Mohon tunggu...
Ratih R. Kai
Ratih R. Kai Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hidup itu pendek. Seni itu panjang. Agama itu dalam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Romantisme yang Mengapung

7 Agustus 2012   13:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:07 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti tiga malam sebelumnya Solikhin masih enggan mengajak bicara apalagi menjamah Haning. Puncaknya malam ini semua yang bergumul dalam benak Haning ia tumpahkan.

Solikhin masih terdiam, seperti seonggok patung bernyawa yang melamun di tepi ranjang. Tiga bulan lalu ranjang itu adalah saksi antara dirinya dan Haning. Kini?? Matanya jalang menyawang jendela malam yang menaburkan bintang di cakrawala. Tapi tidak dalam kamarnya itu.

Mata Haning tak kalah garang. Ia memandang Solikhin tak berkedip. Seperti singa hendak melahap mangsanya. Sepatah kata terlontar dari mulutnya.

"Jangan jadikan malam ini layaknya malam dendam kesumat. Sejatinya akuilah kau pasti sangat merindukanku," kata Haning sembari melemparkan pandangannya ke dinding.

Terpampang jelas foto pernikahan mereka berbingkai ukir kayu jati. Penuh nuansa eksotis dan mistis.

"Aku bukan yang kamu harapkan dik. Ketahuilah aku tak ingin keadaan seperti ini terus-menerus menimpa kita. Sampai kapan kau harus terus berhubungan dengan yang namanya Karno?" ucap Solikhin tiba-tiba.

Dan ia masih duduk di tepi ranjang. Tanpa melihat Haning.

Heningnya malam itu tampak jelas terasa. Solikhin bangkit dari duduknya. Memandang keluar dengan tatapan kosong.

"Huuuuffttt, beginikah kau membolak-balikkan perasaanku Ning?" ucapnya pelan.

Haning diam. Ia mengayunkan langkahnya pelan. Dipeluknya Solikhin dari belakang. Sedikit kaget, Solikhin menyentakkan tangan Haning perlahan.

"Kenapa mas? Kenapa kau tak mau aku peluk malam ini?" tanya Haning seraya merajuk manja.

"Aku hanya tak punya hasrat malam ini. Mengertilah Ning," kata Solikhin membalikkan tubuhnya.

Ia menatap Haning lekat-lekat. Solikhin sungguh menyimpan bara kepada istrinya itu. Hanya saja ia belum mampu meledakkannya. Entah kapan. Ia akan memberikan itu untuk kejutan.

***

Semburat cahaya menyibak dedaunan yang bergoyang tersapu angin. Jauh dari pandangan burung nuri yang asyik berkicau, sedang bergeliat membolak-balikkan tubuhnya. Bersiap mengarungi hari ini. Haning memicingkan matanya. Ia berasa asing. Biasanya jendela kamar sudah terbuka bila ia terlambat bangun. Hari ini ia libur kerja. Mulutnya masih menguap. Ia menggerakkan ekor matanya melihat secarik kertas di atas meja.

Pagi bidadari,

Hari yang indah untukmu menyambut dunia

Haning tersenyum.

"Mas Solikhin," ucapnya sambil mendekap erat kertas itu.

Di tempat lain, Solikhin bekerja dengan hati senang. Tapi juga harap-harap cemas. Ia berharap Haning akan membaca kertas yang ia letakkan di atas meja. Suasana pagi masih menebarkan semangat pada siapa saja yang menyambutnya. Solikhin pun demikian. Langkahnya mantap menuju tempat kerja. Tiba-tiba....

Tuutttt tutttt tuutttt, handphone bututnya berbunyi.

Sms dari Haning.

Terima kasih atas perkataanmu hari ini. Semoga ini awal yang baik.

Solikhin semakin berbunga. Ternyata tak meleset dari yang ia harapkan. Haning membaca kertas itu. Ia segera membalas pesan itu.

Tentu, semoga ini memang menjadikan awal yang baik dan terbaik untuk kita.

Langkahnya makin mantap bekerja hari itu.

Di sudut lain, Haning yang sumringah karena Solikin akhirnya memberikan perhatiannya bersiap memberikan kejutan padanya malam ini. Ia mendekor sebuah taman kecil di belakang rumahnya dengan meja, kursi, lilin dan beberapa ornamen lain yang menimbulkan kesan romantis.

Taman yang luasnya tak lebih dari delapan belas meter persegi itu kini disulap menjadi sebuah tempat spesial untuk gala dinner. Ditambah hamparan-hamparan kain putih yang Haning pasang sebagai kelambu. Ia mengerjakan itu sendiri. Ia ingin malam ini adalah malam ang sempurna untuknya.

Puas dengan paduan ornamen dan dekorasi yang ia buat, Haning pergi ke pasar. Membeli bahan-bahan untuk makan malam romantisnya.

Tak sampai satu jam Haning menuntaskan misinya. Tiba-tiba....

"Haning!" panggil seseorang.

Spontan Haning menoleh, suasana pasar yang sesak membuatnya tak cepat menemukan sumber suara.

"Ning, Haning," sapa seseorang.

Mata Haning berhenti pada seorang pemuda.

"Mas Karno?" tanya Haning.

"Iya, aku pikir aku salah orang. Ternyata ini benar kamu," kata Karno.

Haning hanya tersenyum.

"Bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja Ning? Kulihat tubuhmu sekarang mengurus, tapi cantikmu tak pernah pudar," kata Karno sambil terus menyawang Haning.

Haning yang merasa tatapan itu terus-menerus kearahnya segera mencari alasan.

"Jangan ngobrol disini Mas. Tidak enak dilihat orang banyak. Ayo kita ngobrol sambil minum es dawet di warung seberang," ajak Haning.

"Baiklah,' jawab Karno singkat.

Haning segera memsan dawet pada penjualnya.

"Mbak, dawet dua."

Angin siang itu terlalu malu-malu meniupkan ruhnya pada dedaunan yang melambai-lambai kecil. Di antara teriknya siang yang seolah enggan beranjak itu, dua orang manusia masih terus melanjutkan obrolannya.

"Ning, apa kau tak rindu pada orang tuamu?" tanya Karno pelan.

Haning terdiam. Bimbang ingin menjawab apa. Banyak pertanyaan yang bergumul dalam benaknya.

"Kenapa Mas Karno ingin aku pulang?" tanya Haning.

"Apa kau yakin kau akan bahagia dengan pernikahanmu bersama Solikhin yang katanya pengusaha itu?" tanya Karno kembali.

"Iya, aku bahagia mas," jawab Haning berusaha menutupi keadaan yang sebenarnya.

Tapi Karno bukanlah lelaki bodoh yang tak bisa membaca sinar mata sepupunya itu. Haning adalah anak pakdhenya. Mereka masih terikat keluarga. Haning anak perempuan satu-satunya. Dari kecil Karno sangat perhatian pada Haning. Bahkan ketika dirinya sudah resmi menikah dengan Santi. Perhatiannya pada Haning tak pernah berkurang. Hingga Santi kadang menyimpan kecemburuan.

"Tenanglah dik, Haning itu hanya sepupuku. Perhatianku padanya hanya sebatas seorang kakak pada adiknya," kata Karno menjelaskan pada Santi waktu istrinya itu menanyakan soal hubungannya dengan Haning.

"Apa aku bisa percaya padamu, Mas Karno?" tanya Santi.

"Percayalah dik, di sini ( sambil meletakkan tangan santi di dadanya ) hanya ada dirimu seutuhnya," jawab Karno.

Perempuan mana yang tak suka dengan jawaban seperti itu. Keduanya larut bersama hembusan angin malam. Santi tenggelam dalam pelukan Karno malam itu.

Kini Karno kembali bertemu dengan sepupunya itu. Tiga bulan ia tak pernah melihat batang hidung Haning. Karena Haning hidup terpisah dari keluarga. Hidup di rumah lain bersama Solikhin, suaminya.

"Tapi sorot matamu bicara lain, Ning. Kau kelihatan meyimpan rahasia dariku," kata Karno.

"Ahhh, cuma perasaanmu saja mas. Aku ini tidak apa-apa kok. Oya, kapan-kapan ajak Mbak Santi main kerumahku," jawab Haning.

"Iya, lain waktu," jawab Karno singkat.

"Sudah semakin siang mas, aku harus balik sekarang. Kapan-kapan mampirlah kerumahku," kata Haning.

Karno mengangguk.

"Tunggu, Ning. Aku hanya ingin kamu tahu. Aku akan terus menjagamu sampai kapanpun. Sama seperti masa kecilmu, hingga sekarang. Aku akan terus menyayangimu sebagai adikku," kata Karno.

"Terima kasih mas,' jawab Haning seraya pergi dari hadapan Karno.

Karno tak melepas tatapannya hingga menyadari Haning sudah tak ada disana lagi. Ia meyakini sepupunya itu sedang menyimpan sesuatu darinya. Tapi, entahlah.

***

Malam yang Haning inginkan tiba. Begitu Solikhin pulang kerja, ia menyambutnya dengan kecupan mesra.

"Lama sekali mas," tanya Haning merajuk.

"Tadi masih ada sedikit pekerjaan. Tumben sikapmu manja sekali? Ehmmm," kata Solikhin mendaratkan kecupan di kening Haning.

Ia bersiap memuntahkan semua bara yang selama ini ia pendam.

"Ayo ikut aku mas," kata Haning.

"Kemana?"

"Sudahlah, ayo," jawab Haning sambil menarik tangan Solikhin.

Haning mempercepat langkahnya ke taman belakang. Solikhin dibuat terkesima dengan dekorasi taman yang benar-benar romantis malam itu.

"Ini, kau yang membuatnya dik?" tanya Solikhin.

"Heemmm," jawab Haning lirih.

Solikhin memandang istrinya itu. Betul-betul takjub. Ada sebuah perasaan yang kembali menyeruak memenuhi dadanya. Malam itu sangat sunyi. Pelan-pelan lagu All by My self mengalun. Semakin menambah kesan dimabuk asmara.

Solikhin cepat menguasai dirinya.

"Kau cantik sekali malam ini, dik," kata Solikhin sembari menjelajahi wajah Haning dengan jemari-jemarinya.

Nampaknya ia tak sanggup menahan hasrat. Sebuah ciuman mesra ia daratkan di bibir Haning. Haning memejamkan matanya. Tapi, hanya sekejap. Solikhin menarik cepat bibirnya.

"Kenapa mas?" tanya Haning dengan muka terkejut.

Ia yang sudah serasa di puncak seperti terhempas.

"Aku, aku.. ahhh, apa kau sudah membaca kertasku tadi pagi?" tanya Solikhin.

"Sudah, yang ini kan?" tanya Haning menunjukkan kertas yang ia temukan di atas meja tadi pagi.

"Jadi, kau hanya membaca bagian itu?" tanya Solikhin.

"Kenapa mas?"

"Baliklah," perintah Solikhin.

Haning membalik kertas bertulis Pagi bidadari, Hari yang indah untukmu menyambut dunia itu.

Terbaca olehnya

Mulai hari ini, dunia akan menyambutmu, sendiri!!

Karena sudah waktunya aku kembali pada Rina, istriku.

Haning terpaku, serasa aja yang menghujam keras menembus jantungnya.

Ia merasakan pipinya basah, bukan karena keringat.

Dan, malam romantis impiannya itupun harus menguap tersapu angin malam yang semakin dingin menerpa tubuhnya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun