Setelah berkata beberapa kalimat lagi, buk Reni mengizinkanku pulang.
Aku berjalan menyusuri jalan dengan langkah gontai. Bagaimana tidak? Angkot menuju pasar sudah habis. Bagaimana dengan ojek? Selama hidupku aku tidak pernah naik ojek. Kenapa? Karena takut. Jadi, terpaksa aku harus berjalan kaki menuju pasar dan berharap novel best seller itu masih ada. Setidaknya masih ada satu untukku.
Tapi ternyata hari ini nasibku memang tidak beruntung. Novel itu habis terjual setibanya aku di sana. Aku kalah cepat dengan pembeli terakhir. Kata Mbak penjual itu, baru lima menit lalu pelanggannya membeli stok terakhir novelnya.
Aku berseru kecewa. Aku kembali berjalan menuju rumah, kali ini langkahku semakin gontai.
Karena aku kena hukum tadi, aku jadi tidak bisa membeli novel baru favoritku. Karena aku ketahuan menyonteklah, aku jadi kena hukum. Dan karena aku malas belajarlah, aku jadi memiliki niat untuk menyontek. Semua ini terjadi karena aku malas belajar. Sungguh, aku menyesal malas belajar.
Setibanya di rumah, aku tidak langsung memberikan surat itu kepada orangtuaku. Ayahku belum pulang bekerja. Jadi aku memutuskan memberikannya setelah ayah pulang, sekalian saja dengan ibu.
Tapi menjelang ayah pulang, hatiku tidak tenang. Aku duduk di atas kasur kamarku dan menatap keluar jendela.
Apa reaksi ibu dan ayah kalau tahu aku mempermalukan diri sendiri dan secara tidak langsung juga mempermalukan mereka sebagai orangtuaku? Apakah mereka akan marah? Tentu saja. Apakah mereka akan kecewa? Mungkin ini lebih tepat.
Aku menghembuskan napas pelan. Bagaimana aku akan mengatakan semuanya kepada ibu dan ayah? Aku sungguh menyesal menjadi anak pemalas.
Pukul enam malam, ayah telah sampai di rumah. Tapi aku belum berani memberikan kertas itu kepada mereka. Aku takut dengan reaksi mereka nanti.
Setelah makan malam, pukul delapan. Ayah dan ibu duduk di ruang televisi. Aku memberanikan diri mendatangi mereka dengan pandangan ditundukkan.