Mohon tunggu...
Nisrina Haqque
Nisrina Haqque Mohon Tunggu... Pengajar dan pembelajar. -

Seorang pembaca dan pembelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinderella Hati Dennis

25 Juli 2015   13:20 Diperbarui: 25 Juli 2015   13:20 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mungkin ini adalah pertemuan yang paling tidak diinginkan oleh lelaki ini maupun gadis itu. Sabtu malam, mereka menuju ke sebuah kafe yang terletak di daerah Gombel, Semarang. Mereka duduk berhadapan, menikmati gemerlap cahaya kota Semarang dari atas. Indah sekali. Mungkin berbeda suasananya jika pertemuan ini mereka niatkan untuk menghabiskan waktu bersama. Yang terjadi justru sebaliknya.

“Elo tahu kan, elo itu  belahan jiwa gue,” ucap lelaki itu langsung sebagai pembuka percakapan. Tanpa ragu, tanpa malu, dan tanpa terburu-buru. “Dan kita sudah sepakat mengenai definisi itu sejak pertama kali mengetahuinya.”

“Ya,” gadis itu membenarkan. Ia tidak membantah atau menyela ucapan lelaki yang berada di depannya. Kau tahu arti belahan jiwa? Orang sering mengartikannya dengan soulmate; yang maknanya semakin pudar dengan kata couple. Jika couple adalah pasangan hidup, maka soulmate adalah pasangan jiwa; tidak harus berlawan jenis, tetapi mereka memiliki kesamaan jiwa yang tak pernah runtuh oleh apapun. Semacam ada ikatan batin yang kuat. Dan gadis itu mengakui bahwa lelaki itu adalah pasangan jiwanya; mereka cocok melakukan hal apapun bersama-sama. Apapun sebutannya, mereka ya mereka seperti apa adanya.

“Tapi elo nggak memilih gue,” laki-laki itu berkata lirih. “Padahal elo tahu, gue sudah pernah mengatakannya.”

Kini gadis itu mengalihkan pandangannya pada cahaya lampu yang bertebaran dari sudut matanya.

“Gue gak bisa memaksa elo, kan,” ucap lelaki itu lagi. Ia tertawa getir. “Mana mungkin elo memilih gue sebagai partner hidup di masa depan. Gue cuma pekerja seni biasa. Tidak memiliki bekal hidup apapun untuk hidup dengan lo. Elo memang berhak memilih yang lain, yang lebih baik tentunya.”

“Nah, itu lo tahu,” ucap gadis itu santai, tapi menikam. Ia tak pernah berkata sekeras ini pada lelaki ini sebelumnya, tapi ia merasa perlu kembali menegaskan. “Kalau sudah tahu begitu, mengapa lo tidak coba merelakan gue?”

“Gue hanya takut kehilangan lo seutuhnya,” laki-laki itu menjawab jujur sembari menatap kedua bola mata gadis yang berwarna cokelat itu. Dalam gelapnya malam pun warna iris matanya masih terlihat terang.

Gadis itu menggeleng. “Kita tentu masih bersama, tapi hanya sebatas itu.”

“Apa bedanya?” laki-laki itu bersikeras. “Gue ingin lo tahu, laki-laki itu gak cocok buat elo. Elo gak akan bahagia bersama dia.”

“Tidak adil,” Gadis itu menggumam. “Seandainya gue di posisi elo, gue gak akan mengatakan itu pada lo.”

“Karena mata gue bisa melihat kebenaran,” Laki-laki itu kembali meyakinkan. “Percaya sama gue, Arsya, itu bukan cinta.”

“Sebentar lagi dia akan datang,” Gadis itu tidak menghiraukan laki-laki itu. “Akan gue kenalkan dia pada lo.”

Laki-laki itu setengah terkejut. Ia menopang dagu, menunggu kemungkinan yang akan terjadi berikutnya. Ia lalu memutuskan untuk mulai melahap spaghetti yang mulai mendingin karena perbincangan mereka tadi. Gadis itu juga menyuapkan kentang goreng yang telah dicocol saus pada mulutnya, sementara matanya terus menerus memandangi cahaya lampu kota Semarang. Meskipun pandangannya kosong, laki-laki itu tahu bahwa gadis di hadapannya ini telah memiliki rencana yang baik untuk hari ini-dan hari esoknya kelak.

“Halo. Maaf lama menunggu,” Sesosok laki-laki lain datang menghampiri mereka. Ia menyalami gadis itu dengan wajar, dan duduk di sampingnya.

“Ini dia,” Gadis itu memulai acara perkenalan. “Laki-laki yang  gue ceritakan pada lo. Namanya Gilang.”

“Gilang.”

“Dennis,” Laki-laki itu mengangguk singkat. Dalam sekejap terlihat perbedaan yang sangat kentara di antara mereka. Ya, inilah laki-laki yang dicari Arsya, gumam Dennis dalam hati. Mengenakan kemeja hitam bergaris-garis putih yang lengannya digulung hingga mencapai siku, bercelana panjang hitam yang terlihat lekukan bekas setrikaan, dan bersepatu pantovel hitam yang dilengkapi kaos kaki senada dengan warna sepatu dan celananya. Berbanding terbalik dengan pakaian Dennis malam itu; dengan kaos bergambar tokoh wayang yang tidak terlalu licin, celana jeans yang sedikit lusuh, dan dipadu dengan sandal gunung. Kedua laki-laki itu memiliki aura kedewasaan yang berbeda, meskipun secara usia, mereka hampir sama.

“Sudah lama?” tanya Gilang sedikit berbasa-basi.

Arsya menggeleng. “Belum. Kami baru mulai makan.”

“Gue sudah selesai,” Dennis meletakkan garpunya di atas piring. “Berarti kita sudah cukup lama di sini.”

Arsya melotot menatap Dennis. Yang ditatap lekat-lekat malah cuek saja. Sementara Gilang masih diam mematung melihat mereka. Ia lalu berinisiatif memanggil pelayan lalu memesan kopi panas dan roti bakar cokelat.

Lo pasti sudah tahu siapa gue,” Dennis menatap Gilang dengan tatapan sangat menikam. “Gue dan Arsya sudah bersahabat sejak lama, bahkan sebelum dia bertemu dengan anda.”

“Saya tahu,” Gilang tersenyum tenang. Bagi Dennis, senyum semacam itu rasanya memuakkan. Pakai kata saya, lagi. Rasanya formal banget. Dan rasanya seperti kalah pada musuh. Dan ia memang sudah kalah, sih, hanya malu mengakui.

Gadis yang terjepit di antara kedua laki-laki itu hanya terdiam, tak bisa menebak ke arah mana pertemuan ini akan bermuara. Tadinya ia hanya akan mengenalkan Gilang pada Dennis, dan berpikir bahwa Dennis akan pamit duluan sehingga ia bisa berdua saja dengan Gilang. Itu kemungkinan baik jika Dennis tidak kuat iman. Bisa saja mereka akan terlibat perang dingin atau bagaimana. Tapi sebaliknya, Dennis dan Gilang justru terlibat perbincangan serius. Tak ada senyum yang keluar dari keduanya. Meskipun rileks, Arsya bisa melihat bahwa rahang Dennis masih mengeras. Masih tidak rela jika lelaki di sampingnya yang berhasil merebutnya.

“Pulang yuk, Sya,” Gilang mengakhiri perbincangan dan mengelap mulutnya dengan tisu. Ia segera membayar seluruh makanan dan kembali menghampiri mereka.

“Masih jam sembilan, juga,” cegah Dennis. “Banci aja belum nongol.”

“Anak perempuan tidak baik menampakkan diri di atas pukul sembilan malam,” Gilang menatap Dennis lamat-lamat. “Kecuali perempuan yang tidak benar, seperti yang anda sebutkan tadi.”

Arsya meringis menahan tawa. Sementara Dennis hanya memalingkan muka, merasa pemuda di depannya ini sok suci. Setelah mereka pergi, Dennis kembali termangu melihat kelap-kelip Semarang yang terbentang di bawahnya.

Sendirian.

***

Tanpa pemberitahuan, tanpa ultimatum, Dennis bisa merasakan bahwa perlahan terbentang jarak antara dirinya dan Arsya. Mereka sudah tidak bertemu sesering dulu. Komunikasi pun terasa sangat terbatas, meskipun Arsya mengelak jika ia mengatakan hal itu padanya.

Arsya.

Entah mengapa, dari banyak gadis di kampusnya, hanya nama itu yang tertancap paling dalam di palung hati Dennis. Gadis yang manis, dengan tinggi semampai dan rambut sepinggang yang biasanya diikat kuda secara tidak rapi. Mereka mulai bersahabat sejak awal kuliah. Beda jurusan, namun satu fakultas.

Awalnya semua berjalan biasa saja. Mereka tergabung di UKM Band, dan gadis itu yang baru menaruh minat pada alat musik gitar nekat saja masuk di komunitas yang seharusnya beranggotakan mereka yang berada di tingkat menengah dalam bermusik. Dennis sudah memegang gitar sejak pertama kali ia melihatnya ketika kelas 6 SD. Bisa dikatakan bahwa ia sangat mahir. Tetapi Arsya tidak menyerah, dan Dennis-lah yang mengajarinya sampai Arsya lumayan mahir bergitar. Meskipun begitu, Dennis pernah mengatakan bahwa Arsya lebih cocok masuk ke paduan suara ketimbang memanggul gitar listrik yang lumayan berat. Saat mengatakan itu, Arsya hanya tertawa kecil. Ia tidak pernah sadar bahwa sebenarnya suaranya merdu.

Lalu entah sejak kapan, mereka jadi sering bersama. Mencoba mengamen di bis, bernyanyi di kafe bersama teman-teman, menonton konser, berlatih di studio musik, dan seabrek kegiatan lainnya.

Musiklah yang menyatukan jiwa mereka. Mereka sudah terlanjur cocok bersama-sama.

Lalu muncullah keberanian itu. Dennis menawarkan sebuah kehidupan baru untuk Arsya, sebuah kemungkinan bagi mereka untuk menatap masa depan bersama-sama. Hingga maut memisahkan. Tetapi di luar perkiraan Dennis, Arsya sudah jadi milik seseorang. Cincin perak di jari manis tangan kirinya yang diperlihatkan Arsya atas jawabannya. Arsya terlambat mengabari. Dennis hanya mematung, kehilangan amunisi kata-kata. Sebagai gantinya, Arsya berjanji akan mengenalkannya pada Dennis. Dan malam itulah mereka bertemu. Sejak itu pulalah Arsya seolah kian menghilang dari hidupnya.

Dennis tidak keberatan soal itu. Ia masih bisa menghibur hatinya. Tetapi sebuah panggilan di ponselnya dari Arsya mengacaukan konsentrasi yang susah payah dibangunnya. Dan itu tepat dua bulan sejak kejadian itu.

“Ke tempat biasa?” Sabtu malam, Dennis sudah berada di teras kos Arsya.

Arsya mengangguk.

“Ehm, lo.. rapi amat,” Dennis bergumam pelan. Tidak biasanya Arsya serapi ini. Paduan rok selutut tanpa lengan hitam-putihnya menyatu dengan celana jeans hitam. Sepatunya bukan lagi sepatu kets yang biasa, kini berubah menjadi flat shoes putih. Dan tas selempangnya yang biasa berganti menjadi tas tangan yang lebih cocok untuk nge-mall. Rambutnya yang biasanya diikat kuda acak-acakan kini setengah digerai rapi.

“Ceritanya panjang,” Arsya berkata pendek. “Ayo.”

Setengah jam kemudian, mereka sampai di Simpang Lima. Malam minggu begini, memang paling enak turun ke bawah, mencari angin segar. Dulu setiap akhir minggu mereka selalu kemari. Dennis mengambil beberapa helai koran di jok motornya, kemudian memasukkannya ke dalam tas gitar yang digendongnya. Mereka lalu membeli jagung dan kacang rebus, kemudian duduk di tengah lapangan.

Dennis segera menata kertas koran itu untuk menjadi alas duduk mereka. Sementara Arsya sibuk mengupas kulit jagung dengan kedua tangannya. Malam itu, Simpang Lima sangat ramai oleh masyarakat kota Semarang yang berlalu lalang. Ada yang bermain sepeda keliling, mencoba sepatu roda, dan mencoba kuliner di sepanjang jalan. Senyum-senyum bahagia mengembang di setiap wajah. Terutama bagi muda-mudi yang tengah menghabiskan malam bersama di bawah langit.

“Gue bingung,” Arsya membuka percakapan setelah mereka menghabiskan jagung dalam keadaan hening. Kini tinggal kacang rebus yang tersisa.

“Kayaknya gue nggak sebebas dulu deh, Nis.”

“Maksud lo?” Dennis mengangkat alis. Ia lalu menghirup kopi yang sebelumnya ia beli.

“Sejak pacaran sama Gilang, gue nggak boleh keluar malem lagi.”

Dennis tertegun. “Kenapa?”

“Gilang orangnya konservatif,” Arsya menunduk. “Dia bilang, dia nggak mau kalau entar istrinya jadi sering keluar malem dan jadi perempuan gak bener, gara-gara di masa muda gue suka kelayapan. Padahal gue dulu kan anak rumahan. Kalo keluar malem, nggak boleh lebih dari jam sembilan malam.”

Dennis menahan diri untuk tidak tersedak. Uhuk! Bahkan Cinderella saja diberi tenggat waktu hingga pukul dua belas malam.

“Kalian udah serius menuju ke sana?” tanya Dennis. Dalam hati ia sekalian mengutuk; bukan orangtuanya aja ngatur-ngatur!

“Turutin aja,” ujar Dennis pelan saat Arsya masih diam. “Dia kan nasihatin hal yang positif. Demi kebaikan elo juga.”

“Tapi gue belum siap,” sergah Arsya. “Gue butuh waktu. Gue masih pengen seneng-seneng dulu, bebas keliaran kayak anak muda yang lain, Dennis.”

Dennis tak menjawab. Sifat Gilang yang ini pasti diketahui Arsya setelah mereka jadi, bukan jauh-jauh hari.

“Gue memang serius sama dia,” ucap Arsya. “Dia laki-laki yang baik, perhatian, tidak merokok, dan menjalankan ibadah tepat waktu. Dan dewasa, itu yang gue suka dari dia. Sayangnya, dia terlalu kaku. Agak berseberangan sama gue. Tapi gue nggak keberatan. Gue rasa, dia juga cocok jadi pasangan jiwa gue.”

Berarti gue nggak cukup dewasa buat elo, gumam Dennis dalam hati.

“Gue belajar untuk memperhatikan diri gue sendiri, termasuk penampilan. Gilang yang ngajarin itu semua,” tambah Arsya.

“Kalau gitu, dia harus nunggu elo siap jadi ibu rumah tangga yang baik, elo yang berubah demi dia, atau elo yang mempertimbangkan ulang keputusan lo saat ini,” Dennis berkata tegas.

Arsya berhenti mengunyah kacang rebus.

“Gue bilang gini as your bestfriend, not as your lover, lho,” Dennis cepat-cepat menyambung sambil tertawa kecil. Ia lalu membuka tas gitar dan mengeluarkan gitarnya, kemudian mencoba seluruh chord mayor.

“Gue tau,” Arsya menjawab pendek.

“Gue nyanyiin sesuatu, ya?” Dennis tersenyum. “Elo yang nyanyi, gue yang genjreng. Daripada menggalau gitu.”

Arsya setuju. Lalu dimulailah konser solo mereka di tengah lapangan.

Seberapa pantaskah kau untuk kutunggu

Cukup indahkah dirimu untuk selalu kunantikan

Mampukah kau hadir dalam setiap mimpi burukku

Mampukah kita bertahan di saat kita jauh....

Ketika lagu pertama selesai, Dennis bisa melihat senyum Arsya kembali terbit perlahan. Bernyanyi tentu merupakan pemulihan jiwa yang cukup ampuh untuk Arsya. Dennis melirik arlojinya. Sudah pukul setengah dua belas malam. Udara mulai terasa menggigit. Dennis lalu melepaskan jaketnya dan melempar ke depan Arsya.

“Pake aja, Sya,” perintahnya.

“Gak lembut banget sih lo. Ngasih sesuatu ke cewek dilempar, bukannya dipakein kek.” Arsya mengambil jaket Dennis di depannya dan segera memastikan kadar kebersihannya.

Dennis kembali tertegun. Belum sempat Arsya menyadari yang terjadi, Dennis telah jongkok di belakangnya, mengambil jaket yang tadi dilemparnya dan memakaikannya ke Arsya.

“Maaf,” Dennis berbisik lirih di telinganya. “Gue emang nggak pernah lembut sama siapa-siapa. Tapi ini bersih, kok. Baru gue setrika.”

Sesaat suasana kembali canggung. Asrya tersentak begitu ponselnya berdering. Ia tak segera menjawab, hanya mematung melihat nama peneleponnya.

“Siapa?” tanya Dennis begitu kembali ke tempatnya semula dan memeluk gitarnya.

“Gilang,” ucap Arsya sedikit resah. “Dia pasti ngamuk kalo jam segini gue masih di luar.”

“Angkat aja lagi,” ucap Dennis santai.

Ragu-ragu Arsya mengangkatnya. Tak jelas apa yang mereka bicarakan, karena Dennis justru pura-pura sibuk memetik senar gitar.

“Gue.. di luar,” sahut Arsya.

“Lo kan lagi ada kerjaan, jadi gue keluar dong! Terserah!”

Dennis segera merebut ponsel dari Arsya.

“Arsya sama gue, bung. Ada masalah?” tanyanya dengan intonasi sedingin es. “Iya, gue yang ngajak dia. Tenang, gue gak bakalan ngerusak Arsya. Dan asal elo tau, Arsya benci lo kekang kayak gitu, tau nggak! Kenapa gue tau? Gue ngeliat matanya aja, gue tau apa yang dia pikir, tau! Oke, gue gak akan ikut campur. Itu urusan kalian, yang penting gue udah ngasih tahu intinya.”

Tut...tut..tut... Arsya menerima ponselnya dalam keadaan sambungan sudah diputuskan.

“Lo gak perlu sekasar itu, kan,” ucap Arsya pelan.

Dennis mendengus. “Buat gue, to the point aja, Sya. Kalo lo gak suka, bilang gak suka. Perkara dia setuju atau enggak, itu hal lain.”

Malam itu, tidak membawa keputusan apapun bagi Arsya. Tapi kerinduannya pada Dennis sejenak terobati. Dennis lalu berdiri tanpa pamit dan meninggalkan Arsya yang mematung melihatnya melangkah. Tak lama kemudian Dennis kembali lagi.

“Ini namanya wedang ronde,” ujar Dennis sambil menyerahkan semangkuk kecil wedang ronde. “Cobain deh, enak.”

Arsya menurut. Ia lalu menghirup kuah wedang ronde pelan-pelan.

“Enak!” serunya.

“Lo pasti belum pernah ngerasain,” Dennis nyengir kuda.

“Elo juga baru pertama kali nyobain ini kan,” Arsya menepuk bahu Dennis. “Sok bijak banget.”

Dennis tertawa lebar. “Kok elo tau gue juga baru pertama kali?”

Arsya menggeleng sok misterius. Dari ekspresi wajah Dennis yang tidak menentu ia juga bisa menebaknya. Selama ini tubuh mereka lebih banyak menerima asupan kafein dan jarang menjamah minuman tradisional seperti ini. Maklum, namanya juga mahasiswa. Perlu terjaga hingga pagi.

“Elo masih punya kesempatan untuk berpikir, Sya,” ucap Dennis pelan. “Kalo elo ragu memutuskan sendiri, lo harus tanya ke nyokap lo atau temen-temen lo yang cewek. Jangan sama gue. Gue terkadang sesat.”

Arsya tertegun.

“Demi masa depan, elo berhak menentukan sendiri nasib lo.. Akan ada suatu masa ketika elo bakalan sadar bahwa kodrat elo adalah perempuan, Arsya. Gilang hanya meminta elo mempelajari itu semua dari sekarang,” bisik Dennis mengutarakan pendapatnya.

***

Dennis tak pernah ingat apa kalimat terakhir yang ia ucapkan pada Arsya. Mungkin selang lima tahun yang lalu ia memberi nasihat yang tak begitu ia yakini. Dan lihatlah, Arsya memang gadis yang penurut. Ia menjalankan nasihatnya seratus persen. Mengubah dirinya menjadi gadis yang baik, sesuai dengan keinginan Gilang. Perlu kekuatan besar untuk merubah kebiasaan yang melekat bertahun-tahun; bermusik dengan bebas dan berkenalan dengan malam yang tak lagi dilakukannya. Kini ia melihat gadis itu duduk di pelaminan. Bersama Gilang.

Rasanya tidak menarik untuk dicaritakan bagaimana semua itu bisa terjadi. Yang jelas, ia percaya Arsya sudah berada di tangan lelaki yang baik. Persaingannya dengan Gilang sudah usai.

Setelah itu, ia pulang mengendarai mobilnya dan singgah di suatu waduk. Ia keluarkan sebuah botol kaca dari bagasi mobil dan memasukkannya ke dalam botol itu. Ia lalu memasukkan sebuah kertas yang ia lipat di dalam dompetnya ke dalam botol dan menghanyutkannya ke waduk itu.

Semarang, anggap saja ketika itu gue semester enam.

Saat gue tahu masalah Arsya, gue sudah menyiapkan diri untuk melepaskan dia. Tapi semua lagu yang gue nyanyikan, masih tentang dia. Gue memang gila. Tapi saat gue menenggelamkan kertas ini, berarti laut pun berhak tahu, bahwa sudah saatnya gue melihat hidup yang baru.

Sekian.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun