Mohon tunggu...
Pin
Pin Mohon Tunggu... -

alter ego

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 2] Kabut Hitam

21 November 2015   08:08 Diperbarui: 22 November 2015   13:35 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

(Pin, no. 3)

 

Hembusan angin menerpaku. Lalu semuanya terasa dingin. Wajahku. Sekujur tubuhku. Membuatku menggigil. Sebuah tetesan jatuh di pangkuanku ketika aku menunduk sedikit. Membentuk noda gelap yang melebar pada rok yang kupakai. Dan ada tetesan lagi. Tetesan lagi. Lagi. Lagi...

Pelan kuseka hidungku yang terasa nyeri sekaligus gatal. Lalu di tanganku ada cairan yang sama. Merah. Pekat. Lengket. Anyir.

Darah?

Aku tersentak. Lalu ada yang terasa meleleh dari telingaku. Bau anyir menguar lagi. Kuseka lelehan itu. Dan aku mendapati cairan yang sama.

Darah! Dari hidungku. Dari telingaku. Dari seluruh pori-pori di wajahku. Lalu luka-lukaku yang belum sembuh kembali meneteskan darah.

Aku menengadah pada rembulan. Masih sama. Semerah darah. Semerah tubuhku dengan tetes-tetes pekat yang berdesakan meliar keluar dari tiap lubang dan luka yang ada.

Aku berpaling. Mencari wajah Mbok Minah. Ia tak lagi berteriak. Hanya berdiri tegak di tengah ambang pintu dengan bibir bergerak-gerak. Tanpa suara. Dengan mata menyiratkan ngeri yang sangat

“Sukma... Sukma...”

Aku masih bisa menangkap ucapannya. Menyebut namaku.

“Mbok...,” bisikku.

Aku ketakutan! Darah di sekujur tubuhku! Tanpa nyeri. Tanpa rasa. Hanya dingin yang membekukan. Makin terasa ketika angin malam kembali berhembus. Membuatku menggigil hebat.

Aku berdiri dan seketika Mbok Minah berlari ke dalam rumah. Terseok langkahku ketika menyusulnya. Berharap ia menolongku menghentikan tetesan-tetesan darah yang terus keluar. Menghamburkan aroma anyir di udara.

Buk!

Sebuah pukulan menghantam bahuku begitu aku mencapai pintu.

“Kau titisan setan!”

Buk!

Sebuah lagi pukulan menghantam punggungku. Aku terjatuh. Tapi dengan ekor mataku masih bisa kulihat tangan Mbok Minah memegang sebatang kayu panjang, pengganjal pintu rumahnya.

Buk!

Sebuah pukulan kembali menghantam punggungku. Lalu lagi dan lagi. Diiringi teriakan-teriakan kalap Mbok Minah. Otakku memerintahkan aku untuk berteriak, bergerak, beringsut, menghindar. Tapi tampaknya jalur dari otak ke seluruh syaraf di sekujur tubuhku sudah terputus. Aku hanya mampu terdiam. Membiarkan punggungku jadi sasaran pukulan Mbok Minah. Sakitnya luar biasa.

“Aaargh!!!”

Aku tersentak.

Bukan! Itu bukan teriakanku! Susah payah aku menggerakkan leher dan memutar kepala. Lalu semuanya tertangkap oleh mataku.

Mbok Minah berteriak histeris ketika melihat apa yang sekarang melingkari pergelangan tangannya. Lilitan rambut itu... Ia kembali. Mencegah Mbok Minah menghajarku lebih lanjut.

Kepalaku terkulai di lantai. Leherku sudah tak kuat menyangga lagi. Tapi masih bisa kulihat semuanya di tengah kerjap mataku yang melemah.

Rambut itu kini melilit batang kayu. Seketika batang kayu itu terlepas dari tangan Mbok Minah. Masih bisa kulihat Mbok Minah beringsut menjauh dengan mulut berkomat-kamit entah merapalkan doa atau mantera apa. Tangannya menggapai-gapai. Mencari setiap benda yang mungkin bisa dijadikannya senjata.

Batang kayu itu menggelinding ke arahku. Beserta helai-helai rambut yang entah di mana pangkalnya. Aku menatap Mbok Minah.

Merah.

Semua yang tertangkap oleh mataku kini seolah berada di balik tirai tembus pandang berwarna merah. Bau anyir masih menguar, bahkan menguat di sekitarku.

Sebelum aku menyadari apa-apa, lilitan rambut itu kini menjangkauku. Sedikit demi sedikit melilit tubuhku. Kuat. Erat. Dan aku tak mampu mengelak atau melepaskan diri darinya. Juga ketika tiba-tiba saja batang kayu berat itu sudah ada dalam genggaman kedua tanganku.

Lalu aku melayang. Begitu saja. Mendekati Mbok Minah. Perempuan itu sudah tak lagi mampu beringsut. Ia hanya menatapku. Seolah memohon sesuatu. Dan tatapannya berubah jadi seribu ngeri ketika aku mendarat di depannya, dan batang kayu itu terayun ke arahnya. Berkali-kali. Berkali-kali.

Aku ingin berteriak, tapi tak bisa. Aku ingin menghentikan gerakanku, tapi nihil. Batang kayu itu terus menumbuk seluruh tubuh Mbok Minah seolah tubuh itu hanyalah seonggok rempah jamu.

Derak tulang patah. Letupan tengkorak kepala pecah. Otak yang meleleh. Darah yang muncrat. Merah. Pekat. Anyir. Semuanya kusaksikan tanpa aku bisa memejamkan mata.

Aku terpenjara. Ingin berteriak. Menangis. Memberontak. Menggeliat. Menghentikan semuanya. Tapi aku tak punya kuasa. Lilitan rambut itu masih erat membekap mulutku, menopang kaki dan badanku, menggerakkan tanganku. Terus... terus... terus... Hingga pada akhirnya raga Mbok Minah meremuk. Menjelma bagai seonggok karung yang disiram cairan merah. Lunglai. Bergeming. Setengah hancur.

Dan segumpal kabut tiba-tiba saja menyergapku. Menggulungku dalam hitam pekat yang membuat napasku sesak. Aku terkulai. Gelap.

 

***

 

Bisik-bisik... Bisik-bisik... Bisik-bisik...

“Apa ndak ditunggu dulu sampai membaik?”

“Lebih baik tidak ditunda lagi, Mbok. Saya khawatirkan lukanya mengalami infeksi.”

“Ya... ya... Lagipula...”

Semuanya itu terasa mengusikku. Pelan kubuka mata. Seketika aku terperangkap dalam remang.

Hah? Cahaya lilin? Kamar Mbok Minah?

Seketika aku bangkit. Ranjang itu berderak. Tapi gerakanku tertahan. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Sangat nyeri.

“Ah...,” aku mengerang lirih.

Rasa nyeri itu tetap terasa merajam tubuhku. Sebelum sempat turun dari ranjang, dua sosok menghampiriku dalam keremangan.

Nduk Sukma?”

Aku terperangah dalam gelap. Siluet itu menari-nari di mataku. Mbok Minah dan seorang laki-laki. Membuatku termangu.

“Kau sudah bangun?” suara laki-laki itu menyapa telingaku.

Ruangan sedikit lebih terang sekarang. Karena Mbok Minah menambah nyala lilin.

“Luka-lukamu berdarah lagi. Mbok Minah takut kau kenapa-napa. Jadi beliau memanggilku.”

Aku membiarkan diriku terseret hening. Letih.

“Besok pagi aku akan membawamu ke rumah sakit. Sekarang kau istirahat dulu.” Lalu laki-laki itu menoleh ke arah Mbok Minah. “Saya pamit dulu, Mbok. Besok pagi-pagi saya ke sini lagi.”

Mbok Minah kemudian mengantarkan laki-laki itu keluar. Dokter Zaldi, yang minggu lalu mengatakan Ayah hanya flu ringan dan tak apa-apa.

Lalu kembali hening. Dan aku terkapar dalam remang, menatap jajaran genting yang menaungi rumah sederhana Mbok Minah. Saat itu aku sadar. Ada sesuatu yang tergenggam di telapak tangan kananku. Aku meremasnya.

Sebuah tusuk konde. Yang aku tak ingat kapan terakhir kali memegangnya. Kupejamkan mataku dengan lelah.

Jadi Mbok Minah lagi-lagi tak apa-apa?

Aku sudah tak lagi mampu memisahkan mimpi dan nyata. Semuanya terasa nyata bagiku. Masih terngiang di telingaku bunyi tulang patah dan letupan tengkorak Mbok Minah. Masih terbayang di mataku tentang semua warna merah pekat darah. Masih juga samar tercium hidungku bau anyir yang memuakkan.

Rumah sakit?

Pelan aku menggeleng. Lemah.

Tidakkah mimpiku akan makin buruk di sana?

Aku harus melakukan sesuatu.

 

***

 

Bulan mulai menggelincir ke langit barat. Putih. Tak lagi merah. Menemani langkah tertatihku makin jauh dari rumah Mbok Minah.

Di sekitarku hanya hening. Angin tampaknya memilih untuk merebahkan dirinya sejenak di udara. Berlagak mati. Bahkan jengkerik pun seolah enggan bernyanyi. Hanya ada tawa burung hantu. Samar. Sesekali.

Aku tak pernah suka kegelapan. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa akan menemukan jawaban dari semua yang telah kualami ini dalam kegelapan itu.

Lalu aku sampai di ujung langkahku. Aku berhenti sejenak. Menatap gapura pemakaman yang berdiri pongah di tengah gelap dini hari. Tak ada lagi tempat untuk rasa ngeri. Walaupun aku melihat ada banyak anak kecil bugil berlarian di sekitar jajaran nisan. Sesekali menatapku dengan mata yang bulat menghitam.

Masih tertatih aku terus melangkah. Membiarkan tubuhku jadi santapan tatapan tajam para perempuan berparas pucat yang berpapasan denganku. Membiarkan tangan-tangan hitam berbulu mencolekku sesekali. Membiarkan gelak tawa melengking menggema di telingaku. Ada banyak kepala berlumur darah menggelinding di sekitarku. Anyir. Memamerkan senyum kematian. Juga potongan-potongan tubuh berbau busuk yang menari tanpa henti.

Aku membutakan mataku. Menulikan telingaku. Membiarkan hidungku menahan udara berbau busuk dan anyir yang menguar di sekelilingku. Sehingga semuanya bosan dan berhenti mengangguku. Lalu keheningan kembali menyergapku.

 

***

 

Dua nisan yang berjajar. Satu sudah berumur. Satu lagi masih baru. Nisan-nisan yang menyentakkan kesadaranku bahwa kini aku benar-benar yatim piatu. Yang bisa kulakukan kemudian hanya bersimpuh. Mengadu. Dalam airmata yang menderas. Semuanya menimbulkan rasa ngilu yang nyaris tak tertahan di sekujur tubuhku.

Aku hanya bisa mendaraskan kata tanya apa dan mengapa. Tanpa sedikitpun memperoleh jawabannya. Nisan-nisan itu tetap bergeming. Tanah terdiam. Jajaran kamboja membisu. Angin tetap berlagak mati.

Hingga semua hening itu tersibak oleh seleret sinar jingga di cakrawala timur. Hanya tipis. Seolah enggan menemuiku. Tapi telingaku menangkap sesuatu.

Langkah terseret. Bisikan yang menggema. Makin lama makin dekat.

“Sukma... Sukma... Sukma...”

Aku terloncat dan berbalik. Ternganga seketika.

Dia... kembali...

Dengan kepala hancur yang terus menggemakan namaku.

Bajingan itu! Lurah sialan! Aku masih mengenalinya!

Tapi sebelum aku sempat mengumpulkan serakan pikiran dalam benakku, sesuatu sudah meluncur dari genggaman tangan kananku. Cepat. Tepat menghujam dada bajingan berkepala hancur itu. 

Tusuk konde Ibu. Telak bersarang di dada berbulu yang menjijikkan itu. Membuatnya tergelepar mengejang. Tak ada darah yang mengalir lagi. Lalu ia terkapar. Diam. Dan tusuk konde itu melayang kembali ke tanganku.

Pelan... pelan... pelan... Gumpalan kabut itu datang lagi. Merayap. Kelam. Pekat. Hitam. Menggulungku hingga sesak napas. Membuatku megap-megap dalam gelap.

 

***

 

Kumpulan Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community

 

*Menerima segala kritik dan saran yang disampaikan secara santun, tulus, adil, dan beradab. Terima kasih*

 

pict : pinterest.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun