Pagi itu Laras tiba lebih awal di sekolah. Sambil menyeruput teh hangat yang ia bawa dalam termos kecil, pikirannya melayang pada percakapan semalam. Ia merasa ada sesuatu yang perlu ia selesaikan. Tidak adil rasanya jika situasi ini dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Saat jam istirahat tiba dan Pak Dani kebetulan berkunjung ke sekolah untuk menyerahkan beberapa dokumen program desa, Laras memberanikan diri bicara.
Pak Dani duduk di ruang guru sambil menunggu tanda tangan kepala sekolah. Laras mendekatinya dengan senyum kecil, lalu berkata, "Pak Dani, boleh bicara sebentar? Di luar, mungkin?"
Pak Dani mengangguk, sedikit bingung tetapi tetap mengikuti Laras ke teras sekolah. Udara siang itu terasa sejuk dengan hembusan angin lembut dari pepohonan di halaman. "Ada apa, Bu Laras? Kok terlihat serius?" tanya Pak Dani sambil menatapnya.
Laras menghela napas sejenak dan berusaha merangkai kata-kata. "Begini, Pak Dani. Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pesan dari Ibu Hany rekan kerja Bapak di kecamatan. Beliau memperkenalkan diri dan menyampaikan bahwa beliau merasa cukup dekat dengan Bapak."
Pak Dani terlihat terkejut. "Bu Hany? Dia chat Ibu?" Laras mengangguk. "Ya, beliau menyebutkan hubungan kerja kalian dan berharap semua tetap profesional. Tapi saya merasa ada nada lain dalam pesannya. Saya khawatir mungkin kedekatan kita selama ini menimbulkan kesalahpahaman."
Pak Dani mengerutkan dahi. "Bu Laras, saya tidak pernah memberi alasan untuk siapa pun merasa terganggu. Hubungan saya dengan Ibu Hany murni profesional. Saya memang sering bekerja sama dengannya tapi saya tidak pernah berpikir ada perasaan lain di balik itu."
Laras tersenyum tipis namun ada keraguan di matanya. "Saya percaya Bapak. Tapi, demi menghormati perasaan beliau, mungkin kita perlu menjaga jarak. Saya tidak ingin menjadi penyebab ketidaknyamanan di antara rekan kerja Bapak."
Pak Dani terdiam sesaat, lalu berkata pelan, "Bu Laras, saya mengerti. Tapi jujur saja, saya merasa nyaman berbicara dengan Ibu. Kita punya visi yang sama untuk memajukan desa ini. Kalau ini masalahnya, saya akan bicara dengan Ibu Hany. Tidak seharusnya hal seperti ini menjadi penghalang."
Laras menggeleng lembut. "Tidak perlu Pak Dani. Saya rasa, waktu akan menjawab semuanya. Biarlah kita fokus pada tugas masing-masing dulu." Percakapan itu berakhir dengan anggukan sepakat dari keduanya, meski hati mereka memendam rasa yang sulit diungkapkan.
Hari-hari berlalu dan seperti yang Laras katakan, ia mulai menjaga jarak. Ia tetap menjawab pesan Pak Dani jika berkaitan dengan pekerjaan tetapi tidak lagi membalas obrolan santai atau bercanda seperti dulu. Jika ada pertemuan kerja di kecamatan, Laras menjaga sikap lebih formal. Pak Dani menyadari perubahan itu tetapi ia menghormati keputusan Laras.
Ibu Hany merasa lega melihat Laras tidak lagi sering terlihat bersama Pak Dani. Namun ia juga merasa sedikit bersalah atas tindakannya. Diam-diam ia tahu bahwa Pak Dani lebih nyaman dengan Laras daripada dengannya. Ia hanya tidak ingin menyerah tanpa mencoba.