Kemeriahan itu disertai canda tawa para tetangga, membuat Laras merasa semakin yakin bahwa pernikahan ini adalah langkah terbaik dalam hidupnya.
Sehari sebelum pernikahan, diadakan acara siraman di halaman rumah. Laras mengenakan kebaya putih sederhana, duduk di pelaminan kecil yang dihiasi bunga melati. Air siraman yang diambil dari tujuh mata air dituangkan oleh kedua orang tuanya, disusul oleh beberapa kerabat dekat. Doa-doa mengalir, memohon agar Laras menjadi istri yang baik dan pernikahannya diberkahi kebahagiaan.
Air yang mengalir membasahi kepalanya bukan hanya membersihkan secara fisik, tetapi juga membersihkan hati dan pikiran, seolah menyimbolkan kesiapan Laras untuk memasuki babak baru dalam hidupnya. Pak Dani yang hadir sebagai penonton, tampak terharu melihat calon istrinya melalui proses adat yang begitu sakral.
Esok harinya prosesi temu manten dilangsungkan. Laras dan Dani dipertemukan di depan pelaminan setelah Dani melewati ritual ijab qabul. Laras tampil anggun dalam balutan kebaya hijau muda dengan kain batik motif Sidomukti, sedangkan Dani gagah mengenakan beskap hitam lengkap dengan blangkon.
Prosesi diawali dengan balangan gantal, keduanya saling melempar daun sirih sebagai simbol awal pertemuan. Setelah itu, Dani melakukan ritual ngidak endhog (menginjak telur), yang melambangkan kesiapan seorang suami untuk memulai kehidupan baru. Laras kemudian mencuci kaki Dani sebagai simbol bakti seorang istri.
Siang harinya, rumah Laras berubah menjadi tempat resepsi. Para tamu mulai dari kerabat hingga tetangga, datang untuk memberikan restu. Ayah dan Ibu Laras tampak haru melihat anak perempuan mereka kini telah menjadi istri Pak Dani. Di sela-sela resepsi, Laras dan Dani sesekali bertukar pandang seolah saling menguatkan untuk perjalanan hidup yang baru.
Setelah pernikahan, Laras dan Dani memulai kehidupan baru mereka di rumah sederhana di dekat kantor kecamatan. Meski sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mereka selalu meluangkan waktu untuk bersama. Dani tetap menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya, sementara Laras merasa bersyukur memiliki pendamping yang sabar dan penuh pengertian.
Mereka berdua tidak hanya saling mencintai tetapi juga saling mendukung dalam menjalani tanggung jawab. Laras tetap menjadi guru yang berdedikasi sedangkan Dani melanjutkan pengabdiannya sebagai ASN yang dekat dengan masyarakat.
Beberapa bulan setelah pernikahan, pada suatu sore yang basah oleh hujan, Laras duduk di beranda rumah sambil memandangi tetes-tetes air yang jatuh dari atap. Dani baru pulang dari kantor dan bergabung di sampingnya membawa secangkir teh hangat untuk Laras.
"Hujan senja ini mengingatkanku pada awal kita bertemu," ujar Dani sambil tersenyum. Laras tertawa kecil. "Iya, waktu itu aku bahkan tidak terpikir kita akan sejauh ini." Dani menggenggam tangan Laras erat. "Aku hanya ingin kamu tahu, sejak awal aku melihatmu, aku sudah tahu bahwa kamu adalah orang yang ingin kuperjuangkan."
Hujan terus turun, menciptakan melodi yang menenangkan. Laras menyandarkan kepala di bahu Dani dan merasakan kehangatan cinta yang tak tergantikan.