menikah untuk memenuhi hawa nafsunya dan dikhawatirkan terjadi hal-hal untuk menyakiti perempuan, maka haram hukumnya untuk menikah. 

3. Rukun dan Syarat Pernikahan 

    Rukun merupakan hal yang wajib ada dan dipakai untuk menetapkan keabsahan suatu tindakan. Suatu pernikahan dianggap sah bila telah memenuhi unsur dan persyaratannya. Jika unsur tersebut tidak terpenuhi, 

    pernikahan tersebut dianggap tidak sah, meskipun persyaratan pernikahan telah terpenuhi. Jumhur ulama mendefinisikan rukun sebagai hal yang harus dilaksanakan agar tercapainya sebuah pekerjaan dan syarat sebagai sesuatu yang ada tetapi tidak termasuk dalam rukun. Terdapat beberapa pandangan tentang rukun perkawinan yaitu :

Menurut Zainuddin bin Abd Al-aziz Al-Malibari menyebutkan rukun perkawinan ada lima yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan ijab qabul. 

Adapun dari beberapa rukun yang telah disebutkan harus sesuai syarat-syarat agar rukun tersebut terpenuhi, yaitu :

a. Calon mempelai laki-laki 

    Terdapat syarat calon mempelai laki-laki yaitu beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, menikah karena kemauan sendiri tidak ada paksaan, dan wanita yang dinikahi tidak termasuk mahramnya.  

b. Calon mempelai perempuan 

    Di dalam agama Islam seorang laki-laki berhak menikahi wanita jika terdapat empat perkara yaitu karena agamanya, parasnya, hartanya, dan keturunannya. Karena ketika sudah berumah tangga nanti, istri merupakan madrasah pertama untuk anak-anaknya. Adapun syarat calon isteri yang harus dipenuhi adalah calon isteri beragama Islam, mendapatkan restu dari walinya, tidak dalam masa iddah, keduanya tidak mempunyai ikatan mahram, serta apabila janda menikah karena keinginan sendiri tidak ada keterpaksaan. 

c. Ijab Qabul 

    Definisi ijab sendiri adalah sebuah kalimat pernyataan dari pihak perempuan yang diwakilkan oleh walinya. Sedangkan untuk qabul memiliki arti penerimaan calon mempelai pria terhadap calon mempelai wanita. Hakikat dari ijab qabul adalah pernyataan pemindahan tanggung jawab yang awalnya dari orang tua menjadi tanggung jawab sepenuhnya kepada suami. Sedangkan hakikat dari qabul adalah pernyataan penerimaan calon suami bahwa dia akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap istrinya baik hidupnya ataupun kebutuhannya. 

    Ketentuan ijab qabul mencakup penggunaan lafaz ijab qabul oleh pihak yang melangsungkan pernikahan, tanpa terputus oleh ucapan atau tindakan lainnya. Proses ijab qabul harus dilakukan dalam satu majelis atau satu tempat dan menggunakan lafaz nikah atau kata-kata yang memiliki makna serupa dengan nikah. 

d. Wali Nikah 

    Adapun syarat untuk menjadi wali yaitu wali diharuskan laki-laki, beragam Islam, baligh, berakal sehat, seseorang yang menjadi wali yaitu orang yang merdeka, serta dapat berlaku adil. Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :  

1) Bapak 

2) Kakek dan jalur nasab keatas 

3) Saudara laki-laki sekandung 

4) Anak laki-laki dari paman sekandung 

5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 

6) Paman sekandung 

7) Saudara kakek 

8) Anak laki-laki dari saudara kakak 

e. Dua orang saksi 

    Saksi yang hadir dalam akad nikah harus dua orang laki-laki muslim yang sudah baligh, berakal, dapat faham dengan akad nikah baik secara perkataan ataupun perbuatan. Adapun tujuan adanya saksi ini untuk mencegah adanya isu yang tidak baik dan sebagai saksi penentuan pernikahan sah atau tidak. 

4. Larangan-larangan Perkawinan 

    Ketika akan melaksanakan pernikahan tentunya calon suami harus memperhatikan bibit, bebet dan bobot caloni steri, apakah calon isteri tersebut masuk dalam kriteria wanita yang dilarang untuk dinikahi. Adapun mengenai larangan pernikahan terdapat dua macam, yakni halangan abadi dan halangan sementara. 

    Menurut jumhur ulama ada tiga hal perempuan tidak boleh untuk dinikahi, yaitu :

a. Perempuan yang tidak boleh dinikahi sebab nasab  

b. Perempuan yang tidak boleh dinikahi sebab persambungan diantaranya yaitu ibu mertua, nenek dari pihak perempuan  

c. Perempuan yang tidak boleh dinikahi sebab sepersusuan, hampir sama seperti diharamkan lewat jalur nasab seperti ibu kandung, anak perempuan kandung.  

    Adapun halangan sementara perempuan tidak boleh untuk dinikahi diantaranya : 

 Sebab pertalian nikah, dalam artian seorang perempuan yang masih memiliki hubungan pernikahan dengan laki-laki lain tidak boleh untuk dinikahi 

Sebab talaq bain kubro, perempuan yang sudah di talaq bain kubro oleh suaminya tidak boleh dinikahi kecuali jika perempuan ini sudah menikah dengan suami yang baru dan pernah digauli oleh suaminya.  

Sebab perbedaan agama Aturan tentang beberapa aturan wanita yang tidak boleh dinikahi 

B. Hukum Adat 

1. Istilah Adat 

    Secara bahasa istilah adat memiliki arti kebiasaan. Sedangkan secara 

istilah memiliki arti tingkah laku seseorang yang berlaku tetrus menerus dengan jangka yang lama dan ditaati oleh masyarakat tertentu.10Adat yang hidup dan berkembang di masyarakat memiliki hubungan erat dengan beberapa tradisi di masa lampau yang kemudian dijadikan sumber pokok dari hukum adat. 

    Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo beliau mendefinisikan adat dengan istilah kebiasaan yang kemudian oleh masyarakat diadatkan. Sebuah kebiasaan dapat dikatakan sebagai adat jika memenuhi beberapa unsur yakni, terdapat tingkah laku seseorang, dilakukan terus menerus, terjadi dari waktu ke waktu, dan diikuti oleh masyarakat. 

2. Istilah Hukum Adat 

    Secara bahasa berasal dari bahasa arab hakama-yahkumu-hukman yang memiliki arti ketentuan, sedangkan adat berasal dari bahasa adah artinya kebiasaan. Jadi hukum adat memiliki arti sebuah hukum yang menjadi kebiasaan.

    Menurut Soepomo, beliau mendefinisikan hukum adat sebagai hukum yang hidup, karena adanya hukum tersebut sebagai bentuk pernyataan masyarakat sesuai dengan keadaannya. Hukum adat sendiri berlangsung secara terus menerus dan tumbuh berkembang seperti masyarakat.

3. Perkawinan menurut hukum adat  

a. Definisi perkawinan hukum adat 

    Perkawinan adat memiliki arti ikatan hidup antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan untuk meneruskan keturunan agar sebuah kebiasaan masyarakat tidak punah yang diawali adanya upacara adat untuk perkawinan. Dalam hukum adat pernikahan yang terjadi ini tidak hanya untuk menyatukan kedua keluarga saja, akan tetapi juga menyatukan menyatukan dua suku, kasta dan masyarakat. 

    Sebuah perkawinan adat biasanya diawali dengan adanya upacara adat tertentu, yang melambangkan adanya perubahan status. Yang awalnya masih perjaka/perawan menjadi sudah berkeluarga. Hukum perkawinan adat ini mempunyai arti kebiasaan masyarakat adat yang melaksanakan upacara perkawinan yang kemudianmenjadi  hukum yang tidak tertulis serta hanya berlaku di masyarakat adat tersebut. 

b. Asas-asas dalam hukum perkawinan adat 

Hukum perkawinan adat memiliki parameter sebagai tolak ukur masyarakat masing-masing masyarakat. setiap daerah tentunya memiliki aturan yang berbeda-beda. Asas-asas perkawinan dalam hukum adat yaitu :

1) Asas keadatan dan kekerabatan, perkawinan dalam hukum adat tidak hanya sebuah ikatan antara individual, akan tetapi juga menyatukan masyarakat adat. Oleh karena itu, mulai dari pemilihan pasangan, dan upacara-upacar adat yang lain berjalan beriringan dengan hukum perkawinan adat tersebut. 

2) Asas kesukarelaan, dalan hukum adat calon pengantin tidak memiliki kekuasaan terhadap sebuah pilihan. Kekuasaan mutlak berdasarkan persetujuan orang tua dan anggota kerabat. 

3) Asas Poligami, tidak sedikit dari masyarakat hukum adat melakukan poligami, tentunya seorang isteri yang di poligami tersebut memiliki tempat yang tidak sama. Namun seiring berkembanya zaman, asas poligami ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat, kalaupun ada hanya segelintir masyarakat yang melakukan dan harus patuh terhadap ketentuan agama yang berlaku 

4) Asas selektivitas, maksud dari asas ini adalah pengarahan pada proses dan siapa yang berhak menentukan calon mempelai. Dengan demikian kerabat dan masyarakat adat memiliki peran yang penting dalam penentuan calon pasangan.  

C. Perkawinan Adat Jawa 

    Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, karena terdapat beberapa hak dan kewajiban yang menyangkut masalah kekeluargaan yang harus dipenuhi. Perkawinan adat Jawa tentunya identik dengan tradisi masyarakat Jawa yang sudah turun temurun dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat. 

Dalam peristiwa perkawinan diperlukan adanya norma hukum, adat, budaya dan tata tertib yang mengatur dari sebelum pernikahan dilaksanakan sampai selesai. Kondisi sosial budaya masyarakat yang berbeda-beda juga menentukan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan masayarakat setempat.

Adapun beberapa model perkawinan yang berkembang di masyarakat mulai dari sebelum pernikahan dilaksanakan hingga pernikahan tersebut selesai yaitu : 

1. Mencari dan menentukan jodoh

    Menentukan jodoh merupakan langkah awal sebelum pernikahan dilaksanakan. Zaman sekarang dalam mencari dan menentukan pasangan ditentukan oleh orang yang bersangkutan, namun ada juga yang mencari pasangan karena perjodohan oleh kedua orang tua. Bagi orang tua perempuan ketika mencari dan menentukan jodoh untuk anak perempuannya mereka memiliki pedoman yang dinamakan "Triaji" yaitu Bibit, Bebet dan Bobot. 

    Adapun yang dimaksud dengan bibit bisa dilihat dari keturunannya. Dalam artian laki-laki atau perempuan tersebut berasal dari keluarga yang baik atau tidak. Bebet sendiri menyangkut tentang perilaku, akhlaq dan budi pekerti seseorang tersebut. Sedangkan untuk bobot menyangkut tentang kepribadian seseorang baik dari pendidikan, sudah memiliki pekerjaan yang mapan atau belum, dan memiliki masa depan yang baik atau tidak. 

2. Memberikan tanda pengikat  

    Dalam bahasa jawa tanda pengikat ini bisa disebut "pinengsit" atau biasa disebut dengan istilah lamaran. Tanda pengikat ini dilakukan setelah lamaran laki-laki diterima oleh orang tua dari pihak perempuan. Tanda pengikat ini biasanya berisi barang yang bermaksud sebagai bentuk keseriusan dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan.  

3. Menentukan hari baik untuk perkawinan 

    Dalam pelaksanaan hajatan perkawinan yang perlu diperhitungkan hari dan tanggalnya yaitu pada saat pelaksanaan ijab qabul atau akad nikah. Dalam menentukan hari baik perlu juga mengingat musim yang terjadi seperti musim kemarau, musim hujan, atau pada saat liburan. Dalam penentuan hari baik ini biasanya berasal dari hasil penjumlahan berdasarkan weton, pasaran, dan tanggal lahir dari pihak laki-laki dan perempuan.  

4. Upacara Siraman 

    Upacara siraman disini memiliki arti simbolik yaitu sebagai bentuk untuk membersihkan jasmani dengan menggunakan sabun, dan membersihkan rohani dengan memohon ampun kepada tuhan agar pasangan yang akan melaksanakan perkawinan ini diampuni dosanya.  

5. Panggih pengantin 

    Panggih disini memiliki arti temu, sedangkan kepanggih memiliki arti bertemu. Jadi upacara panggih pengantin adalah upacara pertemuan antara mempelai laki-laki dan perempuan. Dilaksanakan setelah ijab qabul selesai dan dinyatakan sah sebagai pasangan suami-istri. Upacara panggih ini merupakan upacara puncak dalam perkawinan adat jawa yang memiliki 16 tahapan dan setiap tahapan tersebut memiliki makna tersendiri dan berkaitan antara satu dengan yang lainnya. 

    Ada beberapa pantangan atau larangan perkawinan yang tidak diperbolehkan di masyarakat Jawa yaitu :

1. Menikah di bulan Muharram 

    Bagi masyarakat islam yang berada di Jawa, bulan muharram dianggap sebagai bulan keramat, bulan kesedihan sehingga menimbulkan kepercayaan bahwa segala bentuk kegiatan seperti pernikahan, hajatan, dan lain sebagainya tidak berani melakukan, bukan berarti tidak boleh.

     Menurut masyarakat Islam-Jawa bulan muharram ini dinilai sebagai bulan yang baik sekaligus bulan kesedihan bagi Rasulullah, dimana beliau kehilangan cucunya yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sehingga muncul kepercayaan masyarakat dianjurkan untuk memulaikan bulan ini dengan mengisi dengan kegiatan yang positif dan mengurangi beberapa kegiatan yang bersifat senang-senang. Meskipun pada dasarnya bulan muharram merupakan bulan yang baik dan harus dimuliakan. 

2. Posisi rumah ngalor-ngulon 

3. Pernikahan anak pertama dan anak ketiga

    Pernikahan anak pertama dan ketiga atau biasa disebut jilu dilarang dilaksanakan karena dipercayai jika pernikahan tersebut tetap dilaksanakan akan mendapatkan musibah. 

4. Wetonan  

5. Menikah dengan saudara-saudara misan  

D. Larangan Perkawinan Ngalor-Ngulon 

    Istilah ngalor-ngulon terdiri dari kata yaitu ngalor, yang memiliki arti arah utara, kemudian ngulon yang memiliki arti arah barat. Jika dikaitkan dengan istilah pernikahan yang ada di jawa memiliki arti sebuah larangan untuk melangsungkan pernikahan bagi laki-laki yang jika arah rumahnya ke arah rumah perempuan adalah arah utara ke barat, begitu juga sebaliknya.

    Aturan adat jawa tentang larangan perkawinan ngalor-ngulon merupakan peraturan tidak tertulisyang bersumber dadi nenek moyang dan dipercayai hingga sekarang. Pada dasarnya larangan ini bersifat tidak mutlak, hanya bersifat anjuran agar masyarakat lebih berhati-hati. Jadi bukanlah sebuah keharusan untuk melakukan, namun alangkah lebih baiknya tetap dipatuhi dan dilakukan.. 

    Masyarakat mempercayai apabila mereka melanggar aturan ini akan ada musibah di kemudian hari yang akan menimpa dirinya sendiri maupun keluarganya. Akibatnya banyak juga masyarakat yang memilih untuk tetap mematuhi aturan ini, namun juga banyak masyarakat yang memilih untuk tetap melangsungkan pernikahan. 

Biasanya musibah yang menimpa yaitu sakit yang berkepanjangan, keluarga yang tidak harmonis, bahkan sampai meninggalnya salah satu pihak keluarga. Larangan perkawinan ngalor-ngulon termasuk peraturan adat yang tidak bisa dirubah ketentuannya, tetapi sebagian masyarakat tetap ada yang merubahnya sesuai dengan hasil musyawarah dari kedua belah pihak. Adapun cara yang dilakukan untuk menghindari petaka tersebut adalah :  

a. Disangkani 

    Istilah disangkani disini memiliki arti ngapusi atau sebuah cara untuk menyiasati agar kegiatan tersebut dapat dilaksanakan. Maksudnya, sebuah pernikahan dapat dilaksanakan ketika antara pihak perempuan dan laki-laki dapat merubah arah ngalor-ngulon. Dalam artian ketika seorang laki-laki akan menikahi atau perempuan yang diinginkan hendaknya memilih jalan lain saat melamar agar tidak mempunyai arah ngalor-ngulon. 

b. Nemu Manten 

    Nemu ialah pasangan calon suami yang diusir dari kediaman orang tua tanpa dibekali apa pun, dan kemudian ditemukan oleh orang lain yang lalu menyerahkannya ke pihak calon istri. Menurut pandangan masyarakat, dengan tindakan pengusiran ini, hubungan antara calon suami dan pihak orang tua telah terputus, dan tidak lagi terikat dengan tradisi ngalor-ngulon. 

c. Nggeser Papan 

    Nggeser papan sendiri memiliki arti memindahkan tempat tinggal. Biasanya dilakukan ketika akan melakukan pernikahan. Masyarakat memilih untuk tidak melakukan hajat apapun di rumah, melainkan di tempat lain. 

Rencana Skripsi Yang Akan Saya Tulis

Tentang "Analisis Ketahanan Dan Keterkaiatan Pernikahan Perceraian Dalam Islam Perspektif Ketahanan Keluarga"

Alasannya ,Pernikahan Perceraian dalam Islam adalah topik yang sangat kompleks dan sensitif dalam islam ,pernikahan adalah institusi penting yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan seorang muslim namun ,pernikahan perceraiam juga dapat terjadi dan hal ini memengaruhi ketahanan keluarga serta kualitas hidup individu.

Dalam Skrispi Ini Saya akan mempelajari analisis ketahanan dan keterkaiatan pernikahan perceraian dalam islam dari perspektif katahanan keluarga. saya akam meneliti bagaimana ketahanan keluarga memengaruhi keputusan-keputusan dalam pernikahan perceraian serta bagaimana pernikahan perceraian memengaruhi kualitas hidup individu dan keluarga.

Dengan demikian, skripsi ini dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana ketaahuan keluarga mempengaruhi keputusan-keputusan dalam pernikahan perceraian, serta bagaimana pernikahan perceraian mempengaruhi kualitas hidup individu dan keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun