“Angkat aja lagi,” ucap Dennis santai.
Ragu-ragu Arsya mengangkatnya. Tak jelas apa yang mereka bicarakan, karena Dennis justru pura-pura sibuk memetik senar gitar.
“Gue.. di luar,” sahut Arsya.
“Lo kan lagi ada kerjaan, jadi gue keluar dong! Terserah!”
Dennis segera merebut ponsel dari Arsya.
“Arsya sama gue, bung. Ada masalah?” tanyanya dengan intonasi sedingin es. “Iya, gue yang ngajak dia. Tenang, gue gak bakalan ngerusak Arsya. Dan asal elo tau, Arsya benci lo kekang kayak gitu, tau nggak! Kenapa gue tau? Gue ngeliat matanya aja, gue tau apa yang dia pikir, tau! Oke, gue gak akan ikut campur. Itu urusan kalian, yang penting gue udah ngasih tahu intinya.”
Tut...tut..tut... Arsya menerima ponselnya dalam keadaan sambungan sudah diputuskan.
“Lo gak perlu sekasar itu, kan,” ucap Arsya pelan.
Dennis mendengus. “Buat gue, to the point aja, Sya. Kalo lo gak suka, bilang gak suka. Perkara dia setuju atau enggak, itu hal lain.”
Malam itu, tidak membawa keputusan apapun bagi Arsya. Tapi kerinduannya pada Dennis sejenak terobati. Dennis lalu berdiri tanpa pamit dan meninggalkan Arsya yang mematung melihatnya melangkah. Tak lama kemudian Dennis kembali lagi.
“Ini namanya wedang ronde,” ujar Dennis sambil menyerahkan semangkuk kecil wedang ronde. “Cobain deh, enak.”