Aku ingin berteriak, tapi tak bisa. Aku ingin menghentikan gerakanku, tapi nihil. Batang kayu itu terus menumbuk seluruh tubuh Mbok Minah seolah tubuh itu hanyalah seonggok rempah jamu.
Derak tulang patah. Letupan tengkorak kepala pecah. Otak yang meleleh. Darah yang muncrat. Merah. Pekat. Anyir. Semuanya kusaksikan tanpa aku bisa memejamkan mata.
Aku terpenjara. Ingin berteriak. Menangis. Memberontak. Menggeliat. Menghentikan semuanya. Tapi aku tak punya kuasa. Lilitan rambut itu masih erat membekap mulutku, menopang kaki dan badanku, menggerakkan tanganku. Terus... terus... terus... Hingga pada akhirnya raga Mbok Minah meremuk. Menjelma bagai seonggok karung yang disiram cairan merah. Lunglai. Bergeming. Setengah hancur.
Dan segumpal kabut tiba-tiba saja menyergapku. Menggulungku dalam hitam pekat yang membuat napasku sesak. Aku terkulai. Gelap.
***
Bisik-bisik... Bisik-bisik... Bisik-bisik...
“Apa ndak ditunggu dulu sampai membaik?”
“Lebih baik tidak ditunda lagi, Mbok. Saya khawatirkan lukanya mengalami infeksi.”
“Ya... ya... Lagipula...”