"Ning, apa kau tak rindu pada orang tuamu?" tanya Karno pelan.
Haning terdiam. Bimbang ingin menjawab apa. Banyak pertanyaan yang bergumul dalam benaknya.
"Kenapa Mas Karno ingin aku pulang?" tanya Haning.
"Apa kau yakin kau akan bahagia dengan pernikahanmu bersama Solikhin yang katanya pengusaha itu?" tanya Karno kembali.
"Iya, aku bahagia mas," jawab Haning berusaha menutupi keadaan yang sebenarnya.
Tapi Karno bukanlah lelaki bodoh yang tak bisa membaca sinar mata sepupunya itu. Haning adalah anak pakdhenya. Mereka masih terikat keluarga. Haning anak perempuan satu-satunya. Dari kecil Karno sangat perhatian pada Haning. Bahkan ketika dirinya sudah resmi menikah dengan Santi. Perhatiannya pada Haning tak pernah berkurang. Hingga Santi kadang menyimpan kecemburuan.
"Tenanglah dik, Haning itu hanya sepupuku. Perhatianku padanya hanya sebatas seorang kakak pada adiknya," kata Karno menjelaskan pada Santi waktu istrinya itu menanyakan soal hubungannya dengan Haning.
"Apa aku bisa percaya padamu, Mas Karno?" tanya Santi.
"Percayalah dik, di sini ( sambil meletakkan tangan santi di dadanya ) hanya ada dirimu seutuhnya," jawab Karno.
Perempuan mana yang tak suka dengan jawaban seperti itu. Keduanya larut bersama hembusan angin malam. Santi tenggelam dalam pelukan Karno malam itu.
Kini Karno kembali bertemu dengan sepupunya itu. Tiga bulan ia tak pernah melihat batang hidung Haning. Karena Haning hidup terpisah dari keluarga. Hidup di rumah lain bersama Solikhin, suaminya.