Arsya menurut. Ia lalu menghirup kuah wedang ronde pelan-pelan.
“Enak!” serunya.
“Lo pasti belum pernah ngerasain,” Dennis nyengir kuda.
“Elo juga baru pertama kali nyobain ini kan,” Arsya menepuk bahu Dennis. “Sok bijak banget.”
Dennis tertawa lebar. “Kok elo tau gue juga baru pertama kali?”
Arsya menggeleng sok misterius. Dari ekspresi wajah Dennis yang tidak menentu ia juga bisa menebaknya. Selama ini tubuh mereka lebih banyak menerima asupan kafein dan jarang menjamah minuman tradisional seperti ini. Maklum, namanya juga mahasiswa. Perlu terjaga hingga pagi.
“Elo masih punya kesempatan untuk berpikir, Sya,” ucap Dennis pelan. “Kalo elo ragu memutuskan sendiri, lo harus tanya ke nyokap lo atau temen-temen lo yang cewek. Jangan sama gue. Gue terkadang sesat.”
Arsya tertegun.
“Demi masa depan, elo berhak menentukan sendiri nasib lo.. Akan ada suatu masa ketika elo bakalan sadar bahwa kodrat elo adalah perempuan, Arsya. Gilang hanya meminta elo mempelajari itu semua dari sekarang,” bisik Dennis mengutarakan pendapatnya.
***
Dennis tak pernah ingat apa kalimat terakhir yang ia ucapkan pada Arsya. Mungkin selang lima tahun yang lalu ia memberi nasihat yang tak begitu ia yakini. Dan lihatlah, Arsya memang gadis yang penurut. Ia menjalankan nasihatnya seratus persen. Mengubah dirinya menjadi gadis yang baik, sesuai dengan keinginan Gilang. Perlu kekuatan besar untuk merubah kebiasaan yang melekat bertahun-tahun; bermusik dengan bebas dan berkenalan dengan malam yang tak lagi dilakukannya. Kini ia melihat gadis itu duduk di pelaminan. Bersama Gilang.