Saya pun masuk mengekori langkah Febri.
Saya sudah pernah mencicipi salah satu makanan khas dari daerah Sulawesi Selatan itu. Adonan sagu yang diberi kuah sayur bening dan ikan. Rasanya memang enak dan yang pasti sehat. Tapi saya belum pernah melihat langsung proses “peracikannya”.
Saya sepertinya mesti mengurungkan niat sebentar lagi. Tadi niatnya mau mengajak Tisa jalan ke tempat romantis. Mumpung honor pemuatan cerpen di salah satu majalah lokal baru saja cair dan setiap hari kamis, kami sama-sama free mata kuliah. Entahlah. Sepertinya sebuah kebetulan yang sudah diatur Tuhan. Padahal saya di jurusan eknik elektro dan dia matematika.
Aroma ikan masak dengan bumbu kunyit yang strong langsung menyapa indra penciuman begitu kami melewati ruang tamu menuju ke dapur.
"Hera kuliah ya?" saya bertanya.
"Iya, Kak. Dari pagi tadi."
Sesampainya di dapur tercium aroma wangi yang lain. Tisa sedang menyangrai setumpuk kacang tanah.
"Wah, enak nih," saya berseru begitu melihat pemandangan itu.
"Kamu, Do!" Tisa menoleh sebentar melanjutkan kembali kegiatannya mengaduk-aduk kuali berisi kacang tanah itu.
Tisya memakai kaos abu-abu berlengan pendek. Rambut lurus sebahunya dikuncir ke atas, memamerkan leher jenjangnya yang mulai bertabur keringat. Tapi dia justru kelihatan manis dengan penampakkan seperti itu.
Pada tungku kompor yang lain aku melihat panci ikan tanpa penutup dengan kuah kuning mendidih.