Dennis tak menjawab. Sifat Gilang yang ini pasti diketahui Arsya setelah mereka jadi, bukan jauh-jauh hari.
“Gue memang serius sama dia,” ucap Arsya. “Dia laki-laki yang baik, perhatian, tidak merokok, dan menjalankan ibadah tepat waktu. Dan dewasa, itu yang gue suka dari dia. Sayangnya, dia terlalu kaku. Agak berseberangan sama gue. Tapi gue nggak keberatan. Gue rasa, dia juga cocok jadi pasangan jiwa gue.”
Berarti gue nggak cukup dewasa buat elo, gumam Dennis dalam hati.
“Gue belajar untuk memperhatikan diri gue sendiri, termasuk penampilan. Gilang yang ngajarin itu semua,” tambah Arsya.
“Kalau gitu, dia harus nunggu elo siap jadi ibu rumah tangga yang baik, elo yang berubah demi dia, atau elo yang mempertimbangkan ulang keputusan lo saat ini,” Dennis berkata tegas.
Arsya berhenti mengunyah kacang rebus.
“Gue bilang gini as your bestfriend, not as your lover, lho,” Dennis cepat-cepat menyambung sambil tertawa kecil. Ia lalu membuka tas gitar dan mengeluarkan gitarnya, kemudian mencoba seluruh chord mayor.
“Gue tau,” Arsya menjawab pendek.
“Gue nyanyiin sesuatu, ya?” Dennis tersenyum. “Elo yang nyanyi, gue yang genjreng. Daripada menggalau gitu.”
Arsya setuju. Lalu dimulailah konser solo mereka di tengah lapangan.
Seberapa pantaskah kau untuk kutunggu