“Aaargh!!!”
Aku tersentak.
Bukan! Itu bukan teriakanku! Susah payah aku menggerakkan leher dan memutar kepala. Lalu semuanya tertangkap oleh mataku.
Mbok Minah berteriak histeris ketika melihat apa yang sekarang melingkari pergelangan tangannya. Lilitan rambut itu... Ia kembali. Mencegah Mbok Minah menghajarku lebih lanjut.
Kepalaku terkulai di lantai. Leherku sudah tak kuat menyangga lagi. Tapi masih bisa kulihat semuanya di tengah kerjap mataku yang melemah.
Rambut itu kini melilit batang kayu. Seketika batang kayu itu terlepas dari tangan Mbok Minah. Masih bisa kulihat Mbok Minah beringsut menjauh dengan mulut berkomat-kamit entah merapalkan doa atau mantera apa. Tangannya menggapai-gapai. Mencari setiap benda yang mungkin bisa dijadikannya senjata.
Batang kayu itu menggelinding ke arahku. Beserta helai-helai rambut yang entah di mana pangkalnya. Aku menatap Mbok Minah.
Merah.
Semua yang tertangkap oleh mataku kini seolah berada di balik tirai tembus pandang berwarna merah. Bau anyir masih menguar, bahkan menguat di sekitarku.
Sebelum aku menyadari apa-apa, lilitan rambut itu kini menjangkauku. Sedikit demi sedikit melilit tubuhku. Kuat. Erat. Dan aku tak mampu mengelak atau melepaskan diri darinya. Juga ketika tiba-tiba saja batang kayu berat itu sudah ada dalam genggaman kedua tanganku.
Lalu aku melayang. Begitu saja. Mendekati Mbok Minah. Perempuan itu sudah tak lagi mampu beringsut. Ia hanya menatapku. Seolah memohon sesuatu. Dan tatapannya berubah jadi seribu ngeri ketika aku mendarat di depannya, dan batang kayu itu terayun ke arahnya. Berkali-kali. Berkali-kali.