***
Â
Bulan mulai menggelincir ke langit barat. Putih. Tak lagi merah. Menemani langkah tertatihku makin jauh dari rumah Mbok Minah.
Di sekitarku hanya hening. Angin tampaknya memilih untuk merebahkan dirinya sejenak di udara. Berlagak mati. Bahkan jengkerik pun seolah enggan bernyanyi. Hanya ada tawa burung hantu. Samar. Sesekali.
Aku tak pernah suka kegelapan. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa akan menemukan jawaban dari semua yang telah kualami ini dalam kegelapan itu.
Lalu aku sampai di ujung langkahku. Aku berhenti sejenak. Menatap gapura pemakaman yang berdiri pongah di tengah gelap dini hari. Tak ada lagi tempat untuk rasa ngeri. Walaupun aku melihat ada banyak anak kecil bugil berlarian di sekitar jajaran nisan. Sesekali menatapku dengan mata yang bulat menghitam.
Masih tertatih aku terus melangkah. Membiarkan tubuhku jadi santapan tatapan tajam para perempuan berparas pucat yang berpapasan denganku. Membiarkan tangan-tangan hitam berbulu mencolekku sesekali. Membiarkan gelak tawa melengking menggema di telingaku. Ada banyak kepala berlumur darah menggelinding di sekitarku. Anyir. Memamerkan senyum kematian. Juga potongan-potongan tubuh berbau busuk yang menari tanpa henti.
Aku membutakan mataku. Menulikan telingaku. Membiarkan hidungku menahan udara berbau busuk dan anyir yang menguar di sekelilingku. Sehingga semuanya bosan dan berhenti mengangguku. Lalu keheningan kembali menyergapku.
Â
***
Â