"Kapan kandidatan," tanyanya singkat dengan senyum yang sangat mengembang.
"Dua minggu lagi.." jawabku ogah-ogahan.
"Izin berarti? " Â senyum yang sama.
"Iya, toh hanya hari Jumat," sepi mesti begitu responnya.....
"Tidak Arya, ini masa depanmu, pilihanmu, dan juga jawaban imanmu....congrats ya..." sambil ia jabat tanganku erat banget.
"Tumben bahasa Inggris..."dia paling antibahasa asing jika dalam keseharian, padahal dalam bidang itu jago.
"Special...." aku tidak mau merusaknya dengan kata sapi sial....
Usai nonton dan makan mencari buku, dan dia memaksa aku membelikan baju, aku menjawab tidak punya uang dan malas mengantar cari baju, ia merengek dan ngambeg tidak mau jalan. Gila ni anak gak biasa-biasanya. Iyalah kenal hampir tiga tahun juga baru sekali ini. Akhirnya aku ikuti kemauannya dan baju terbeli dengan kemampuanku. Aku yakin dia belum pernah membeli baju seharga itu, pakaiannya jauh lebih mahal.
"Daah, aku pulang..." dia berlari dan naik  angkot pertama yang ia lihat, sedang aku masih tertegun di depan pintu mall itu.
Biasanya dia bilang via medsos, ternyata tidak. Sampai masuk sekolah juga tidak, hanya kemudian ia balik ke dirinya yang asli, cerita, cerewet, dan makin manis. Jaga jarak makin jauh dan masih sih jalan, diskusi, gebugin badan, soal menggandeng tidak lagi. Ia juga berubah, memakai bando, atau penjepit rambut yang bagus-bagus, selama ini mana pernah begitu.
Tak terasa Februari menjelang, aku sering tidak duduk lama lagi di sekolah, pulang mempersiapkan persyaratan masuk seminari. Minggu ke dua sudah ada pengumuman seleksi di sana, Jumat usai sekolah berangkat, dan Minggu siang bisa pulang dari sana. Aku sudah berhitung, semoga Jumat nanti tidak ada hal yang penting sehingga izin, Sabtu libur, dan Minggu sudah balik. Hari Senin berikutnya sudah mulai sekolah biasa. Sudah tidak sabar aku untuk itu, keinginan lama yang aku inginkan.