“Besok pagi aku akan membawamu ke rumah sakit. Sekarang kau istirahat dulu.” Lalu laki-laki itu menoleh ke arah Mbok Minah. “Saya pamit dulu, Mbok. Besok pagi-pagi saya ke sini lagi.”
Mbok Minah kemudian mengantarkan laki-laki itu keluar. Dokter Zaldi, yang minggu lalu mengatakan Ayah hanya flu ringan dan tak apa-apa.
Lalu kembali hening. Dan aku terkapar dalam remang, menatap jajaran genting yang menaungi rumah sederhana Mbok Minah. Saat itu aku sadar. Ada sesuatu yang tergenggam di telapak tangan kananku. Aku meremasnya.
Sebuah tusuk konde. Yang aku tak ingat kapan terakhir kali memegangnya. Kupejamkan mataku dengan lelah.
Jadi Mbok Minah lagi-lagi tak apa-apa?
Aku sudah tak lagi mampu memisahkan mimpi dan nyata. Semuanya terasa nyata bagiku. Masih terngiang di telingaku bunyi tulang patah dan letupan tengkorak Mbok Minah. Masih terbayang di mataku tentang semua warna merah pekat darah. Masih juga samar tercium hidungku bau anyir yang memuakkan.
Rumah sakit?
Pelan aku menggeleng. Lemah.
Tidakkah mimpiku akan makin buruk di sana?
Aku harus melakukan sesuatu.