Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel] Putih Cintamu Seputih Jubahku

24 Juli 2020   10:33 Diperbarui: 24 Juli 2020   10:44 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biasanya aku akan ditampar halus kadang keras jika begitu, atau dia palingkan mukaku dengan telapak tangannya, bagian luar lho bukan halusnya jemari tangannya. Kebiasaan yang hampir sepanjang usia sekolah yang kami jalani. Ia melengos, dan makin menarik diri.

"Pulang, cari buku ya?" alihnya cepat, "Aku ke toilet dulu...."

Beep...beep....

Pesan singkat? Kernyitku, kan mau masuk jam pelajaran, aku lirik jam tanganku masih lima menit, cukup membukanya. Ha Angie....

"Arya kamu tahu, kita akan berpisah aku ke London, dan kamu ke penjara idamanmu....tahu aku akan kangen.................dan emoji tangis penuh banget". Aku tertegun.

Mengira sih sudah, tetapi kalau seterus terang ini, mana aku sangka. Kaget.

Seharian di kelas aku tidak konsen, untung bulan-bulan begini hanya latihan soal dan  bahan-bahan yang tidak lagi perlu konsentrasi tinggi. Sekolahku bukan model memberi banyak beban pada saat menjelang ujian, justru membebaskan pikiran kami dengan banyak aktivitas ringan, menonton film dalam beberapa mata pelajaran, permainan, dan diskusi-diskusi ringan. Berbeda seratus delapan puluh derajat si murai malah sudah ngicau lagi. Memang dengan sebaris pesan singkat itu, melegakannya sebulan lebih ini?

Mengajak diskusi soal film, novel, buku, dan mana bisa aku fokus dengan pesannya tadi. Meskipun matanya bening, aku tahu dia di kamar kecil tadi nangis. Buktinya ia telat masuk kelas, ditanya guru kenapa seumur-umur ia tidak telat, sakit biasa bawaan orok perempuan, begitu candanya. Jelas nangis kan baru minggu kemarin dia bilang mulas karena menstruasi, mosok balik lagi. Aku tidak mampu godain dia yang punya celah besar ini. Mana bisa sedang aku sendiri yang kena godam demikian berat. Guru agama memang baik, ia putarkan film soal pilihan. Mau memilih pacarnya yang mengajak ke konser, bahkan ia membeli tiket itu dengan menjadi tukang potong rumput, lihat ia berkorban begitu besar. Atau memilih mendampingi adiknya lumpuh yang sangat berharap ia bisa bersama sebagaimana sebelum kecelakaan itu terjadi. Dilema yang sangat kuat. Lihat ia nyerocos terus di telingaku, sama sekali tidak aku dengar, film saja tidak aku tangkap dengan baik.

Bel berbunyi, huuuuuf lega rasanya, ingat janjinya mengajak jalan, seperti palu mengentak dadaku lagi. Apalagi yang akan aku terima ini.

"Ayo," tariknya seperti anak kecil mau berangkat ke pasar malem.

Begini ini  modelnya kalau ada maunya. Sama persis saat menarik aku ke lapangan upacara, pas perkenalan pertama itu.  Apa aku sanggup untuk memutuskan coba....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun