Mohon tunggu...
Nisrina Haqque
Nisrina Haqque Mohon Tunggu... Pengajar dan pembelajar. -

Seorang pembaca dan pembelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinderella Hati Dennis

25 Juli 2015   13:20 Diperbarui: 25 Juli 2015   13:20 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Lo pasti sudah tahu siapa gue,” Dennis menatap Gilang dengan tatapan sangat menikam. “Gue dan Arsya sudah bersahabat sejak lama, bahkan sebelum dia bertemu dengan anda.”

“Saya tahu,” Gilang tersenyum tenang. Bagi Dennis, senyum semacam itu rasanya memuakkan. Pakai kata saya, lagi. Rasanya formal banget. Dan rasanya seperti kalah pada musuh. Dan ia memang sudah kalah, sih, hanya malu mengakui.

Gadis yang terjepit di antara kedua laki-laki itu hanya terdiam, tak bisa menebak ke arah mana pertemuan ini akan bermuara. Tadinya ia hanya akan mengenalkan Gilang pada Dennis, dan berpikir bahwa Dennis akan pamit duluan sehingga ia bisa berdua saja dengan Gilang. Itu kemungkinan baik jika Dennis tidak kuat iman. Bisa saja mereka akan terlibat perang dingin atau bagaimana. Tapi sebaliknya, Dennis dan Gilang justru terlibat perbincangan serius. Tak ada senyum yang keluar dari keduanya. Meskipun rileks, Arsya bisa melihat bahwa rahang Dennis masih mengeras. Masih tidak rela jika lelaki di sampingnya yang berhasil merebutnya.

“Pulang yuk, Sya,” Gilang mengakhiri perbincangan dan mengelap mulutnya dengan tisu. Ia segera membayar seluruh makanan dan kembali menghampiri mereka.

“Masih jam sembilan, juga,” cegah Dennis. “Banci aja belum nongol.”

“Anak perempuan tidak baik menampakkan diri di atas pukul sembilan malam,” Gilang menatap Dennis lamat-lamat. “Kecuali perempuan yang tidak benar, seperti yang anda sebutkan tadi.”

Arsya meringis menahan tawa. Sementara Dennis hanya memalingkan muka, merasa pemuda di depannya ini sok suci. Setelah mereka pergi, Dennis kembali termangu melihat kelap-kelip Semarang yang terbentang di bawahnya.

Sendirian.

***

Tanpa pemberitahuan, tanpa ultimatum, Dennis bisa merasakan bahwa perlahan terbentang jarak antara dirinya dan Arsya. Mereka sudah tidak bertemu sesering dulu. Komunikasi pun terasa sangat terbatas, meskipun Arsya mengelak jika ia mengatakan hal itu padanya.

Arsya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun