Langkahku tersendat. Aroma mawar semerbak pekat ketika aku semakin mendekat. Bulu kudukku meremang. Apakah dia hantu?Â
Segera kutepis pikiran bodoh itu. Mungkin hanya parfum. Lagipula, gadis ini memiliki bayangan utuh di sampingnya.
Kurangkai kata-kata untuk menyapa. Sia-sia. Dia menoleh lebih dulu, menatapku waspada.
"Kamu mau apa?" tanyanya tajam, membuatku gelagapan.
"Eh, mau.. eh, bukan. Kamu sendirian?"
"Tidak. Aku bersama bayangan," jawabnya ketus.
Aku lihat itu, Nona. Itu membuatku yakin kau bukan hantu hingga berani menyapa. Huh, setidaknya hantu yang baik masih lebih seram dari manusia galak seperti dia.Â
Aku mengatur napas, mencoba lebih ramah. Sebelum sempat berkata apa-apa, gadis itu bicara lagi.
"Wajahmu tidak asing. Kita pernah bertemu?" tanyanya seraya mengamatiku dari ujung rambut hingga sepatu. Aku menggeleng. Mungkin, aku pernah muncul di koran sebagai anak pertama pada profil walikota. Mungkin juga dia membaca salah satu artikel skandal remajaku dulu. Tapi, kuharap dia tidak ingat.
"Apakah kamu artis atau semacamnya?"
"Sama sekali bukan. Aku pengunjung taman biasa yang butuh teman bicara agar sadar bahwa aku manusia."