Malam semakin larut dan keheningan memenuhi rumah kecil itu. Laras perlahan bangkit dari kursi di dekat jendela, meletakkan cangkir teh yang kini sudah kosong, lalu melangkah menuju kamarnya. Ia berusaha melepas semua perasaan rindu yang bergemuruh dalam hatinya namun bayangan tentang kenangan-kenangan itu terus saja terlintas di pikirannya. Setelah mengucapkan selamat malam kepada ibu, ayah, dan adiknya, ia masuk ke kamarnya dan berbaring mencoba meresapi keheningan malam yang dingin.
Pagi datang dengan semilir angin yang segar dan aroma embun yang khas. Suara kokok ayam bersahutan di kejauhan mengiringi fajar yang perlahan menyingsing di balik pegunungan. Di rumah sederhana itu, Bu Marni sudah bangun lebih awal, sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Suara penggorengan yang berdesis mengisi ruang rumah bercampur dengan aroma nasi goreng yang harum, membuat siapa pun yang mencium baunya ingin segera duduk di meja makan.
Laras membuka matanya perlahan, merasakan sinar matahari pagi yang menerobos lewat jendela kamarnya. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengumpulkan semangat untuk menghadapi hari ini. Setelah membersihkan diri, ia keluar dari kamar dan menuju ruang makan, Adit sudah duduk sambil menguap lebar.
"Selamat pagi, Kak Laras!" sapa Adit ceria. "Lihat, Ibu masak nasi goreng favorit kita hari ini."
Laras tersenyum dan mengusap kepala adiknya. "Pagi, Adit. Sudah siap sekolah, ya?" Adit mengangguk penuh semangat sambil mengunyah nasi gorengnya. Bu Marni pun tersenyum melihat kedua anaknya bersemangat pagi itu. Pak Surya yang baru saja selesai membersihkan halaman, bergabung dengan mereka di meja makan, dan mereka sekeluarga pun sarapan bersama dalam suasana yang hangat.
Usai sarapan, Laras bersiap-siap untuk berangkat mengajar. Ia mengambil tas berisi buku-buku pelajaran dan lembar tugas murid yang sudah ia koreksi semalam. Setelah berpamitan pada ibu dan ayahnya, ia melangkah keluar rumah, diikuti oleh Adit yang bergegas menuju sekolah.
Udara pagi itu terasa segar dan jalan setapak yang membelah sawah seolah menyambutnya dengan keheningan yang damai. Sesekali ia bertemu dengan warga desa yang sedang beraktivitas pagi, seperti Pak Hasan yang tengah menggiring kerbau ke sawah atau Bu Sri yang berjalan sambil membawa sayuran segar untuk dijual di pasar. Laras menyapa mereka dengan senyum ramah yang menambah keakraban di antara penduduk desa.
Laras melanjutkan langkahnya menuju sekolah tempat ia mengajar, sebuah bangunan sederhana namun penuh cerita dan harapan. Gedung itu dikelilingi oleh pepohonan rindang dan suara kicau burung yang menyemarakkan suasana pagi. Sesampainya di sekolah, beberapa siswa yang sudah tiba lebih awal segera menyambutnya dengan sapaan riang. Melihat wajah-wajah ceria itu, Laras merasa hatinya sedikit lebih ringan. Di tengah kesibukannya mengajar, ia merasa kerinduannya sejenak tersisih, tergantikan oleh semangat untuk berbagi ilmu dengan anak-anak desa.
Laras melangkah ke ruang guru, rekan-rekan sesama guru sudah duduk dan bersiap untuk memulai mengajar. Bu Sari guru Matematika yang terkenal ramah namun tegas, melambaikan tangan saat melihat Laras masuk. "Bu Laras, pagi ini ada jadwal tambahan untukmu. Murid-murid kelas IX ingin latihan untuk acara pentas seni minggu depan dan mereka butuh bimbinganmu," ujarnya sambil tersenyum.
"Oh, baik, Bu Sari! Senang sekali mereka antusias. Saya akan bantu semampu saya," jawab Laras sambil tersenyum. Ia selalu merasa tergerak melihat semangat siswa-siswa ini, meskipun sekolah mereka tidak memiliki fasilitas lengkap seperti di kota.
Setelah menyusun materi untuk kelas pertama, Laras keluar dari ruang guru dan melangkah menuju kelas IX A. Di dalam kelas, para siswa sudah menunggu dengan penuh antusias. Beberapa dari mereka bahkan membawa alat musik sederhana, sementara yang lain membawa perlengkapan kostum yang akan digunakan untuk latihan.