Aku terdiam. Lelucon apa lagi ini. Sejak kapan Ayah menyimpan mayat di rumah? Apakah ada ruang pembantaian di bawah tanah?
"Aku ingin berziarah," katanya lagi. Aku masih tidak percaya.
"Bagaimana ayahmu bisa, hmm ... ada di rumah walikota?" tanyaku hati-hati. Seketika, ia tampak serapuh sayap kupu-kupu.
"Sebelum ada rumah walikota, kami tinggal di sana," katanya dengan nada kerinduan, atau sakit hati ... entahlah. Aku tak tega, tapi kecamuk pertanyaan menginginkan jawaban. Aku membiarkan dia melanjutkan.
"Kami, warga kampung nelayan. Semua baik-baik saja hingga walikota baru menginginkan perubahan. Wira Jayanto. Rumah kami dianggap tidak layak huni dan kami harus pergi."
Rinai hampir jatuh dari sudut matanya. Ia menghela napas dalam.
"Buldoser berdatangan di bawah mendung suatu sore. Seluruh warga berusaha melawan, tapi Ayah tidak. Dia pasrah, jika terdapat janji hidup yang lebih layak. Rumah kami menjadi rumah pertama yang dihancurkan," Ia kembali menarik napas, lebih dalam. Aku masih diam. Ia meneruskan cerita.
"Ketika kami sekeluarga menuju penampungan sementara, aku sadar bonekaku tertinggal. Aku merengek pada Ayah, meminta ia mengambilkan. Ayah berusaha bicara pada penjaga. Penjaga itu tak mendengar apa-apa. Aku tahu mereka bukan manusia.
Akhirnya, Ayah nekat menerobos mereka, lalu ... kamu bisa tebak selanjutnya. Ayah tergilas dan terkubur di sana. Tak ada saksi selain aku, Ibu, dan adikku yang masih kecil. Kami tidak punya kuasa untuk ..."
"Kenapa kalian tidak meminta warga lain untuk melawan?"
"Semua orang sibuk mempertahankan miliknya saja."