Fragmen kedua dari omnibus Tenggelam di Langit. Kamu bisa membaca fragmen pertamanya (Eksoskeleton) di sini.
***
Fragmen 2. Elegi Jasad Resik
(Semesta dalam perspektif orang pertama)
Tiga mawar merah terkulai di bawah cemara. Tanpa nama, baik pengirim maupun penerima. Hadir di sana setiap pagi, selepas bulan purnama.
Adik perempuanku menyambut riang gembira. Memboyongnya ke kamar, menggantikan tiga mawar yang telah menghitam. Hasil penculikan sebulan lalu dari bawah cemara yang sama. Ia sangat percaya, seorang pengagum rahasia mengirim mawar-mawar itu untuknya.
"Ren, memangnya kamu tidak tahu apa makna tiga mawar merah?" tanya adikku suatu ketika. Matanya yang besar melebar dan berbinar.Â
Aku mengendikkan bahu. Bukan karena tidak tahu. Aku hanya tidak ingin melengkapi secangkir teh manis ini dengan kata-kata utopis.
"Serius Ren, mawar merah artinya cinta. Tiga mawar artinya pengakuan. Di rumah ini, yang berpotensi mendapat pengakuan cinta, kurasa cuma aku."
Aku tertawa. Menarik napas lega. Meski harus tahan mendengar khotbah hasil saduran majalah remaja, komedi pagi tak lucu ini menjadi indikasi bahwa satu malam terlewati tanpa masalah berarti. Aku berkemas, siap menghadap matahari.
***
Menjadi anak pejabat adalah simpul impianku semasa kecil. Sang pejabat akan menghadiri banyak rapat. Istri pejabat sibuk menemui rakyat. Tinggal anaknya yang menikmati kemudahan tanpa memikul tugas berat. Itu yang kupikirkan dulu, sebelum Ayah dipercaya menjadi walikota.
Menyisakan aku, yang mengendap penuh derita.
Delapan tahun dikelilingi senyum imitasi. Kesetiaan berbasis materi. Eksistensi Reno sudah mati. Deretan trofi dan medali bagi mereka tak menunjukkan prestasi, melainkan jati diri anak walikota yang banting tulang membuktikan diri.
Aku tak lebih dari anak pertama Wira Jayanto, walikota Karagan. Tampil sempurna disokong fasilitas bintang lima, dikata biasa. Sedikit cacat, siap-siap dimangsa media.
Aku ingat pernah tertangkap basah merokok di belakang sekolah. Kenakalan remaja pada umumnya. Wajar? Memang. Bagi wartawan kota, itu menjadi lalapan segar. Disusul serakan sampah artikel parenting yang mencari-cari korelasi antara kesibukan orangtua dengan pemberontakan anak.Â
Ada yang masuk akal, lebih banyak yang tidak. Yang jelas, aku berlaga sebagai primadona. Simbol remaja haus perhatian. Kurang kasih sayang. Salah pergaulan. Semacam itulah. Segala istilah yang merujuk pada hasil kegagalan pendidikan keluarga.
Tentu saja bukan masalah besar. Ayah punya tentakel yang siap membungkam.
Lamunanku buyar, menyadari langit lamat-lamat semakin kelam. Kerumunan gagak berkuak. Meredam serak vokalis Navicula di radio kota.
Sehelai bulu tersemat di kaca mobil. Aku bergidik, menurunkan kecepatan. Gagak tak pernah alpa mencium bahaya.
Gelap. Langit hitam itu bergerak.
Gagak-gagak terbang menuju pesisir utara. Teringat proyek penelan dana yang melibatkan jajaran mafia kota. Ayah tergabung di sana. Dikepung aksi mahasiswa yang tak henti bergema.
Terpaksa aku menelan imbas. Diwaspadai di kampus seolah aku adalah lipas. Dijauhi seakan aku berbau lindi.
Tak apalah, tinggal revisi terakhir hingga sidang akhir. Aku harus tahan dengan gaung-gaung nyinyir. Oportunis, apatis, pragmatis, petis, kubis. Apalah julukanku dalam rapat-rapat para aktivis bau amis.
Disangkanya Ayah dulu tak sama saja? Semasa mahasiswa, Ayah tak pernah absen berorasi saat aksi. Kurasa itu berguna, sebagai latihan memberi janji basi demi mendapat kursi.
Hujan.Â
Satu gagak terakhir nampak di ujung ranting, siap mengepak sayap. Aku mengikutinya, berbelok menuju utara. Lurus jauh, hingga tercium aroma laut. Kali ini, tanpa wangi membebaskan.
Sesak.Â
Perahu-perahu nelayan remuk bagai rongsokan. Tak mampu berlayar meski muson barat telah terlewat. Gerombolan alat berat menjajah garis pantai. Barisan tentara berjaga, mengintai.
Masih tersisa jejak demonstrasi di sana-sini. Kertas-kertas putih berserakan. "STOP REKLAMASI. NELAYAN MATI OLEH PEJABAT TAK BERHATI" Ditorehkan tinta merah, nyaris serupa darah. Para wartawan berjajar bosan di trotoar. Lapar menunggu berita.
Kalau dipikir-pikir, para aktivis itu ada benarnya. Proyek ini terlalu naif jika mengaku tak memihak penguasa, atau pengusaha. Tapi ... siapa peduli. Jika pengusaha semakin sejahtera, nantinya nelayan-nelayan itu bisa bekerja pada mereka.
Aku tidak perlu ambil pusing.
***
Gerimis malam hari tak berkompromi pada mahasiswa tingkat akhir. Kularutkan rasa kantukku pada secangkir kopi. Bau belerang memenuhi ruang. Jurnal-jurnal geothermal menumpuk di hadapan.
Otakku terbakar, meradang. Dari pori kepala, mengepul asap putih layaknya panas bumi. Jika sudah begini, hanya satu tempat yang mampu membuatku waras. Taman kota, tiga ratus meter ke arah selatan. Kuterpa gerimis tanpa payung atau jas hujan.
Seperti biasa, begitu lengang. Jauh berbeda dengan gym and resto di seberang jalan.Â
Kuselonjorkan kaki, menguasai kursi kosong di tepi selokan. Kuamati derap kaki orang-orang. Ada yang aneh. Mereka tidak punya bayangan. Aku mengecek ke bawah, bayanganku masih di sana. Lega rasanya.
Aku bertanya-tanya, apa salah mereka sampai bisa dikhianati bayangan sendiri. Tapi, tidak, kurasa sebaliknya. Mereka yang lari.Â
Lihat saja, tebakan kedua terbukti.
Dari kejauhan, rombongan bayangan mengejar pemiliknya. Ada yang kelelahan, lalu terkapar. Kasihan, mereka menggelandang dan terabaikan. Meratapi orang-orang yang pergi tanpa peduli.Â
Jangankan peduli, mereka pun tak mau memahami. Orang-orang tanpa bayangan sama seperti hantu gentayangan. Mati, baik jiwa maupun hati.
Kupalingkan pandangan ke sekeliling taman, mencari teman satu spesies untuk diajak bicara. Di samping pohon alamanda, sepasang manusia sedang bertengkar. Besar kemungkinan, mereka pacaran, HTS-an, friendzone-an, brotherzone-an, neighborzone-an, atau zona-zona tidak resmi lainnya. Pasangan yang sudah menikah akan bertengkar di rumah.Â
Dan lagi ... lupakan saja. Logika menyatakan sebaiknya aku menghindar.
Pilihan jatuh pada seorang gadis yang duduk manis di pojok taman. Aku nyaris tidak melihatnya karena terhalang rimbun pandan. Aku berjalan pelan, sambil menimbang-nimbang adat kesopanan.
Langkahku tersendat. Aroma mawar semerbak pekat ketika aku semakin mendekat. Bulu kudukku meremang. Apakah dia hantu?Â
Segera kutepis pikiran bodoh itu. Mungkin hanya parfum. Lagipula, gadis ini memiliki bayangan utuh di sampingnya.
Kurangkai kata-kata untuk menyapa. Sia-sia. Dia menoleh lebih dulu, menatapku waspada.
"Kamu mau apa?" tanyanya tajam, membuatku gelagapan.
"Eh, mau.. eh, bukan. Kamu sendirian?"
"Tidak. Aku bersama bayangan," jawabnya ketus.
Aku lihat itu, Nona. Itu membuatku yakin kau bukan hantu hingga berani menyapa. Huh, setidaknya hantu yang baik masih lebih seram dari manusia galak seperti dia.Â
Aku mengatur napas, mencoba lebih ramah. Sebelum sempat berkata apa-apa, gadis itu bicara lagi.
"Wajahmu tidak asing. Kita pernah bertemu?" tanyanya seraya mengamatiku dari ujung rambut hingga sepatu. Aku menggeleng. Mungkin, aku pernah muncul di koran sebagai anak pertama pada profil walikota. Mungkin juga dia membaca salah satu artikel skandal remajaku dulu. Tapi, kuharap dia tidak ingat.
"Apakah kamu artis atau semacamnya?"
"Sama sekali bukan. Aku pengunjung taman biasa yang butuh teman bicara agar sadar bahwa aku manusia."
Dia terdiam, menatapku heran. Lalu tersenyum. Manis juga.
"Duduklah. Aku hafal wajahmu. Aku bisa menggambarkannya jika polisi bertanya."
"Maksudnya?"
"Ya ... kalau kamu macam-macam."
"Aku jamin tidak akan. Justru kamu lebih aman sekarang," kataku, tersenyum semanis yang kumampu. Mengambil posisi satu meter darinya.
"Kenapa kamu duduk di taman malam-malam?" tanyaku. "Eh, maksudku ... kamu suka taman di malam hari?" Aku meralat.
"Aku ingin menemui Ayah tengah malam nanti," jawabnya datar. Matanya yang cantik memandang percikan hujan.
"Di sini?"
"Bukan. Di rumah hijau, ujung jalan sana," katanya.
Aku tertegun, itu rumahku.Â
"Rumah walikota?"
Gadis itu mengangguk, tersenyum getir.
Seingatku, tak ada laki-laki di rumah selain Ayah. Tukang kebun di rumahku hanya memiliki satu anak, balita. Skandal apa lagi ini? Apakah Ayah memiliki selingkuhan yang tidak aku kenal?
Aku tersenyum geli pada kebodohanku sendiri. Jelas saja aku tidak kenal. Walaupun ada, mana mungkin Ayah memperkenalkan aku pada selingkuhannya.
"Kamu anak walikota?" tanyaku penuh selidik. Dia hanya tertawa. Aku tidak bisa membaca maksudnya. Apakah berarti "tentu saja" atau malah "tidak mungkin"? Bisa saja gadis ini berbohong. Sebaiknya aku mengujinya untuk memastikan.
"Kamu tinggal di sana?"
"Tidak, hanya ayahku saja. Aku tinggal di rumah susun Karagan."
Dia tidak berbohong. Tentu saja aku tahu dia tidak tinggal di rumahku. Tapi, memalukan sekali jika Ayah menyimpan selingkuhan di rumah susun, bukan apartemen atau semacamnya.
Apakah Ayah memanfaatkan absurditas itu agar orang-orang tidak curiga? Dia sangat mungkin menyamar jadi warga biasa. Wajah ayahku sepertinya cukup pasaran.
"Kamu mahasiswa?" tanya gadis itu, menghentikan seru prasangkaku yang semakin liar.
"Iya, sekitar dua puluh hari lagi. Bulan depan sidang akhir."
"Penelitian tentang apa?"
"Panas bumi di Pangalengan," jawabku singkat. Sejujurnya, aku ingin pergi saja jika diminta menjelaskan tugas akhir yang hampir membuatku gila.
"Geotermal? Bagus sekali. Agar dunia tak menggantungkan nasib pada batu bara dan minyak bumi," katanya tanpa intonasi.
"Jadi, kamu juga mahasiswa?" tanyaku, berusaha terdengar tidak meremehkan.
Dia mengangguk. "Tingkat tiga."
"Jurusan apa?"
"Planologi."
Aku diam, terkejut. Himpunan Mahasiswa Planologi di kampusku bersuara paling lantang soal penghentian proyek reklamasi. Tapi, aku tidak pernah paham soal alasannya.
"Apakah kamu termasuk demonstran pesisir utara?" tanyaku.
Dia tertawa untuk kedua kali. Cantik. Aku berencana mengajukan pertanyaan bodoh lain, jika itu bisa membuatnya tertawa lagi.
"Aku tidak suka ikut aksi. Aku menentang reklamasi lewat tulisan di koran-koran, media sosial, dan proyek alternatif bersama komunitas nelayan."
Wah, prospektif. Kecantikan dan kecerdasan. Perpaduan sempurna. Aku bisa mengutuk takdir jika benar kami satu ayah.
"Bisa dibilang, kita memiliki korelasi," katanya serius.
"Oh ya? Apa benang merah antara geotermal dan tata kota selain fakta bahwa kami berpotensi membuat kerusakan lingkungan?"
Dia tersenyum. "Kita sama-sama ingin menggeser minyak bumi dan batu bara," tuturnya.
Aku hanya diam, tidak mengerti.
"Memalukan, sih. Tapi, ini aku pernah berpikir begini. Kamu tahu kan, minyak bumi dan batu bara terbentuk dari jasad renik serta makhluk yang telah mati ratusan tahun.
Aku rasa, minyak bumi dan batu bara mirip dengan pemerintahan yang kejam. Mereka memegang tampuk kuasa, menumbalkan rakyat kecil. Lantas, bertaruh dengan nyawa-nyawa yang tersisa."
Aku terhenyak. Kilat kebencian menggeliat di runcing matanya. Terlihat jelas goresan luka. Teramat dalam. Apa hubunganmu dengan ayahku, Nona?
"Bukankah ayahmu walikota?" tanyaku, memuaskan rasa curiga.
"Tentu saja bukan."
"Tadi kamu bilang, dia tinggal di rumah walikota."
"Iya, tapi dia bukan walikota," katanya lirih. Aku kebingungan.
"Lalu?"
"Dia ... bukan siapa-siapa," Suaranya semakin lirih, dan aku makin kebingungan. Aku harus mencari kalimat tanya yang tepat untuk mendapat jawaban.
"Apa yang dilakukan ayahmu di rumah walikota?"
"Dia tidak melakukan apa-apa."
"Kenapa dia ada di rumah walikota?"
"Dia tinggal di sana."
Gagal. Aku mengganti arah pertanyaan.
"Kenapa kamu harus menemuinya di sana?"
"Dia tidak bisa kemana-mana."
"Kenapa?"
"Dia sudah tidak bernyawa."
Aku terdiam. Lelucon apa lagi ini. Sejak kapan Ayah menyimpan mayat di rumah? Apakah ada ruang pembantaian di bawah tanah?
"Aku ingin berziarah," katanya lagi. Aku masih tidak percaya.
"Bagaimana ayahmu bisa, hmm ... ada di rumah walikota?" tanyaku hati-hati. Seketika, ia tampak serapuh sayap kupu-kupu.
"Sebelum ada rumah walikota, kami tinggal di sana," katanya dengan nada kerinduan, atau sakit hati ... entahlah. Aku tak tega, tapi kecamuk pertanyaan menginginkan jawaban. Aku membiarkan dia melanjutkan.
"Kami, warga kampung nelayan. Semua baik-baik saja hingga walikota baru menginginkan perubahan. Wira Jayanto. Rumah kami dianggap tidak layak huni dan kami harus pergi."
Rinai hampir jatuh dari sudut matanya. Ia menghela napas dalam.
"Buldoser berdatangan di bawah mendung suatu sore. Seluruh warga berusaha melawan, tapi Ayah tidak. Dia pasrah, jika terdapat janji hidup yang lebih layak. Rumah kami menjadi rumah pertama yang dihancurkan," Ia kembali menarik napas, lebih dalam. Aku masih diam. Ia meneruskan cerita.
"Ketika kami sekeluarga menuju penampungan sementara, aku sadar bonekaku tertinggal. Aku merengek pada Ayah, meminta ia mengambilkan. Ayah berusaha bicara pada penjaga. Penjaga itu tak mendengar apa-apa. Aku tahu mereka bukan manusia.
Akhirnya, Ayah nekat menerobos mereka, lalu ... kamu bisa tebak selanjutnya. Ayah tergilas dan terkubur di sana. Tak ada saksi selain aku, Ibu, dan adikku yang masih kecil. Kami tidak punya kuasa untuk ..."
"Kenapa kalian tidak meminta warga lain untuk melawan?"
"Semua orang sibuk mempertahankan miliknya saja."
"Kenapa tidak lapor polisi? Ada bukti jasad jika ditindaklanjuti."
"Percayalah, kami baru saja akan lapor polisi ketika dua orang tak dikenal mendatangi rumah kami. Mereka utusan Pak Wira. Menawari kami sejumlah uang yang besarnya melebihi pendapatan Ayah selama lima tahun. Aku diberi beasiswa hingga kuliah. Syaratnya satu, kami lupakan tragedi Ayah."
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Demi reputasi, Ayah memenggal hak asasi. Dana kampanye raksasa perlahan tapi pasti mengubah niat Ayah.Â
Aku masih ingat semangatnya mengabdi, lantas malah memberi nafkah serumpun pengusaha yang telah berinvestasi. Aku dibesarkan dengan hasil judi yang menjadikan manusia sebagai bahan taruhan.
Tak sanggup merangkai kata, kubiarkan hening mengitari kami.
"Hampir tengah malam. Tampaknya sudah sepi. Kamu mau ikut?"
Aku mengangguk, beranjak dari duduk.
Krrrk!
Bunyi berderik, sesuatu mengganjal pijakan. Seekor keong mas remuk di bawah kakiku. Terbayang nasib sama menimpa perahu dan rumah nelayan di bawah kaki pasukan Ayah. Aku mematung, merutuki takdir garis keturunan para penghancur.
Dengan cekatan, gadis di hadapanku mengambil daun ketapang. Diangkat dan diamatinya tubuh lumat itu.
"Hmm, dia tidak bisa selamat," katanya dengan nada menyesal. Ditutupnya jasad mungil itu dengan dua daun pandan.Â
Aku mendadak lupa cara bicara. Terserap hawa berbeda. Tapi, bahkan aku tak tahu namanya.
Dalam kelam dini hari, aku mengikutinya menuju pagar rumahku sendiri. Katanya, ia sengaja berpakaian serba hitam agar tidak terlihat satpam. Aku hanya sanggup tersenyum suram.
Semerbak aroma mawar tercium kembali.
Dari dalam tas kertas, dikeluarkannya tiga mawar merah.
"Tiga melambangkan aku, Ibu, dan adikku yang berduka. Merah melambangkan darah pengorbanan Ayah."
Gadis itu merapal doa-doa, menyusupkan tangan ke balik pagar.
Tiga mawar merah terkulai di bawah cemara.
Tanpa nama, baik pengirim maupun penerima.
.... bersambung ke sini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI