Mohon tunggu...
Ponco Wulan
Ponco Wulan Mohon Tunggu... Guru - Pontjowulan Samarinda

Pontjowulan Kota Samarinda Kalimantan Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percik Rindu di Tengah Hujan Senja

23 November 2024   19:32 Diperbarui: 23 November 2024   22:41 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Hujan Senja (Sumber Buatan AI)

Senja berbalut hujan tipis perlahan menyelimuti Desa Sukamaju, sebuah tempat yang tenang di kaki bukit dengan hamparan sawah dan jalan-jalan kecil berbatu. Hujan turun perlahan yang membasahi atap-atap rumah dan pepohonan di sepanjang jalan. Di sebuah rumah sederhana bercat putih, seorang wanita bernama Laras berdiri di dekat jendela dan memandangi rintik hujan yang jatuh dengan tatapan hening.

Laras adalah seorang guru yang dikenal sabar dan penuh perhatian pada murid-muridnya. Senyumnya selalu tampak di depan orang lain meskipun menyimpan kerinduan yang tak pernah terungkap. Di tangannya tergenggam sebuah buku tua berisi puisi-puisi yang pernah ia tulis bersama seseorang di masa lalu. Hujan senja seperti ini selalu membawa kenangan lama yang membuat hatinya bergetar untuk mengenang sebuah janji yang kini tersisa hanya sebagai ingatan.

Hujan senja kali ini terasa berbeda, seakan membawa pesan dari seseorang di kejauhan yang tengah merindukan sama kuatnya dengan apa yang ia rasakan. Hujan di luar semakin deras, mengalun seperti lagu pengantar dalam kesunyian rumah Laras. Di ruang tamu yang hangat, suara cangkir-cangkir beradu terdengar dari dapur kecil di sudut ruangan. Bu Marni tengah menyiapkan teh hangat. Meskipun wajah Bu Marni tampak tenang, ada seberkas kecemasan yang terpantul di matanya saat sesekali menatap Laras dari kejauhan.

Pak Surya duduk di kursi dekat meja makan, sesekali melirik ke arah putri sulungnya. Pak Surya adalah sosok yang penuh wibawa, seorang petani yang tak pernah lelah bekerja untuk keluarganya. Ia tidak banyak bicara namun sikapnya yang tenang sering menjadi penopang di keluarga kecil mereka. Melihat Laras yang termenung di dekat jendela, ia hanya menghela napas panjang. Ia tahu putrinya memendam sesuatu namun memilih menunggu hingga Laras sendiri siap bercerita.

Adik bungsu Laras bernama Adit baru pulang dari sekolah, berlari-lari kecil ke ruang tamu dengan jaketnya yang basah. Dengan ceria, Adit mencoba mencairkan suasana, "Kak Laras, Kak Laras! Lihat, aku tadi main hujan di jalan! Seru sekali, tapi dimarahin sama Bu Asih," katanya sambil tertawa. Namun ketika melihat Laras yang hanya tersenyum tipis, Adit pun diam.

Bu Marni menghampiri Laras dengan cangkir teh hangat di tangannya. "Ini, nak, teh hangatnya," ujar Bu Marni lembut sambil meletakkan cangkir itu di meja dekat jendela. Ia menatap putrinya dengan penuh kasih seolah berharap kehangatan teh itu bisa mengusir kegundahan yang tampak di wajah Laras.

"Terima kasih, Bu," jawab Laras pelan sambil tersenyum kecil dan menerima cangkir itu dengan kedua tangannya. Aroma teh jahe menguar, membawa kehangatan yang sempat memecah lamunannya.

"Laras, kalau ada yang ingin kamu ceritakan, jangan disimpan sendiri," ujar Pak Surya akhirnya, suaranya rendah namun penuh perhatian. "Kami di sini selalu siap mendengarkan."

Laras menatap wajah ayahnya yang mulai berkerut karena usia, kemudian ibunya yang selalu mendampinginya dengan kasih yang tulus. Sesaat ia ingin bercerita tentang sosok yang tengah dirindukannya, tentang janji-janji yang dulu pernah mereka ikrarkan bersama. Namun lidahnya seolah kelu.

"Mungkin nanti, Pak. Untuk sekarang... aku masih perlu waktu," jawab Laras, mencoba tersenyum, meskipun hatinya penuh gejolak. Pak Surya mengangguk pelan, sementara Bu Marni mengusap punggung Laras dengan lembut. Adit yang mulai memahami kesunyian di sekitar, duduk di samping kakaknya. Ia memandang Laras dengan penuh rasa ingin tahu meskipun tak tahu bagaimana harus membantu. Di dalam kehangatan rumah itu, Laras merasa diterima dan disayangi walaupun rasa rindunya tetap beriak bersama hujan senja yang terus mengguyur tanah desa mereka.

Malam semakin larut dan keheningan memenuhi rumah kecil itu. Laras perlahan bangkit dari kursi di dekat jendela, meletakkan cangkir teh yang kini sudah kosong, lalu melangkah menuju kamarnya. Ia berusaha melepas semua perasaan rindu yang bergemuruh dalam hatinya namun bayangan tentang kenangan-kenangan itu terus saja terlintas di pikirannya. Setelah mengucapkan selamat malam kepada ibu, ayah, dan adiknya, ia masuk ke kamarnya dan berbaring mencoba meresapi keheningan malam yang dingin.

Pagi datang dengan semilir angin yang segar dan aroma embun yang khas. Suara kokok ayam bersahutan di kejauhan mengiringi fajar yang perlahan menyingsing di balik pegunungan. Di rumah sederhana itu, Bu Marni sudah bangun lebih awal, sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Suara penggorengan yang berdesis mengisi ruang rumah bercampur dengan aroma nasi goreng yang harum, membuat siapa pun yang mencium baunya ingin segera duduk di meja makan.

Laras membuka matanya perlahan, merasakan sinar matahari pagi yang menerobos lewat jendela kamarnya. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengumpulkan semangat untuk menghadapi hari ini. Setelah membersihkan diri, ia keluar dari kamar dan menuju ruang makan, Adit sudah duduk sambil menguap lebar.

"Selamat pagi, Kak Laras!" sapa Adit ceria. "Lihat, Ibu masak nasi goreng favorit kita hari ini."

Laras tersenyum dan mengusap kepala adiknya. "Pagi, Adit. Sudah siap sekolah, ya?" Adit mengangguk penuh semangat sambil mengunyah nasi gorengnya. Bu Marni pun tersenyum melihat kedua anaknya bersemangat pagi itu. Pak Surya yang baru saja selesai membersihkan halaman, bergabung dengan mereka di meja makan, dan mereka sekeluarga pun sarapan bersama dalam suasana yang hangat.

Usai sarapan, Laras bersiap-siap untuk berangkat mengajar. Ia mengambil tas berisi buku-buku pelajaran dan lembar tugas murid yang sudah ia koreksi semalam. Setelah berpamitan pada ibu dan ayahnya, ia melangkah keluar rumah, diikuti oleh Adit yang bergegas menuju sekolah.

Udara pagi itu terasa segar dan jalan setapak yang membelah sawah seolah menyambutnya dengan keheningan yang damai. Sesekali ia bertemu dengan warga desa yang sedang beraktivitas pagi, seperti Pak Hasan yang tengah menggiring kerbau ke sawah atau Bu Sri yang berjalan sambil membawa sayuran segar untuk dijual di pasar. Laras menyapa mereka dengan senyum ramah yang menambah keakraban di antara penduduk desa.

Laras melanjutkan langkahnya menuju sekolah tempat ia mengajar, sebuah bangunan sederhana namun penuh cerita dan harapan. Gedung itu dikelilingi oleh pepohonan rindang dan suara kicau burung yang menyemarakkan suasana pagi. Sesampainya di sekolah, beberapa siswa yang sudah tiba lebih awal segera menyambutnya dengan sapaan riang. Melihat wajah-wajah ceria itu, Laras merasa hatinya sedikit lebih ringan. Di tengah kesibukannya mengajar, ia merasa kerinduannya sejenak tersisih, tergantikan oleh semangat untuk berbagi ilmu dengan anak-anak desa.

Laras melangkah ke ruang guru, rekan-rekan sesama guru sudah duduk dan bersiap untuk memulai mengajar. Bu Sari guru Matematika yang terkenal ramah namun tegas, melambaikan tangan saat melihat Laras masuk. "Bu Laras, pagi ini ada jadwal tambahan untukmu. Murid-murid kelas IX ingin latihan untuk acara pentas seni minggu depan dan mereka butuh bimbinganmu," ujarnya sambil tersenyum.

"Oh, baik, Bu Sari! Senang sekali mereka antusias. Saya akan bantu semampu saya," jawab Laras sambil tersenyum. Ia selalu merasa tergerak melihat semangat siswa-siswa ini, meskipun sekolah mereka tidak memiliki fasilitas lengkap seperti di kota.

Setelah menyusun materi untuk kelas pertama, Laras keluar dari ruang guru dan melangkah menuju kelas IX A. Di dalam kelas, para siswa sudah menunggu dengan penuh antusias. Beberapa dari mereka bahkan membawa alat musik sederhana, sementara yang lain membawa perlengkapan kostum yang akan digunakan untuk latihan.

"Pagi, anak-anak!" sapa Laras dengan semangat.

"Pagi, Bu Laras!" jawab mereka serempak, disertai senyuman lebar.

Laras membuka kelas dengan memberikan arahan tentang latihan hari itu, diikuti dengan bimbingan pelajaran sebelum mereka memulai sesi latihan. Sembari mengajar, ia memperhatikan ekspresi siswa-siswanya, merasakan kebahagiaan dan ketulusan dalam semangat mereka untuk belajar.

Menjelang siang, suasana sekolah semakin hidup dengan kegiatan latihan yang dilakukan siswa-siswi kelas IX. Suara musik dari kelas yang mereka pakai untuk latihan mengalun memenuhi lorong sekolah dan memikat perhatian siswa dari kelas lain. Laras mendampingi mereka dengan penuh semangat, memberi arahan, serta sesekali tersenyum dan tertawa melihat usaha para siswa yang kadang-kadang lucu dan penuh kejutan.

Di sela-sela latihan, seorang siswa bernama Andi mendekat dan berkata pelan, "Bu, kami sangat beruntung punya guru seperti Ibu Laras yang mau bantu kami. Kami janji akan tampil sebaik mungkin!" Laras tersenyum dan merasakan keharuan. "Terima kasih, Andi. Ibu juga beruntung punya kalian semua. Ingat, yang paling penting adalah usaha dan kebersamaan kita. Ibu yakin kalian bisa."

Hari berlalu dengan penuh semangat. Melihat senyum dan kegembiraan siswa-siswanya, Laras merasa hidupnya begitu berarti. Di tengah kesibukan, sejenak ia lupa pada perasaan rindu yang masih tersimpan di hatinya. Setiap tawa dan usaha anak-anak itu adalah pelipur laranya, mengingatkannya bahwa di sini, di tengah kesederhanaan ia telah menemukan rumah sejatinya di antara mimpi-mimpi anak-anak desa.

Setelah latihan bersama anak-anak, Laras beranjak ke ruang guru untuk merapikan beberapa buku dan catatan sebelum pulang. Ia tak menyadari bahwa di luar gerbang sekolah, seorang pria berseragam ASN telah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Pria itu adalah Pak Dani, seorang pegawai yang bertugas di kantor kecamatan. Sejak pertama kali bertemu Laras saat menghadiri acara desa, Pak Dani merasa terkesan dengan dedikasi dan ketulusan Laras sebagai pengajar di desa mereka. Ia sering melihatnya pulang pergi berjalan kaki dan tak peduli hujan atau terik.

"Assalamualaikum, Bu Laras!" sapa Pak Dani ramah, menghampiri saat Laras keluar dari gerbang sekolah. Laras menoleh dan tersenyum sopan. "Waalaikumsalam, Pak Dani! Wah, jarang sekali lihat Bapak di sini sepagi ini. Ada keperluan khusus?"

Pak Dani tersenyum sambil mengangguk. "Kebetulan hari ini ada urusan ke sekolah dan beberapa dokumen yang perlu saya serahkan ke kepala sekolah. Tapi, sebenarnya saya juga ingin memastikan kalau Bu Laras baik-baik saja. Saya dengar tadi pagi sibuk mengurus latihan untuk anak-anak?"

Laras terkejut mendengar perhatian Pak Dani yang cukup detail. Ia tak menyangka bahwa pria ini memperhatikan kegiatan-kegiatannya. "Iya, Pak. Tadi kami latihan untuk pentas seni. Murid-murid sangat antusias, jadi saya ikut semangat," jawabnya dengan sedikit tawa, mencoba menutupi kelelahan yang sebenarnya sudah terasa.

Pak Dani tersenyum penuh perhatian. "Luar biasa, Bu. Tidak semua guru bisa seperti Ibu yang begitu peduli dengan anak-anak desa ini. Mereka sangat beruntung punya guru yang berdedikasi seperti Ibu."

Perkataan itu membuat Laras merasa dihargai namun juga sedikit canggung. Ia tak terbiasa menerima pujian apalagi dari seseorang seperti Pak Dani yang selalu terlihat tegas dan profesional di lingkungan kantor kecamatan. "Terima kasih, Pak Dani. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik," jawab Laras dengan tulus.

Pak Dani mengangguk sambil memperhatikan raut wajah Laras yang terlihat lelah namun bahagia. "Begini Bu Laras, kalau tidak keberatan, izinkan saya mengantar Ibu pulang hari ini. Saya melihat Ibu sering berjalan kaki apalagi dengan cuaca yang sering tak menentu."

Awalnya Laras ingin menolak karena merasa tak enak, namun setelah melihat ketulusan Pak Dani, akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, Pak Dani. Terima kasih atas perhatiannya."

Di perjalanan pulang, Pak Dani tak hanya bicara tentang tugas-tugas kantor kecamatan, tetapi juga menanyakan pandangan Laras tentang pendidikan dan kehidupan anak-anak desa. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, menyerap setiap kata yang Laras sampaikan tentang impian dan harapannya untuk siswa-siswa di desa ini. Tak jarang, ia memberikan ide dan saran yang mungkin bisa membantu Laras dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar.

Setibanya di rumah, Laras merasa lebih dari sekadar diantar pulang, ia merasa dihargai dan didukung. Pak Dani tak sekadar menunjukkan perhatian tetapi juga membuka matanya tentang kemungkinan-kemungkinan lain untuk membantu para siswa.

"Terima kasih banyak, Pak Dani, sudah repot mengantar saya," ucap Laras sebelum masuk ke rumahnya.

"Sama-sama, Bu Laras. Jika ada apa-apa atau jika Ibu butuh bantuan dalam kegiatan di sekolah, jangan sungkan untuk menghubungi saya," kata Pak Dani dengan senyum hangat sebelum melambaikan tangan dan pergi.

Malam itu Laras merenung. Kehadiran Pak Dani membuatnya merasa lebih diperhatikan. Meski mereka hanya berbincang sejenak, Laras mulai menyadari bahwa di desa ini ada orang lain yang menghargai usahanya, juga ingin melihat kemajuan dan kesejahteraan anak-anak desa. Dengan semangat baru, ia pun memantapkan niatnya untuk terus memberikan yang terbaik bagi siswa-siswa dan masyarakat di sekitarnya.

Setelah beberapa kali berjumpa di sekolah, Pak Dani akhirnya memberanikan diri meminta nomor kontak Laras. Awalnya Laras ragu-ragu, namun akhirnya ia memberikan nomor tersebut, menganggapnya sebagai bentuk komunikasi profesional demi kegiatan sekolah atau urusan desa. Namun seiring waktu, pesan-pesan dari Pak Dani mulai lebih akrab. Meskipun masih sopan, nada percakapannya lebih hangat dan terasa lebih dekat.

Malam Minggu Pak Dani tiba-tiba menghubungi Laras, menanyakan apakah ia boleh datang berkunjung ke rumah untuk bersilaturahmi dengan keluarganya. Laras terkejut namun karena ia tahu Pak Dani sosok yang ramah dan dihormati di desanya, ia menyetujui undangan tersebut. Tak lama kemudian, Pak Dani datang membawa bingkisan buah-buahan dan kue.

Kedatangan Pak Dani disambut oleh Bapak dan Ibu Laras serta adiknya, yang masih duduk di bangku SMP. Suasana awalnya sedikit canggung namun Pak Dani dengan kepribadiannya yang hangat, segera mencairkan suasana. Ia berbincang akrab dengan Bapak Laras, membahas kegiatan desa, hingga harapan-harapan tentang pendidikan dan pengembangan potensi anak-anak muda di desa.

Ibu Laras yang sejak awal memperhatikan kesopanan Pak Dani, sesekali tersenyum sambil melempar pandang pada putrinya. Tak jarang Ibu Laras pun ikut mengobrol, bertanya tentang keluarga Pak Dani dan kehidupannya sebagai pegawai di kantor kecamatan. Adik Laras hanya memperhatikan percakapan tersebut sambil sesekali tersenyum, tak terlalu mengerti namun terkesan dengan keramahan Pak Dani.

Setelah perbincangan yang hangat, Pak Dani pamit pulang meninggalkan kesan baik di hati keluarga Laras. Mereka semua merasa bahwa Pak Dani adalah sosok yang tulus dan punya perhatian lebih pada Laras. Bahkan Ibu sempat menggoda Laras setelah Pak Dani pergi, membuat wajah Laras memerah.

Hari Minggu pagi, Pak Dani kembali menghubungi Laras. Kali ini ia menawari Laras untuk berjalan-jalan di alun-alun kecamatan, menghirup udara segar dan menikmati suasana pagi yang cerah. Laras setelah sempat ragu-ragu, akhirnya setuju.

Di alun-alun suasana ramai dengan keluarga dan anak-anak yang bermain, pedagang yang menjajakan aneka makanan, dan pasangan muda yang duduk santai menikmati pagi. Pak Dani dan Laras berjalan berdampingan sambil mengobrol ringan tentang banyak hal. Mulai dari impian Laras sebagai guru, cerita Pak Dani tentang tugas-tugasnya di kecamatan, hingga harapan mereka untuk masa depan desa yang lebih maju.

Sesekali Pak Dani melontarkan gurauan yang membuat Laras tertawa. Senyum lebar Laras dan matanya yang berbinar menunjukkan betapa ia menikmati momen sederhana itu. Mereka berhenti sejenak di dekat penjual jajanan dan membeli sepasang es krim.

Pak Dani menatap Laras sambil tersenyum. "Terima kasih, Bu Laras, sudah bersedia menemani pagi ini. Sepertinya sudah lama saya tak menikmati pagi sehangat ini." Laras tersenyum malu dan mengangguk. "Saya yang seharusnya berterima kasih, Pak Dani. Senang bisa menikmati suasana desa dengan santai seperti ini."

Pak Dani menatap Laras dengan penuh perhatian, seolah ingin memastikan setiap kata yang ia ucapkan terasa tulus. Momen itu membuat keduanya semakin merasa nyaman satu sama lain. Mereka berbincang hingga matahari semakin tinggi dan meskipun sederhana, pertemuan itu meninggalkan kesan manis di hati keduanya. Sejak hari itu, hubungan mereka terasa lebih dekat, tak lagi sekadar antara guru dan ASN yang bekerja sama, melainkan sebagai dua sahabat yang mungkin saling melengkapi.

Senin pagi Laras bangun dengan perasaan yang campur aduk. Setelah pagi Minggu yang menyenangkan bersama Pak Dani di alun-alun, hatinya masih terasa hangat. Meskipun belum sepenuhnya memahami perasaannya, ada harapan dan kebahagiaan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

Setelah bergegas mandi dan bersiap-siap, Laras menuju ruang makan. Ibu dan Bapak sudah duduk sambil menyeruput teh hangat sedangkan Dita terlihat masih mengantuk. Sambil menyantap sarapan, Ibu memperhatikan Laras dengan pandangan yang penuh arti.

"Sepertinya Laras tambah ceria ya, akhir-akhir ini?" kata Ibu sambil tersenyum menggoda. Laras tertawa kecil, berusaha menutupi rona merah yang muncul di wajahnya. "Ah, Ibu ada-ada saja. Ya biasa saja kok," jawabnya dengan nada yang mencoba biasa, meskipun dalam hatinya ia tak bisa menepis perasaan bahagia yang terselip.

Bapak ikut tertawa kecil. "Kalau memang ada seseorang yang baik dan Laras merasa cocok, ya Ibu dan Bapak pasti dukung," katanya bijak sambil tersenyum. Laras tersipu tetapi diam-diam ia merasa senang karena keluarganya ternyata mendukung.

Setelah sarapan Laras berangkat menuju sekolah seperti biasa. Di perjalanan, ia mencoba memusatkan pikirannya pada kegiatan yang akan dilakukannya bersama para siswa. Namun bayangan pertemuan dengan Pak Dani kemarin masih terlintas, membuatnya tersenyum kecil tanpa disadari.

Saat tiba di gerbang sekolah, Pak Dani ternyata sudah berada di sana berbicara dengan beberapa guru lainnya. Ia menoleh dan tersenyum ketika melihat Laras datang. Ada kehangatan dalam senyumnya yang membuat Laras merasa tenang.

"Selamat pagi, Bu Laras. Pagi yang cerah, ya?" sapa Pak Dani ketika mereka berpapasan. "Selamat pagi, Pak Dani. Iya, pagi yang indah," jawab Laras, mencoba menyembunyikan kegugupan kecilnya.

Suasana sekolah mulai ramai dengan para siswa yang berdatangan. Beberapa siswa menyapa Laras, sementara yang lainnya asyik bercanda bersama teman-temannya. Laras menyempatkan diri berbincang sejenak dengan beberapa rekan guru, lalu bergegas ke kelas untuk memulai kegiatan belajar mengajar.

Laras memberikan materi pelajaran di kelas dengan semangat yang lebih dari biasanya. Para siswa juga terlihat lebih antusias, merespons setiap penjelasannya dengan penuh perhatian. Laras merasa energi positif yang ia bawa sejak pertemuannya dengan Pak Dani ternyata juga berpengaruh pada interaksinya di kelas.

Saat istirahat, Pak Dani yang ternyata masih berada di sekolah kembali menemui Laras di ruang guru. Kali ini ia membawa beberapa dokumen terkait kerja sama antara pihak kecamatan dan sekolah untuk program peningkatan literasi.

"Bu Laras, ini dokumen yang perlu ditandatangani pihak sekolah. Program literasi ini sebenarnya juga ada untuk mengembangkan potensi anak-anak di desa. Saya tahu Ibu punya banyak ide untuk anak-anak di sini," ujarnya sambil menyerahkan berkas. Laras menerima berkas itu dengan senyum. "Terima kasih, Pak Dani. Saya akan bantu mengkoordinasikan dengan kepala sekolah dan rekan-rekan lain agar program ini bisa berjalan lancar."

Percakapan berlanjut lebih hangat dari sekadar urusan formal. Pak Dani mendengarkan dengan antusias setiap gagasan Laras dan Laras merasa mendapatkan dukungan yang kuat dalam setiap usahanya. Mereka berbicara dengan penuh semangat, membicarakan cara-cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesempatan bagi siswa-siswa di desa.

Setelah perbincangan itu, Pak Dani berpamitan. Laras kembali ke kelas dengan semangat baru, membawa ide-ide segar untuk kegiatan yang bisa ia lakukan bersama para siswa. Senin pagi meski penuh aktivitas, terasa lebih hangat dan lebih penuh harapan. Laras merasakan bahwa hidupnya semakin lengkap dengan kehadiran seseorang yang tak hanya mendukungnya sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai teman yang memahami mimpinya.

          Pagi itu suasana di kantor kecamatan seperti biasa, ramai dengan aktivitas para pegawai yang sibuk menyelesaikan tugas masing-masing. Namun di ruangan kerja staf, ada sorot mata yang sedikit berbeda. Ibu Hany, seorang pegawai kecamatan yang sudah beberapa tahun bekerja bersama Pak Dani, memperhatikan rekan kerjanya itu dengan wajah yang sulit ditebak.

Sudah beberapa hari terakhir ini, ia merasa Pak Dani sering tampak lebih ceria dari biasanya. Dan setelah beberapa kali secara tak sengaja mendengar nama Bu Laras disebut dalam obrolan Pak Dani dengan koleganya, Ibu Hany mulai merasa ada sesuatu yang berbeda. Apalagi ia memperhatikan bahwa Pak Dani kerap terlihat mengetik pesan di ponselnya sambil tersenyum kecil.

"Mas Dani," panggilnya suatu pagi sambil membawa beberapa dokumen. "Ini laporan mingguan yang perlu ditandatangani." Pak Dani menoleh dengan ramah. "Oh, terima kasih, Bu Hany. Nanti saya periksa, ya."

Setelah menyerahkan dokumen, Ibu Hany berdiri sebentar seolah ingin mengatakan sesuatu. Akhirnya ia membuka suara dengan nada santai, namun ada sedikit rasa penasaran yang terselip.

"Belakangan ini, Mas Dani sering ke sekolah, ya? Apa banyak kerja sama baru dengan pihak pendidikan?" tanyanya, berusaha terdengar wajar. Pak Dani tersenyum. "Iya, ada beberapa program literasi dan pelatihan untuk siswa yang sedang kami jalankan. Kebetulan Bu Laras salah satu guru di sana, sangat kooperatif dan banyak membantu."

Mendengar nama itu, hati Ibu Hany terasa seperti tergelitik. Namun ia tetap memasang wajah tenang. "Oh, Bu Laras itu guru di mana, ya?" tanyanya lagi, meskipun ia sebenarnya sudah tahu jawabannya dari cerita-cerita sebelumnya.

"Di SMP Negeri dekat sini. Orangnya sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Kami sering berdiskusi soal ide-ide untuk memajukan desa," jawab Pak Dani dengan nada penuh kekaguman.

Jawaban itu membuat hati Ibu Hany sedikit terguncang. Selama ini ia diam-diam menyimpan rasa suka pada Pak Dani. Namun ia selalu menahan diri, berharap suatu saat ada momen yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Kini mendengar antusiasme Pak Dani saat membicarakan Bu Laras, ia mulai merasa tersaingi.

Siang itu ketika Pak Dani tengah mengetik sesuatu di ponselnya, Ibu Hany memberanikan diri bertanya. "Mas Dani, kok senyum-senyum sendiri? Lagi chatting sama siapa, sih?"

Pak Dani tertawa kecil. "Ah, ini cuma ngobrol soal program literasi dengan Bu Laras. Kami sedang merencanakan kegiatan membaca bersama untuk anak-anak." Kali ini, Ibu Hany tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Wah, sepertinya sering sekali ya komunikasi dengan Bu Laras. Jadi penasaran, apa cuma soal program atau ada hal lain juga?" tanyanya dengan nada setengah bercanda namun jelas ada maksud tersirat.

Pak Dani menatapnya sebentar lalu menjawab dengan tenang. "Ibu Hany, saya selalu berusaha profesional dalam setiap komunikasi saya. Tapi kalau soal Bu Laras, ya saya akui, beliau sosok yang istimewa. Kami sering berbicara tidak hanya tentang pekerjaan tetapi juga hal-hal lain yang membuat saya merasa nyaman."

Jawaban itu membuat wajah Ibu Hany sedikit memerah, antara malu dan kesal. Ia hanya mengangguk kecil lalu berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun sejak saat itu, ia merasa ada tembok besar yang mulai tumbuh antara dirinya dan harapannya pada Pak Dani.

Laras tidak menyadari bahwa di luar lingkaran kecilnya bersama Pak Dani, ada seseorang yang diam-diam memperhatikannya dengan perasaan campur aduk. Ia tetap menjalani harinya dengan biasa dan berusaha fokus pada tugas-tugasnya di sekolah. Bahkan ketika pesan dari Pak Dani datang lagi malam itu, Laras membalasnya dengan tulus tanpa menyadari bahwa percakapan mereka menjadi topik yang mulai membebani hati orang lain.

Pak Dani tetap berusaha bersikap profesional dengan Ibu Hany, tetapi ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa hatinya mulai condong pada Laras. Hubungan ini semakin menguat meskipun ada potensi gelombang kecil yang mulai muncul di sekitar mereka.

Malam itu Laras berbaring di tempat tidurnya dan siap untuk beristirahat. Ia mengambil ponsel untuk memeriksa pesan-pesan terakhir sebelum tidur. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar dengan pesan yang sudah masuk sejak siang. Laras sempat ragu namun akhirnya ia membuka pesan tersebut. Ternyata pesan itu dari seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Ibu Hany.

"Selamat sore, Bu Laras. Saya Hany, pegawai kecamatan. Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengenalkan diri. Saya sering bekerja bersama Pak Dani, jadi saya sering mendengar cerita tentang Ibu. Salam kenal, ya."

Laras membaca pesan itu dengan alis yang sedikit terangkat. Ia tidak langsung membalas, melainkan mencoba mencerna maksud dari pesan tersebut. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana orang ini bisa mendapatkan nomornya. Namun ia berusaha tetap berpikiran positif.

Laras membalas pesan itu dengan sopan, "Selamat malam, Bu Hany. Salam kenal juga. Terima kasih sudah menghubungi saya. Semoga bisa saling mendukung untuk kemajuan desa kita."

Tak lama, balasan dari Ibu Hany datang.

"Terima kasih Bu Laras. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa saya sangat menghargai hubungan kerja sama antara Ibu dan Pak Dani. Tapi saya merasa perlu memberi tahu, bahwa saya juga cukup dekat dengan Pak Dani selama ini. Jadi saya harap kita semua tetap profesional, ya."

Membaca pesan itu, Laras mengerutkan dahi. Nada pesan tersebut terdengar ramah namun ada sesuatu yang terasa janggal. Laras mencoba tidak terburu-buru menafsirkan maksudnya. Ia membalas singkat dengan sopan, "Terima kasih atas informasinya Bu Hany. Saya yakin kita semua bekerja demi tujuan yang baik. Semoga bisa terus saling mendukung."

Setelah itu Laras meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur. Namun hatinya tak bisa sepenuhnya tenang. Ada perasaan aneh yang menyelinap meskipun ia mencoba mengabaikannya. Ia memilih memejamkan mata dan berusaha tidur tetapi pikiran tentang pesan tadi tetap terngiang.

Ibu Hany membaca balasan Laras dengan senyum kecil di bibirnya. Ia merasa telah menyampaikan peringatannya dengan cara yang halus meskipun ia tahu bahwa percakapannya dengan Laras mungkin membuka babak baru dalam hubungan mereka yang sebelumnya tak pernah ada masalah.

Pak Dani dengan santainya melanjutkan kegiatannya. Hubungannya dengan Laras yang semakin dekat ternyata diam-diam telah menarik perhatian orang lain yang merasa dirinya lebih dulu memiliki kedekatan itu.

Pagi itu Laras tiba lebih awal di sekolah. Sambil menyeruput teh hangat yang ia bawa dalam termos kecil, pikirannya melayang pada percakapan semalam. Ia merasa ada sesuatu yang perlu ia selesaikan. Tidak adil rasanya jika situasi ini dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Saat jam istirahat tiba dan Pak Dani kebetulan berkunjung ke sekolah untuk menyerahkan beberapa dokumen program desa, Laras memberanikan diri bicara.

Pak Dani duduk di ruang guru sambil menunggu tanda tangan kepala sekolah. Laras mendekatinya dengan senyum kecil, lalu berkata, "Pak Dani, boleh bicara sebentar? Di luar, mungkin?"

Pak Dani mengangguk, sedikit bingung tetapi tetap mengikuti Laras ke teras sekolah. Udara siang itu terasa sejuk dengan hembusan angin lembut dari pepohonan di halaman. "Ada apa, Bu Laras? Kok terlihat serius?" tanya Pak Dani sambil menatapnya.

Laras menghela napas sejenak dan berusaha merangkai kata-kata. "Begini, Pak Dani. Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pesan dari Ibu Hany rekan kerja Bapak di kecamatan. Beliau memperkenalkan diri dan menyampaikan bahwa beliau merasa cukup dekat dengan Bapak."

Pak Dani terlihat terkejut. "Bu Hany? Dia chat Ibu?" Laras mengangguk. "Ya, beliau menyebutkan hubungan kerja kalian dan berharap semua tetap profesional. Tapi saya merasa ada nada lain dalam pesannya. Saya khawatir mungkin kedekatan kita selama ini menimbulkan kesalahpahaman."

Pak Dani mengerutkan dahi. "Bu Laras, saya tidak pernah memberi alasan untuk siapa pun merasa terganggu. Hubungan saya dengan Ibu Hany murni profesional. Saya memang sering bekerja sama dengannya tapi saya tidak pernah berpikir ada perasaan lain di balik itu."

Laras tersenyum tipis namun ada keraguan di matanya. "Saya percaya Bapak. Tapi, demi menghormati perasaan beliau, mungkin kita perlu menjaga jarak. Saya tidak ingin menjadi penyebab ketidaknyamanan di antara rekan kerja Bapak."

Pak Dani terdiam sesaat, lalu berkata pelan, "Bu Laras, saya mengerti. Tapi jujur saja, saya merasa nyaman berbicara dengan Ibu. Kita punya visi yang sama untuk memajukan desa ini. Kalau ini masalahnya, saya akan bicara dengan Ibu Hany. Tidak seharusnya hal seperti ini menjadi penghalang."

Laras menggeleng lembut. "Tidak perlu Pak Dani. Saya rasa, waktu akan menjawab semuanya. Biarlah kita fokus pada tugas masing-masing dulu." Percakapan itu berakhir dengan anggukan sepakat dari keduanya, meski hati mereka memendam rasa yang sulit diungkapkan.

Hari-hari berlalu dan seperti yang Laras katakan, ia mulai menjaga jarak. Ia tetap menjawab pesan Pak Dani jika berkaitan dengan pekerjaan tetapi tidak lagi membalas obrolan santai atau bercanda seperti dulu. Jika ada pertemuan kerja di kecamatan, Laras menjaga sikap lebih formal. Pak Dani menyadari perubahan itu tetapi ia menghormati keputusan Laras.

Ibu Hany merasa lega melihat Laras tidak lagi sering terlihat bersama Pak Dani. Namun ia juga merasa sedikit bersalah atas tindakannya. Diam-diam ia tahu bahwa Pak Dani lebih nyaman dengan Laras daripada dengannya. Ia hanya tidak ingin menyerah tanpa mencoba.

Laras menjalani kesehariannya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak menyesali keputusannya tetapi ada momen-momen ia merindukan percakapan hangat dengan Pak Dani. Ia tahu menjaga jarak adalah hal yang benar untuk dilakukan meski hatinya berbisik sebaliknya.

Saat pagi yang cerah Laras menatap langit sambil berbisik pada dirinya sendiri, "Mungkin ini jalan terbaik. Jika memang ada niat baik di antara kami, Allah pasti akan menunjukkan caranya."

Hari demi hari berlalu namun perasaan Pak Dani terhadap Laras tidak berubah. Ia menyadari bahwa menjaga jarak seperti yang diminta Laras hanya membuat hatinya semakin yakin akan perasaannya. Dalam setiap langkahnya, ia merasa bahwa Laras adalah seseorang yang pantas diperjuangkan.

Pak Dani memutuskan untuk berbicara langsung dengan Ibu Hany meskipun ia tahu percakapan itu tidak akan mudah. Suatu sore ketika pekerjaan di kantor kecamatan selesai, ia mendekati meja kerja Ibu Hany. "Ibu Hany, bolehkah kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan," ujar Pak Dani dengan nada serius.

Ibu Hany yang sedang merapikan berkas-berkasnya, menatap Pak Dani dengan ragu. Namun ia mengangguk dan mengikuti Pak Dani ke ruang rapat kecil di kantor.

"Begini, Bu Hany. Saya ingin berbicara tentang pesan yang Ibu kirimkan kepada Bu Laras beberapa waktu lalu. Saya tahu Ibu memiliki niat baik tapi saya rasa perlu ada kejelasan di sini."

Ibu Hany terdiam sejenak sebelum berkata, "Apa maksud Pak Dani? Saya hanya ingin mengingatkan agar hubungan kerja tetap profesional." Pak Dani menghela napas. "Saya menghargai perhatian Ibu. Tapi saya ingin Ibu tahu bahwa saya menyukai Bu Laras. Perasaan ini bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Saya melihat kepribadiannya, dedikasinya, dan cara dia memperhatikan sekitarnya. Saya ingin memperjuangkan hubungan ini dengan cara yang baik."

Wajah Ibu Hany berubah. Ia mencoba tersenyum tetapi jelas terlihat ada luka di matanya. "Jadi, selama ini... Bapak dan Bu Laras memang dekat?"

"Kami hanya sebatas rekan kerja dan saling menghormati," jawab Pak Dani tegas. "Tapi saya ingin melangkah lebih jauh dengan Bu Laras jika dia juga menginginkannya. Dan saya ingin melakukannya tanpa menyakiti atau merugikan siapa pun, termasuk Ibu."

Ibu Hany terdiam cukup lama. Akhirnya dengan suara lirih, ia berkata, "Kalau begitu, saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Bapak. Mungkin saya salah mengartikan semuanya." Pak Dani mengangguk dengan tulus. "Terima kasih, Bu Hany. Saya harap kita tetap bisa bekerja sama dengan baik."

Keesokan harinya Pak Dani memberanikan diri untuk berbicara dengan Laras. Ia menunggu Laras selesai mengajar dan mendekatinya saat suasana sekolah sudah sepi.

"Bu Laras," panggilnya pelan. Laras yang sedang merapikan buku di mejanya menoleh. "Oh, Pak Dani. Ada apa?"

"Saya sudah bicara dengan Bu Hany," kata Pak Dani, langsung ke intinya. "Saya menjelaskan semuanya, termasuk perasaan saya kepada Ibu." Wajah Laras memerah, tapi ia tetap tenang. "Pak Dani, apa yang Bapak maksud?"

Pak Dani mengambil napas panjang. "Bu Laras, saya menyukai Ibu. Saya tahu Ibu meminta kita menjaga jarak tapi saya tidak bisa berpura-pura tidak merasakan apa-apa. Saya ingin memperjuangkan hubungan ini, jika Ibu mengizinkan."

Laras terdiam, matanya menatap ke arah lain dan mencoba mencerna kata-kata Pak Dani. Setelah beberapa saat, ia menjawab pelan, "Pak Dani, saya menghargai keberanian Bapak untuk bicara. Tapi ini bukan hanya tentang kita. Saya juga memikirkan bagaimana menjaga harmoni di lingkungan kerja."

"Saya tahu," jawab Pak Dani cepat. "Dan saya berjanji, saya akan selalu menjaga profesionalisme di tempat kerja. Tapi di luar itu, saya ingin menunjukkan bahwa saya serius."

Laras tersenyum tipis meski hatinya masih penuh dengan kebingungan. "Bapak, beri saya waktu untuk memikirkan semuanya. Ini bukan keputusan yang bisa saya ambil dengan cepat." Pak Dani mengangguk, tersenyum penuh pengertian. "Tentu, Bu Laras. Saya akan menunggu."

Malam itu, Laras duduk di teras rumahnya, memandangi langit berbintang. Dalam hati, ia merasa bimbang. Tapi ada sesuatu yang hangat di hatinya, sesuatu yang perlahan mulai ia akui sebagai harapan baru. Setelah menenangkan diri dari percakapan dengan Pak Dani, Laras memutuskan untuk berbicara dengan kedua orang tuanya. Mereka berkumpul di ruang keluarga. Ayah sedang membaca koran dan Ibu merajut sebuah syal. Laras duduk di antara mereka dan mencoba merangkai kata-kata.

"Ibu, Ayah," Laras memulai dengan suara lembut.

Keduanya menoleh, memperhatikan Laras yang tampak serius.

"Ada apa, Nak?" tanya Ayah, meletakkan korannya.

Laras menarik napas dalam-dalam. "Beberapa waktu terakhir, Pak Dani, pegawai kecamatan yang sering bekerja sama dengan sekolah, menyampaikan bahwa dia menyukai saya. Hari ini dia bilang ingin serius."

Ibu tersenyum kecil namun matanya penuh perhatian. "Pak Dani? Lelaki itu yang sering ke rumah waktu dulu menyerahkan program desa itu?" Laras mengangguk. "Iya, Bu. Dia orang baik, profesional, dan saya merasa dia tulus. Tapi saya juga tahu, keputusan ini tidak hanya tentang saya. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, terutama lingkungan kerja."

Ayah menatap Laras dengan bijak. "Nak, selama hidup ini, keputusan besar tidak pernah datang tanpa tantangan. Kalau kamu merasa Pak Dani adalah orang yang tepat, Ayah dan Ibu akan mendukungmu. Tapi pastikan kamu benar-benar yakin karena ini bukan hal yang bisa kamu jalani setengah hati."

Laras merasa lega mendengar kata-kata itu. Ibu menimpali, "Ibu setuju dengan Ayah. Yang penting, kamu merasa bahagia dan dia bisa membuatmu lebih baik bukan hanya sebagai guru tapi juga sebagai pribadi."

Malam itu Laras tidur dengan hati yang lebih tenang, meski pikirannya masih dipenuhi berbagai kemungkinan.

Hari-hari berlalu, Pak Dani tidak pernah berhenti menunjukkan keseriusannya. Ia tetap menjaga komunikasi dengan Laras bahkan mulai membangun hubungan baik dengan keluarga Laras. Hingga suatu sore, saat langit mulai redup dengan warna jingga, Pak Dani datang ke rumah Laras bersama kedua orang tuanya. Ia membawa sebuah kotak berwarna merah marun yang tertutup kain beludru. Laras yang tengah membantu Ibu di dapur, terkejut saat mendengar suara Ayah menyambut tamu.

"Laras, sini sebentar," panggil Ayah dari ruang tamu. Laras melangkah keluar, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Di ruang tamu, Pak Dani berdiri bersama kedua orang tuanya. Wajahnya tampak tegas namun ada gurat gugup yang tak bisa disembunyikan.

"Laras," ucap Pak Dani sambil menatapnya penuh keyakinan. "Saya datang ke sini untuk meminta izin kepada Ayah dan Ibu, serta kamu, untuk melamar kamu. Saya ingin kita melangkah ke jenjang yang lebih serius. Saya tahu ini bukan keputusan mudah tapi saya berjanji akan selalu berusaha menjadi pendamping yang baik untukmu."

Ruangan itu sunyi sejenak, hingga Ibunda Laras memecah keheningan dengan senyum. "Pak Dani, keluarga kami menghormati niat baik Bapak. Keputusan ini ada di tangan Laras, tapi kami mendukung apa pun yang terbaik untuknya."

Laras merasa seluruh dunia seakan terhenti sejenak. Ia menatap Pak Dani lalu beralih ke orang tuanya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa lelaki ini adalah sosok yang bisa ia percaya. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan sambil berkata, "Pak Dani, saya menerima niat baik Bapak."

Senyum bahagia terpancar dari wajah Pak Dani, diikuti tepuk tangan kecil dari kedua orang tua mereka. Hari itu menjadi awal dari perjalanan baru bagi Laras dan Dani yang dimulai dengan tekad, doa, dan cinta yang tumbuh di antara mereka.

Hari yang dinanti tiba. Rumah Laras yang biasanya tenang kini penuh dengan suasana khas persiapan pernikahan adat Jawa. Sejak pagi, para tetangga bergotong royong membantu keluarga Laras dalam tradisi rewangan. Beberapa ibu memasak di dapur besar, menyiapkan hidangan khas seperti gudeg, opor ayam, dan aneka jajanan pasar. Di halaman, kaum pria sibuk mendirikan tenda dan merapikan dekorasi.

Kemeriahan itu disertai canda tawa para tetangga, membuat Laras merasa semakin yakin bahwa pernikahan ini adalah langkah terbaik dalam hidupnya.

Sehari sebelum pernikahan, diadakan acara siraman di halaman rumah. Laras mengenakan kebaya putih sederhana, duduk di pelaminan kecil yang dihiasi bunga melati. Air siraman yang diambil dari tujuh mata air dituangkan oleh kedua orang tuanya, disusul oleh beberapa kerabat dekat. Doa-doa mengalir, memohon agar Laras menjadi istri yang baik dan pernikahannya diberkahi kebahagiaan.

Air yang mengalir membasahi kepalanya bukan hanya membersihkan secara fisik, tetapi juga membersihkan hati dan pikiran, seolah menyimbolkan kesiapan Laras untuk memasuki babak baru dalam hidupnya. Pak Dani yang hadir sebagai penonton, tampak terharu melihat calon istrinya melalui proses adat yang begitu sakral.

Esok harinya prosesi temu manten dilangsungkan. Laras dan Dani dipertemukan di depan pelaminan setelah Dani melewati ritual ijab qabul. Laras tampil anggun dalam balutan kebaya hijau muda dengan kain batik motif Sidomukti, sedangkan Dani gagah mengenakan beskap hitam lengkap dengan blangkon.

Prosesi diawali dengan balangan gantal, keduanya saling melempar daun sirih sebagai simbol awal pertemuan. Setelah itu, Dani melakukan ritual ngidak endhog (menginjak telur), yang melambangkan kesiapan seorang suami untuk memulai kehidupan baru. Laras kemudian mencuci kaki Dani sebagai simbol bakti seorang istri.

Siang harinya, rumah Laras berubah menjadi tempat resepsi. Para tamu mulai dari kerabat hingga tetangga, datang untuk memberikan restu. Ayah dan Ibu Laras tampak haru melihat anak perempuan mereka kini telah menjadi istri Pak Dani. Di sela-sela resepsi, Laras dan Dani sesekali bertukar pandang seolah saling menguatkan untuk perjalanan hidup yang baru.

Setelah pernikahan, Laras dan Dani memulai kehidupan baru mereka di rumah sederhana di dekat kantor kecamatan. Meski sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mereka selalu meluangkan waktu untuk bersama. Dani tetap menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya, sementara Laras merasa bersyukur memiliki pendamping yang sabar dan penuh pengertian.

Mereka berdua tidak hanya saling mencintai tetapi juga saling mendukung dalam menjalani tanggung jawab. Laras tetap menjadi guru yang berdedikasi sedangkan Dani melanjutkan pengabdiannya sebagai ASN yang dekat dengan masyarakat.

Beberapa bulan setelah pernikahan, pada suatu sore yang basah oleh hujan, Laras duduk di beranda rumah sambil memandangi tetes-tetes air yang jatuh dari atap. Dani baru pulang dari kantor dan bergabung di sampingnya membawa secangkir teh hangat untuk Laras.

"Hujan senja ini mengingatkanku pada awal kita bertemu," ujar Dani sambil tersenyum. Laras tertawa kecil. "Iya, waktu itu aku bahkan tidak terpikir kita akan sejauh ini." Dani menggenggam tangan Laras erat. "Aku hanya ingin kamu tahu, sejak awal aku melihatmu, aku sudah tahu bahwa kamu adalah orang yang ingin kuperjuangkan."

Hujan terus turun, menciptakan melodi yang menenangkan. Laras menyandarkan kepala di bahu Dani dan merasakan kehangatan cinta yang tak tergantikan.

Dalam keheningan senja itu, Laras menyadari bahwa perjalanan cinta mereka adalah bukti bahwa cinta sejati selalu menemukan jalannya meski harus melalui lika-liku kehidupan. Kini ia tak lagi merasakan ragu, hanya ada keyakinan bahwa ia telah memilih pendamping yang terbaik untuknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun