Dennis segera menata kertas koran itu untuk menjadi alas duduk mereka. Sementara Arsya sibuk mengupas kulit jagung dengan kedua tangannya. Malam itu, Simpang Lima sangat ramai oleh masyarakat kota Semarang yang berlalu lalang. Ada yang bermain sepeda keliling, mencoba sepatu roda, dan mencoba kuliner di sepanjang jalan. Senyum-senyum bahagia mengembang di setiap wajah. Terutama bagi muda-mudi yang tengah menghabiskan malam bersama di bawah langit.
“Gue bingung,” Arsya membuka percakapan setelah mereka menghabiskan jagung dalam keadaan hening. Kini tinggal kacang rebus yang tersisa.
“Kayaknya gue nggak sebebas dulu deh, Nis.”
“Maksud lo?” Dennis mengangkat alis. Ia lalu menghirup kopi yang sebelumnya ia beli.
“Sejak pacaran sama Gilang, gue nggak boleh keluar malem lagi.”
Dennis tertegun. “Kenapa?”
“Gilang orangnya konservatif,” Arsya menunduk. “Dia bilang, dia nggak mau kalau entar istrinya jadi sering keluar malem dan jadi perempuan gak bener, gara-gara di masa muda gue suka kelayapan. Padahal gue dulu kan anak rumahan. Kalo keluar malem, nggak boleh lebih dari jam sembilan malam.”
Dennis menahan diri untuk tidak tersedak. Uhuk! Bahkan Cinderella saja diberi tenggat waktu hingga pukul dua belas malam.
“Kalian udah serius menuju ke sana?” tanya Dennis. Dalam hati ia sekalian mengutuk; bukan orangtuanya aja ngatur-ngatur!
“Turutin aja,” ujar Dennis pelan saat Arsya masih diam. “Dia kan nasihatin hal yang positif. Demi kebaikan elo juga.”
“Tapi gue belum siap,” sergah Arsya. “Gue butuh waktu. Gue masih pengen seneng-seneng dulu, bebas keliaran kayak anak muda yang lain, Dennis.”