Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel] Putih Cintamu Seputih Jubahku

24 Juli 2020   10:33 Diperbarui: 24 Juli 2020   10:44 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

4

Seminari Penjara Suci

Usai liburan semester satu, aku mulai mencari-cari informasi, ke mana aku mau melanjutkan sekolah usai SMA. Gereja menjadi tujuanku. Papan pengumuman di depan gereja menjawab keinginanku. Pengumuman penerimaan calon seminaris. Ku tuju kantor paroki dan bertanya bagaimana memenuhi syarat sebagaimana tertera di dalam banner itu.

Mas Andre pegawai sekretariat membawa aku menghadap ke Rama Vincent, dan menjelaskan aku mau apa.

"Kamu kan ketua OSIS di SMA mu, Gaby ya? Rama sudah dengar dari kepala sekolah pas perayaan Natal kemarin, bagaimana kamu serius mau masuk?" tanya Rama Vincent

"Iya Rama, serius, apa aja yang harus saya persiapkan?" Tanyaku dengan sungguh-sungguh.

"Tidak usah terlalu khawatir, biasanya Februari pembukaan, melihat kamu, mendengar cerita tentang kamu dari sekolah, Rama tidak khawatir soal syarat-syaratnya. Tinggal wawancara dari pihak para rama di sana yang menentukan. Saya tidak punya hak untuk mengatakan apa-apa. Berdoa saja, nanti kalau berkas dari Seminari datang, bisa Mas Andre hubungi kamu. Tinggal saja nomer HP atau email kamu di sekretariat..." panjang lebar rama memberikan gambaran awal untuk ku.

Masuk sekolah, khabar masih samar ini aku ceritakan ke Angie dengan semangat. Menengok pun tidak dia, hanya membuka novelnya, yang aku yakin dia tidak membaca apalagi mengerti isinya. Padahal aku seneng banget menceritakannya.

Ah dia marah karena Minggu kemarin, liburan terakhir mengajak aku cari buku aku malah ke gereja. Dia mengatakan ke gerejanya Sabtu saja, padahal aku bertemu Rama enaknya pas hari Minggu, mana bisa Sabtu malam bertemu Rama. Biasa ngambeg.

"Masih ngambeg gegara aku gak mau nemeni ke toko buku?" tanyaku langsung,

"Biasakan, kenapa mesti ngambeg?" jawabnya misteri, ada kata biasa segala.

"Terus kenapa?" aku tidak berani bercanda melihat keseriusannya ini.

Jarang dia diam tanpa aktivitas seperti ini, biasanya mulutnya diam tapi tangannya sibuk dengan bacaan atau main-main. Dia juga rajin membuat pernak-pernik baik dari pita, dari pipet air minum, ataupun benang, lho. Lucu, imut, dan keren-keren kreasinya. Kalau jadi, sudah pasti pindah ke tasku.

"Buat kamu, kamu kan seneng simpen, kalau aku paling hilang." Terangnya tanpa menunggu persetujuanku.

Ia tahu banget karena kalau main ke rumahku ia melihat karyanya aku pajang dalam kotak kecil yang aku buat dari kayu limbah  yang aku jadikan kotak-kotak untuk hasil kriya tangan terampilnya. Sayang kan susah-susah membuat jika tidak dirawat, dipelihara, dan dipajang dengan patut.

Diam super diam begini membuat tanda tanya besar, baru kali ini aku ingat-ingat hampir tiga tahun di sekolah yang sama. Hampir tiap hari, karena Minggu ke gereja pun bareng. Memang jarang dekat aku jika di gereja, ia memilih Anne sahabatnya di perumahan yang pendiamnya super itu. Ia seolah mendapat adik. Usianya sama, sekolah di sekolah lain, hanya sikap diam dan pasif itu membuat Angie seolah menjadi pelindung, perawat, dan penjaga sekaligus. Peran yang dinikmati baik olehnya.

Aku sendiri sering duduk di pintu dekat sakristi, biasa alumni misdinar. Bersama rekan-rekan misdinari senior sambil memberi tahu adik-adik kalau ada yang kurang. Tradisi turun temurun yang belum pernah mendapatkan teguran dari rama-rama yang berkarya selama ini.

Angie makin diam. Masih banyak omong seperti murai juga, namun terasa banget ia menjaga jarak. Makin jarang ia ngobrol atau jalan berdua. Lha iya, aku sering cari persyaratan. Dia juga sering berdalih ini itu kalau aku senggang. Aku sering tanya kenapa begitu, apa ia sakit, atau sedang naksir anak lain, biasanya gebugan atau cubitan, eh ini malah makin diam.

Sikapnya aku perhatikan kepada rekan lain tetap seperti biasanya, tidak ada perubahan yang berlebihan. Perilaku dan pendekatan pada Dany juga sama saja, tidak ada peningkatan yang berarti banyak. Masalah studi atau menjelang ujian tentu bukan bebannya, mana mungkin juara sekolah khawatir soal ujian akhir. Atau masalah usai sekolah itu yang menjadi pikirannya?

"Angie, kamu kenapa sih jadi pendiam banget? Tanyaku tulus.

"Gak papa, soal ujian paling?"Tambah serius mukanya.

"Maaf, Angie, apa iya, jawara kelas, sekolah bisa kepikiran ujian, sedang yang juru kunci saja tenang-tenang saja, aku gak yakin, itu masalahmu? "
 Sambil aku pandangi mukanya.

Biasanya aku akan ditampar halus kadang keras jika begitu, atau dia palingkan mukaku dengan telapak tangannya, bagian luar lho bukan halusnya jemari tangannya. Kebiasaan yang hampir sepanjang usia sekolah yang kami jalani. Ia melengos, dan makin menarik diri.

"Pulang, cari buku ya?" alihnya cepat, "Aku ke toilet dulu...."

Beep...beep....

Pesan singkat? Kernyitku, kan mau masuk jam pelajaran, aku lirik jam tanganku masih lima menit, cukup membukanya. Ha Angie....

"Arya kamu tahu, kita akan berpisah aku ke London, dan kamu ke penjara idamanmu....tahu aku akan kangen.................dan emoji tangis penuh banget". Aku tertegun.

Mengira sih sudah, tetapi kalau seterus terang ini, mana aku sangka. Kaget.

Seharian di kelas aku tidak konsen, untung bulan-bulan begini hanya latihan soal dan  bahan-bahan yang tidak lagi perlu konsentrasi tinggi. Sekolahku bukan model memberi banyak beban pada saat menjelang ujian, justru membebaskan pikiran kami dengan banyak aktivitas ringan, menonton film dalam beberapa mata pelajaran, permainan, dan diskusi-diskusi ringan. Berbeda seratus delapan puluh derajat si murai malah sudah ngicau lagi. Memang dengan sebaris pesan singkat itu, melegakannya sebulan lebih ini?

Mengajak diskusi soal film, novel, buku, dan mana bisa aku fokus dengan pesannya tadi. Meskipun matanya bening, aku tahu dia di kamar kecil tadi nangis. Buktinya ia telat masuk kelas, ditanya guru kenapa seumur-umur ia tidak telat, sakit biasa bawaan orok perempuan, begitu candanya. Jelas nangis kan baru minggu kemarin dia bilang mulas karena menstruasi, mosok balik lagi. Aku tidak mampu godain dia yang punya celah besar ini. Mana bisa sedang aku sendiri yang kena godam demikian berat. Guru agama memang baik, ia putarkan film soal pilihan. Mau memilih pacarnya yang mengajak ke konser, bahkan ia membeli tiket itu dengan menjadi tukang potong rumput, lihat ia berkorban begitu besar. Atau memilih mendampingi adiknya lumpuh yang sangat berharap ia bisa bersama sebagaimana sebelum kecelakaan itu terjadi. Dilema yang sangat kuat. Lihat ia nyerocos terus di telingaku, sama sekali tidak aku dengar, film saja tidak aku tangkap dengan baik.

Bel berbunyi, huuuuuf lega rasanya, ingat janjinya mengajak jalan, seperti palu mengentak dadaku lagi. Apalagi yang akan aku terima ini.

"Ayo," tariknya seperti anak kecil mau berangkat ke pasar malem.

Begini ini  modelnya kalau ada maunya. Sama persis saat menarik aku ke lapangan upacara, pas perkenalan pertama itu.  Apa aku sanggup untuk memutuskan coba....

"Aku bayarin angkotnya, ya, kamu nanti filmnya...." kesepakatan tidak adil ala Angela.

"Katanya cari buku, kesepakatan ala Angela yang menjengkelkan, tak adil, sepihak, dan sewenang-wenang," kalimat panjang sepanjang hari ini.

Malah membuat ia tergelak dan penumpang sampai menengok semua. Cuek saja.

Ada yang berbeda sikapnya. Tidak pernah dia duduk menempel dan menggelayut begini, memanas-manasin Dany yang beberapa kali itupun tidak sedekat dan semanis ini. Aku tahu  pasti karena pesannya tadi. Aku juga merasakan apa yang ia rasakan. Dalam diam aku merasa pedih dan kasihan juga sebenarnya.

Dia membuka tasnya dan mengambil hape, dia tidak tutup-tutupi, tapi seolah ia pamer kalau sedang mau menghubungi... aku....deeg, apaaan ini, duduk dempel begini mosok kirim pesan.

"Tahu kah kamu aku ingin memelukmu sekali saja, hangat dan nyaman rasanya. Seperti ini saja aku damai banget, coba kamu peluk....sekaliiii saja ya nanti di bioskop....emoji tangis, tawa, dan tanda damai banyak banget...."

"Gak sah balas..."

Kog gak dikirim....ternyata layarnya diberikan aku......

Aku jitak kepalanya saja sekalian, pelampiasan emosiku yang campur aduk tidak karuan itu. Rasanya aku bingung mau menamainya. Ada seneng, sedih, kecewa, menyesal, harapan, entah lah, semua jadi satu sampai beraduk-aduk.

Sampai di bioskop, ia sudah tahu mau nonton apa, yang sangat tidak aku sukai, tapi sangat ia gandrungi. Ini kan belum pernah terjadi, katanya. Ia tidak akan nonton kalau aku tidak suka atau sebaliknya. Mengenai selera film ada yang sangat bertolakbelakang dan kami tidak pernah kompromi. Banyak yang sama memang dan itu yang menjembatani pilihan kami.

Menanti pintu buka dia mulai lagi menggelayut manja, seolah tidak akan ada hari esok, makin mesra saja ia apalagi di bioskop begini. Seragam? Kami sudah berganti di sekolah. Hampir setiap hari ada kegiatan jadi kebiasaan ada pakaian ganti di tas kami. Bukan hanya atasan, termasuk rok dan celana panjang ganti. Sudah berubah anak gaul.

Benar saja ia makin erat memelukku, dan memaksa aku membalasnya. Dia bisikan aku untuk sekali saja mencium keningnya, lama aku bingung dan dia mulai cium pipiku. Dan dia letakkan kepalanya di bahuku.  Lima menit ia begitu, kemudian ia lepaskan tangannya dan mengambil hape. Aku rasa ia akan marah dan mengirim pesan.

"Benar kan ternyata jauh lebih damai dan nyaman ketika kamu membalas. Aku bahagiaaaa banget, hutangmu masih aku tunggu.....emoji senang sama banyaknya seperti tangisnya....."

Dia senggol aku dan memberi kode untuk membuka hape.

Kaget dan senang juga dia sudah balik ceria. Ada kata balas di akhir pesan, namun tidak aku jawab, biar ia penasaran. Langsung cubitannya menyasar pinggangku. Pas dia menyubit ketiga kalinya, aku cium dahinya yang pas banget, dan dia langsung rebah dan cubitan itu lebih keras, jauh lebih menggigit.

Tiba-tiba pula ia gigit pundakku dengan gemas, tangannya membekap mulutku agar aku tidak teriak. Kaget soalnya menggigit baru kali ini ia lakukan.  Filmpun usai tanpa tahu ceritanya.

"Mendingan buat beli sate daripada nonton tidak tahu ceritanya..." kataku sambil jalan keluar. Ia masih mengelayut di tanganku. Mukanya masih merah dan berbinar-binar. Diam tidak menjawab omelanku.

"Tahu tidak, aku memiliki cerita yang akan aku kenang seumur hidupku, soal film kan kamu memang tidak suka," tariknya aku ke fod court. "Aku traktir nasi goreng kesukaanmu itu,"

Ia pergi dan memesan makanan aku kira. Ada pesan masuk...

"Arya, makasih banyak dan banget ya, ini masih kerasa di dahi dan hatiku...aku simpan sampai akhir hidupku. Ciuman kasih bukan nafsu dari saudaraku yang memilih hidup selibat...selamat dan sukses untukmu, jangan salah sangka ini air mata bahagia bukan sedih, aku tunggu undanganmu di tahbisanmu nanti. Peluk sayang dari Angimu, Angela si Murai."

Selengkap itu menulis, lhoh tidak lama dia sudah datang dengan membawa pesanannya. Dua piring nasi goreng. Dia padahal tidak suka dengan nasi goreng, entah kali ini membeli yang sama. Anehnya lagi dia yang bawa, kan biasanya di antar.

"Spesial untukmu, aku bawakan dan pesankan, kalau biasanya kamu akan ngamuk karena kemahalan, kali ini tidak ada,  karena spesial"  aku tahu dari piringnya berapa harganya. Makanan segini, bisa untuk makan sekeluarga dua hari. Bener aku berkaca-kaca haru menyaksikan betapa ia menghargai aku. Dia pura-pura mencari sesuatu di tasnya, diam hanya senyum-senyum saja.

"Kapan kandidatan," tanyanya singkat dengan senyum yang sangat mengembang.

"Dua minggu lagi.." jawabku ogah-ogahan.

"Izin berarti? "  senyum yang sama.

"Iya, toh hanya hari Jumat," sepi mesti begitu responnya.....

"Tidak Arya, ini masa depanmu, pilihanmu, dan juga jawaban imanmu....congrats ya..." sambil ia jabat tanganku erat banget.

"Tumben bahasa Inggris..."dia paling antibahasa asing jika dalam keseharian, padahal dalam bidang itu jago.

"Special...." aku tidak mau merusaknya dengan kata sapi sial....

Usai nonton dan makan mencari buku, dan dia memaksa aku membelikan baju, aku menjawab tidak punya uang dan malas mengantar cari baju, ia merengek dan ngambeg tidak mau jalan. Gila ni anak gak biasa-biasanya. Iyalah kenal hampir tiga tahun juga baru sekali ini. Akhirnya aku ikuti kemauannya dan baju terbeli dengan kemampuanku. Aku yakin dia belum pernah membeli baju seharga itu, pakaiannya jauh lebih mahal.

"Daah, aku pulang..." dia berlari dan naik  angkot pertama yang ia lihat, sedang aku masih tertegun di depan pintu mall itu.

Biasanya dia bilang via medsos, ternyata tidak. Sampai masuk sekolah juga tidak, hanya kemudian ia balik ke dirinya yang asli, cerita, cerewet, dan makin manis. Jaga jarak makin jauh dan masih sih jalan, diskusi, gebugin badan, soal menggandeng tidak lagi. Ia juga berubah, memakai bando, atau penjepit rambut yang bagus-bagus, selama ini mana pernah begitu.

Tak terasa Februari menjelang, aku sering tidak duduk lama lagi di sekolah, pulang mempersiapkan persyaratan masuk seminari. Minggu ke dua sudah ada pengumuman seleksi di sana, Jumat usai sekolah berangkat, dan Minggu siang bisa pulang dari sana. Aku sudah berhitung, semoga Jumat nanti tidak ada hal yang penting sehingga izin, Sabtu libur, dan Minggu sudah balik. Hari Senin berikutnya sudah mulai sekolah biasa. Sudah tidak sabar aku untuk itu, keinginan lama yang aku inginkan.

"Angie aku Jumat berangkat, mohon doanya ya....semoga bisa melalui wawancara dengan baik. Kata rama paroki kalau soal intelektual dan akademis tidak masalah. Aku nervous ini...." kataku Kamis siang seusai sekolah.

Dia ternyum lebar dan menjabat tanganku erat-erat, sama persis dengan pas makan siang itu. Dalam diam.

Lanjutnya, "Kamu tidak mohon doa restu Papa Mama..." tanya dan tuntutnya.

Oh iya, aku memanggil orangtuanya papa mama, seperti dia memanggil orang tuaku bapak dan ibu, mereka yang menentukan, kan saling tidak punya anak laki dan perempuan, jadi kami jadi korban yang enak bagi mereka.

"Besok pagi, sambil aku berangkat, sebelum papa mama ke kantor.." jawabku sesuai rencana.

"Oke kalau begitu...."

Ting tong....

"Pagi Arya......" aku tertegun, dan tidak habis pikir, ia menggunakan rok dan baju yang kemarin kami beli, pakai high heel lagi. "Salam malah bengong, shock ya lihat aku cantik....."

"Pagi Demon".....dia ngamuk sekaligus ngakak. Tahu aku memelesetkan nama kesayangannya. Aku belum pernah memanggil begitu, paling aku panggil penggoda yang ia nikmati.

"Ayo, masuk, papa mama sedang makan, kamu juga belum sarapan kan?" walaupun ia tahu aku pasti sudah makan nasi goreng, mana bisa aku mau pergi jauh tanpa makan dulu.

"Pagi Papa, pagi Mama, Pagi Angela....." sapaku yang membuat ia tergelak lagi.

"Pagi Gabie...." balas Papa dan Mama.

Angie hanya ngakak saja, apalagi aku panggil dia Angela.

"Anak mama ini sejak bangun ceria banget, ini sudah ngakak-ngakak, tawamu dari depan kedengaran lho..." goda Mama sambil acak-acak rambut panjang Angie.

Lho papa mama kog tidak pakai baju kantor, juga Angie....

"Mau ke pesta ya, kog semua pakai baju begini, bukan mau ke kantor dan sekolah...."

"Kan nganter kamu Gaby, " jawab Papa, "mana tidak suka mau antar anak mendaftar ke seminari. Tidak banyak lho yang mau dan terpilih."

Aku sangat terharu. Bapak dan ibu tidak akan bersikap begitu, melepaskan aku bukan karena tidak sayang atau perhatian, namun itu adalah pilihanku dan tanggung jawabku.  Aku suka sih dengan pola pendekatan Bapak dan Ibu, bahkan sebenarnya kebaikan Papa Mama malah ini aku anggap berlebihan. Melihat keceriaan mereka mana bisa aku mengacaukannya.

" Jam berapa harus sampai sana?"

"Sebelum makan siang, kisaran pukul 13, paling lambat."

"Perjalanan dua jam tidak sampai, tapi kita bersantai dan jalan-jalan dulu saja, usai makan kita berangkat. " putusan ala Angel jelas.

Si Murai tidak pernah diam. Papa dan mama yang duduk di depan sampai geleng-gelelng kepala terus menyaksikan ulah puterinya.  Aku sendiri hanya mendengarkan dengan bingung.

Gerbang yang sangat aku kagumi itu mulai terlihat. Kerimbunan pohon-pohon sebagaimana di gambar-gambar itu makin jelas. Mobil berbelok menyeberang menuju gerbang itu. Hatiku mengatakan ini rumahmu...

Kami disambut panitia di depan kapel. Kami diarahkan masuk ke kapel dulu untuk berdoa sejenak di sana. Aku merasa begitu damai, tenang, dan bahagia. Ku lirik Angel pun begitu tenang berdoa, berlutut dengan matanya yang terpejam bukan terpaksa namun damai dan tenang syukurlah ia bahagia juga nampaknya.

Genta gereja bertalu, menunjukkan pukul 12 siang, Doa Malaikat Tuhan dilafalkan, dan papa-mama- dan Angie pamit pulang, aku mohon restu mereka, dan lama jabat eratnya sambil dilengkapi injakan high heelnya di sisi kakiku. Perih banget, dan mama sampai membentak Angel yang hanya meringis dan menunjukkan jari membentuk V. Aku hapal modelnya, mama pun marah sayang dan tentu paham yang ada di hati puterinya.

Hari pertama mendapat giliran untuk mengosek WC dan kamar mandi, semua dilakukan dengan diam. Test intelijensi dilakukan usai sarapan pagi. Beberapa test untuk menunjukkan kualitas dan kepribadian calon, hingga menjelang makan siang acara ini dilaksanakan. Lumayan lancar dan satu bagian sangat senang, banyak waktu yang tersisa, yaitu vokabulari Bahasa Indonesia. Hobbi mengisi TTS bersama bapak sangat membantu. Di kemudian hari aku tahu hasilnya hampir sempurna salah satu kata yang akan aku ingat seumur hidupku.

Usai siesta[1], ada wawancara, bagi yang tidak ada jadwal wawancara jam itu, diminta ikut opera.[2] Aku termasuk yang belum mendapat bagian untuk wawancara, oleh angelus [3] untuk membersihkan dormitorium[4]. Menyapu dan mengepel. Hal-hal ini dimaksudkan sebagai wujud tanggung jawab. Selesai opera aku mandi dan siap-siap antri untuk wawancara. Empat pewawancara yang harus aku temui dan selesaikan. 

Minggu setelah Misa, makan pagi, kami pulang ke daerah asal kami masing-masing. Ternyata papa dan mama serta Angie kali ini membawa bapak dan ibu. Telah menantikan di depan untuk menjemput.

Kaget campur senang aku atas perhatian mereka. Di luar perkiraanku bahwa akan seperti ini. Syukur kepada Allah atas kasih ini.

"Bagaimana hasilnya kira-kira?" ibu yang membuka pembicaraan pas sudah di jalan.

 " Syukur, harapan baik Ibu, soal pastinya, nanti, dua minggu lagi akan dikirim lewat Paroki..." jelasku dengan lega, apa yang aku bayangkan sudah  makin dekat. Soal tahbisan jauuuh banget, minimal 10 tahun ke depan. Sama sekali belum ada bayangan itu.

"Sudah makan Gab?" kali ini Mama yang bertanya.

"Sudah, ini baru saja selesai, masih kenyang..." jawabku apa adanya, Angie senyum senyum saja, aku diam.

Dua minggu kemudian hasil test ku dinyatakan lolos diminta test kesehatan di rumah sakit yang ditunjuk. Hasilnya pun baik. Surat pengumuman lewat paroki baik pula dan aku diminta datang dengan beberapa syarat. Baju maksimal delapan potong, pakaian rumah dan celana pendek dengan jumlah yang sama, kaos dalam dan celana dalam dengan seragam berupa baju putih dan celana hitam dua di antara delapan itu. Ketat memang dengan uang saku yang dibatasi agar tidak menjadi pribadi pengabdi uang dan materi. Mendidik pribadi yang bergantung Allah sepenuhnya. Kesederhanan agar tidak berjarak dengan umat yang dilayaninya.

Pendidikan setahun itu tidak terasa hampir selesai. Akhir tahun kami diharuskan untuk memilih mau menjadi imam yang bagaimana, apakah religius yaitu biarawan yang berkaul, atau rohaniwan atau biasa dikenal praja. Jika praja kami mau ke mana boleh memilih, jika biarawan, biarawan yang menganut spritualitas macam apa. Sepanjang tahun  kami memang dikenalkan dengan corak hidup membiara atau lembaga hidup bakti.

Aku memilih ke mana, dengan dasar  memang merasa diriku bisa berkembang dan mengabdi kepada Tuhan melalui sesama dengan jalan itu. Biarawan yang memiliki  karya misi sebagaimana aku idamkan. Bisa mengenalkan dan mengajarkan iman akan Kristus di mana belum ada. Hal ini terinspirasi dari novel dan film Silence. Dikisahkan dalam film itu betapa berat misionaris muda yang mencari sang guru, magister[5] mereka di novisiat[6] yang dikabarkan sudah berpindah keyakinan dan imannya karena tidak tahan akan siksaan di tanah misi, Jepang. 

Novelnya sudah aku lalap habis dengan penuh antusias dan ngeri membayangkan bagaimana pelarian, ketakutan, dan merananya mereka. Hidup di dalam gua-gua tanpa makanan yang cukup, pakaian yang sangat terbatas, dan was-was sepanjang waktu. Gambaran siksaan dan kecurigaan akan penghianatan memenuhi imajinasi saat membacanya.

Kematian yang sangat pelan dan berat karena mempertahankan iman, harus memilih menginjak gambar suci, fume[7],  atau mendapatkan siksaan yang tidak bisa digambarkan. Harga imam, guru agama, dan orang beragama Kristen masing-masing berbeda yang sangat menarik bagi penduduk miskin masa itu di Jepang. 

Sang guru yang dicarinya ternyata menjadi tenaga ahli kekaisaran untuk menerjemahkan buku-buku barat. Motivasinya entah demi apa, bukan menjadi fokus kisah ini. Luar biasa.

Film yang ditayangkan untuk kami diskusikan ternyata lebih mengerikan daripada yang aku bayangkan sebagaimana imajinasi membaca. Kesadisan dan kekejaman yang digambarkan sangat mendetail dan sangat keji.

Tanah misi yang beragam, satu yang pasti, sulit. Sulit dalam aneka bentuk, bisa sulit alamnya, budayanya, atau sosiologisnya. Beberapa tempat tidak mudah dijangkau dengan alat transportasi modern. Kondisinya masih belum semaju kita ini. Di tempat-tempat ini  hatiku tergerak, terpanggil, dan merasa akan berguna, bukan hanya aku, banyak rekan-rekanku juga tertarik dan merasa Tuhan mengajak kami ke sana. Membantu mereka untuk menjadi lebih baik, bukan semata soal iman, namun kemanusiaan mereka.

 Terima kasih dan salam

 

Susy Haryawan

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun