Cukup indahkah dirimu untuk selalu kunantikan
Mampukah kau hadir dalam setiap mimpi burukku
Mampukah kita bertahan di saat kita jauh....
Ketika lagu pertama selesai, Dennis bisa melihat senyum Arsya kembali terbit perlahan. Bernyanyi tentu merupakan pemulihan jiwa yang cukup ampuh untuk Arsya. Dennis melirik arlojinya. Sudah pukul setengah dua belas malam. Udara mulai terasa menggigit. Dennis lalu melepaskan jaketnya dan melempar ke depan Arsya.
“Pake aja, Sya,” perintahnya.
“Gak lembut banget sih lo. Ngasih sesuatu ke cewek dilempar, bukannya dipakein kek.” Arsya mengambil jaket Dennis di depannya dan segera memastikan kadar kebersihannya.
Dennis kembali tertegun. Belum sempat Arsya menyadari yang terjadi, Dennis telah jongkok di belakangnya, mengambil jaket yang tadi dilemparnya dan memakaikannya ke Arsya.
“Maaf,” Dennis berbisik lirih di telinganya. “Gue emang nggak pernah lembut sama siapa-siapa. Tapi ini bersih, kok. Baru gue setrika.”
Sesaat suasana kembali canggung. Asrya tersentak begitu ponselnya berdering. Ia tak segera menjawab, hanya mematung melihat nama peneleponnya.
“Siapa?” tanya Dennis begitu kembali ke tempatnya semula dan memeluk gitarnya.
“Gilang,” ucap Arsya sedikit resah. “Dia pasti ngamuk kalo jam segini gue masih di luar.”