"Panas bumi di Pangalengan," jawabku singkat. Sejujurnya, aku ingin pergi saja jika diminta menjelaskan tugas akhir yang hampir membuatku gila.
"Geotermal? Bagus sekali. Agar dunia tak menggantungkan nasib pada batu bara dan minyak bumi," katanya tanpa intonasi.
"Jadi, kamu juga mahasiswa?" tanyaku, berusaha terdengar tidak meremehkan.
Dia mengangguk. "Tingkat tiga."
"Jurusan apa?"
"Planologi."
Aku diam, terkejut. Himpunan Mahasiswa Planologi di kampusku bersuara paling lantang soal penghentian proyek reklamasi. Tapi, aku tidak pernah paham soal alasannya.
"Apakah kamu termasuk demonstran pesisir utara?" tanyaku.
Dia tertawa untuk kedua kali. Cantik. Aku berencana mengajukan pertanyaan bodoh lain, jika itu bisa membuatnya tertawa lagi.
"Aku tidak suka ikut aksi. Aku menentang reklamasi lewat tulisan di koran-koran, media sosial, dan proyek alternatif bersama komunitas nelayan."
Wah, prospektif. Kecantikan dan kecerdasan. Perpaduan sempurna. Aku bisa mengutuk takdir jika benar kami satu ayah.