Gerimis malam hari tak berkompromi pada mahasiswa tingkat akhir. Kularutkan rasa kantukku pada secangkir kopi. Bau belerang memenuhi ruang. Jurnal-jurnal geothermal menumpuk di hadapan.
Otakku terbakar, meradang. Dari pori kepala, mengepul asap putih layaknya panas bumi. Jika sudah begini, hanya satu tempat yang mampu membuatku waras. Taman kota, tiga ratus meter ke arah selatan. Kuterpa gerimis tanpa payung atau jas hujan.
Seperti biasa, begitu lengang. Jauh berbeda dengan gym and resto di seberang jalan.Â
Kuselonjorkan kaki, menguasai kursi kosong di tepi selokan. Kuamati derap kaki orang-orang. Ada yang aneh. Mereka tidak punya bayangan. Aku mengecek ke bawah, bayanganku masih di sana. Lega rasanya.
Aku bertanya-tanya, apa salah mereka sampai bisa dikhianati bayangan sendiri. Tapi, tidak, kurasa sebaliknya. Mereka yang lari.Â
Lihat saja, tebakan kedua terbukti.
Dari kejauhan, rombongan bayangan mengejar pemiliknya. Ada yang kelelahan, lalu terkapar. Kasihan, mereka menggelandang dan terabaikan. Meratapi orang-orang yang pergi tanpa peduli.Â
Jangankan peduli, mereka pun tak mau memahami. Orang-orang tanpa bayangan sama seperti hantu gentayangan. Mati, baik jiwa maupun hati.
Kupalingkan pandangan ke sekeliling taman, mencari teman satu spesies untuk diajak bicara. Di samping pohon alamanda, sepasang manusia sedang bertengkar. Besar kemungkinan, mereka pacaran, HTS-an, friendzone-an, brotherzone-an, neighborzone-an, atau zona-zona tidak resmi lainnya. Pasangan yang sudah menikah akan bertengkar di rumah.Â
Dan lagi ... lupakan saja. Logika menyatakan sebaiknya aku menghindar.
Pilihan jatuh pada seorang gadis yang duduk manis di pojok taman. Aku nyaris tidak melihatnya karena terhalang rimbun pandan. Aku berjalan pelan, sambil menimbang-nimbang adat kesopanan.