Mohon tunggu...
Nozayla Vilzaa
Nozayla Vilzaa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Menyesal Malas, Ibu, Ayah.

23 September 2024   21:39 Diperbarui: 23 September 2024   21:39 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kia! Udah jam berapa ini? Katanya mau belajar!"

"Iya, Bu! Iya!"

Aku mendengus di dalam hati. Lagi-lagi belajar. Aku muak dengan kosakata itu. Tidak bisakah sehari saja kata 'belajar' tidak keluar dari mulut orangtuaku? Aku bosan mendengarnya.

Aku hanya ingin menikmati hari-hariku sekarang. Tidak mau diganggu apalagi disuruh belajar.

Selalu begitu. Ketika lagi enak-enaknya baca novel, ibu pasti masuk ke kamarku dan ceramah panjang-lebar tentang pentingnya belajarlah, masa depanlah, pekerjaanlah, bahkan sampai melantur ke kehidupan berumah tangga, tentang bagaimana menjadi istri baik dimulai dari belajar. Menye-menyelah!

Ayah juga sama. Bedanya ayah menceramahiku dengan lebih lembut. Tapi sama saja, ketika aku lagi asyiknya scrool instagram, ayahku pasti tiba-tiba nyeletuk, "Hp lagi, hp lagi. Belajarnya kapan?" Dimana saja aku berada, mau di ruang tamu, di meja makan, di kamar. Sekali ayahku melihat aku bermain hp, dia pasti nyeletuk. Dan itu membuatku kesal.

Apasih asyiknya belajar? Kenapa orang di luar sana pada suka belajar? Itu sama sekali tidak mengasyikkan!

Hari ini aku sekolah seperti biasanya. Paginya, buk Reni datang ke kelasku.

"Anak-anak, jangan lupa besok kita ulangan, ya. Belajar. Ibuk harap kalian semua dapat nilai memuaskan."

Semua murid di dalam kelas menjawab dengan berbagai ekspresi. Kecewe, semangat, panik, juga kesal. Dan aku termasuk anak berekspresi kesal.

Bagaimana tidak? Aku hari ini berencana menamatkan novelku. Sudah 1 minggu menganggur di meja belajar. Tapi, anak kelas sebelah bilang ulangan buk Reni itu susahnya pake banget. Mana jawaban dari soalnya tidak semuanya ada di dalam buku catatan lagi.

Aku menggerutu di dalam hati, tidak sengaja bergumam kesal. Tia, teman semejaku tiba-tiba bersuara, "Ga usah aja belajar. Ntar nanti aku tanyaian ke sebalah soalnya kek gimana."

Di tawari seperti itu tentunya aku setuju. Setidaknya aku punya teman gak belajar, plus dapat bocoran soal.

Aku senang bukan kepalang.

Sesampainya di rumah, aku langsung menyambar novelku, lalu merebahkan diri di kasur empukku dan membacanya dengan perasaan lapang.

Tiba-tiba ibuku masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu.

"Kia- kan novel lagi, novel lagi. Heh, katanya mau belajar. Jadi anak pintar. Nih buk Reni bilang di grup, besok ada ulangan."

"Iyaa, Bu. Kia udah tau."

"Itu udah tau, masi juga baca novel. Udah belajar belum?"

"Nanti Kia belajar, Bu. Nanggung dikit lagi selesai."

"Jangan nunda-nunda pekerjaan, Kia!"

"Iya, Bu. Iyaa.. Nanti malam deh."

"Sekarang, Kia! Lihat tuh si Airani. Tiru lah dia. Bawa buku pelajaran ke mana-mana. Lah kamu? Bukannya bawa buku pelajaran, kamu malah bawa novel ke mana-mana. Kapan belajarnya? Katanya mau juara. Katanya mau masuk SMA favorit. Buat bangga Ibu sama Ayah. Jangan jadi beban mulu.

"Airani tuh ditiru, orang tuanya gak ada di rumah. Pada kerja di luar negeri, tapi dia tetap belajar. Tetap juara. Nih kamu, Ibu ada di rumah 24 jam. Pelajaran mana kamu gak paham, bisa tanyain ke Ibu. Nih nggak, baca novel mulu, trus main hp. Kayak nggak ada kerjaan aja," ceramah ibu panjang lebar.

"Kalau nggak belajar, bantuin Ibu cuci piring, lipat kain, jemur baju. Banyak kerjaan lain. Nggak duduk-duduk manis kayak gini orang mau. Kalau pemalas, nggak ada mau sama Kia ke mana mau dicari? Udah malas belajar, malas pula gerak. Nggak akan ada orang mau sama Kia."

Tuh, kan? Pembahasannya menjalar ke mana-mana.

"Iya, Bu. Nanti malam Kia janji belajar."

"Jangan bohong kamu."

"Iya," aku menjawab malas.

Ibu keluar dan menutup pintu. Aku bernafas lega. Setelah di rasa kembali tenang, aku melanjutkan membaca novel. Tanggung, dikit lagi tamat.

Karena asiknya baca novel, tidak terasa hari telah berganti malam. Ibu meneriakiku dari luar.

"Kia! Udah jam berapa ini? Katanya mau belajar!"

"Iya, Bu! Dikit lagi selesai!"

Ibu muncul dari pintu. "Dikit lagi, dikit lagi. Udah malam. Katanya janji mau belajar."

"Iya, Ibuku tersayang. Nggak boleh makan dulu?"

Ibu menghela nafas. "Yaudah, sana makan. Trus shalat. Jangan lupa do'a, 'Ya Allah, bukakan hati Kia buat mau belajar dengan giat.'"

"Ibu nggak mau Kia do'ain?"

"Ya maulah. Udah sana, pergi shalat," ibu mengusirku.

"Tadi Ibu bilang makan dulu."

"Shalat dulu, jangan lalai."

"Iya, deh. Iya.."

Setelah menyelesaikan permintaan ibu, aku kembali ke kamar dan teringat. Masih ada permintaan ibu satu hal lagi. Belajar untuk besok.

Aku menghela nafas kasar. Lalu duduk di meja belajar. Aku membuka asal bukuku dan hanya membacanya sekilas. Karena muak, ku tutup lagi buku itu. Ku ambil hpku dan ternyata Tia mengirim pesan padaku.

*Tia : Nih, aku udah dapat bocoran soalnya.*

Tia mengirim sebuah foto berisi soal-soal ulangan dari kelas sebelah. Aku tersenyum senang.

*Kia : Makasi, Tia.*

*Tia : Kamu belajar, Ki?*

*Kia : Rencananya tadi iya. Nggak menghafal, baca doang. Tapi, karena udah  di kasi soalnya mending nggak usah.*

*Tia : Ya, mending nggak. Aku juga males.*

Setelah membalas pesan Tia, aku salin soal ulangan itu ke kertas kecil untuk ku gunakan besok saat ulangan. Atau bisa di sebut dengan *MENCONTEK*. Ya, aku rencana mau menyontek besok. Masa bodoh lah dengan kata 'bohong'. Daripada belajar? Enakkan gini.

Lagi asyiknya menyalin, ayah tiba-tiba masuk ke kamarku dan bertanya, "Udah belajar?"

Aku menoleh, "Nih, lagi belajar," aku memperlihatkan foto tadi kepada ayah. Dia tidak akan tahu aku menyalin soal ulangan kelas sebelah.

"Beneran belajar, tuh?"

"Iya, Yah."

"Yaudah, lanjutkan."

Ayah berbalik keluar kamar. Aku tersenyum. Dalam hati, aku terkekeh,  'Hehehe, mudah ini mah!'

Aku kembali menyalin soal-soalnya. Beneran banyak banget. Ini soal udah kayak skripsi aja. Panjangnya minta ampun. Jawabannya juga nggak kalah panjang. Wajar si, ulangan PPKN.

"Selesai sudah masalah! Yeaay!" aku berseru setengah teriak dan merenggangkan pergelangan tanganku.

"Kalau udah gini, bisa scrool ig," aku berkata dengan suara pelan.

Inilah sekarang kerjaanku. Duduk di meja belajar, bukannya belajar. Tapi, ngescrool ig.

Sudah waktunya tidur. Aku meregangkan badanku dan langsung menghambur ke tempat tidur. Ibu masuk ke kamarku.

"Kia, kamu udah belajar?"

"Udah, Bu."

"Bener, nih?"

"Iya, tadikan Kia duduk di meja. Ibu nggak lihat?"

"Tadi Ibu di kamar."

"Ayah tadi lihat Kia belajar kok, Bu. Tanya aja Ayah kalau Ibu nggak percaya."

"Nggak bohong berarti, ya?"

"Iya, Ibu."

Setelah berkata demikian, ibu mengucap salam dan keluar menutup pintu.

Samar-samar aku dengar, ayah dan ibu juga sudah beranjak ke kamar. Aku tersenyum. Sudah berapa kali aku tersenyum hari ini? Entahlah, sepertinya suasana hatiku sedang senang.

Besoknya, aku tiba ke sekolah lebih cepat. Anak-anak di kelasku pada sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Mereka kebanyakan belajar untuk ulangan nanti. Aku tersenyum. Kayaknya nih mulut harus diperban. Dikit-dikit senyum. Nggak ngapa-ngapain senyum. Ntar dikira kenapa lagi.

Setelah menaruh tas, aku pergi menemui teman kelas sebelahku. Ternyata kelas sebelah nanti juga ada ulangan.  

Teman kelas sebelahku, Azi, dia belajar bersama temannya di kelas. Alhasil, aku kembali ke kelas dan duduk sendiri. Tidak tau mau ngapain. Semua orang pada sibuk menghafal.

Melihat teman-temanku menghafal, aku terdorong untuk mengambil buku di dalam tas, membukanya, lalu membacanya sekilas, ketika Tia tiba-tiba saja sudah duduk di sebelahku.

"Kia, udahlah nggak usah belajar."

"Anak lain pada belajar. Entah karena apa, firasatku jadi nggak enak."

"Udahlah, aku juga nggak menghafal, kok. Kan kita udah tahu soalnya. Ngapain juga kita belajar. Bikin repot aja."

"Mereka dapat bocoran?"

"Ya nggak lah, cuma kita."

"Oh, pantes. Ya udah. Tapi, aku nggak tahu mau ngapain."

"Jalan-jalan, yuk."

Aku menerima ajakannya. Meninggalkan buku catatanku di atas meja.

Jam sudah menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh menit ketika buk Reni masuk ke kelasku sambil menenteng kertas super tebal. Konon katanya, isi dari kertas-kertas itu sangatlah panjang dan jawabannya sangat susah dicari. Tapi tak mengapa, aku sudah tahu apa saja jawabannya.

Buk Reni mulai membagikan soal ulangan. Aku tidak sabar lagi, tapi anehnya perasaanku sedikit tidak enak. Entah kenapa.

Aku mendapat kertasku. Mataku membelalak kaget. Soal di tanganku sekarang sama sekali tidak ada dalam foto kiriman Tia. Oh, tidak. Sepertinya soal ulangan di berikan berbeda oleh buk Reni setiap kelasnya. Aduh, bagaimana ini?

Aku lirik Tia di sebelahku. Dia tampak biasa saja. Aku mencoba untuk tenang dan menjawab soalnya sebisaku. Tapi masalahnya, materi ulangannya tidak ada kupelajari. Lengkap sudah.

Masih berharap ada secercah harapan, aku mengeluarkan kertas kecil berisi soal ulangan kelas sebelah. Aku mulai mencari-cari jawaban soalnya di sana, padahal aku tahu tidak akan ada jawabannya. Dan sialnya lagi, aku ketahuan.

"Kia, kamu lihat apa itu?" Suara buk Reni menggema ke seluruh kelas, saking tegasnya.

"Eh? I-ini buk.. Anu.."

"Anu apa?" buk Reni menghampiriku sambil menatapku mengintimidasi.

Aku melirik Tia, meminta pertolongan. Tapi, dia terlihat acuh tak acuh. Aduh, bagaimana lagi ini?

"Berikan kepada Ibuk sekarang. Kamu simpan apa?"

"I-ini kertas, Buk."

"Iya lihat sini, kertas apa itu."

Aduh, ketahuan sudah. Aku memberikan kertas kecil itu kepada buk Reni dengan lesu. Aku yakin, setelah ini aku tidak akan selamat.

Benar saja. Setelah membaca isi kertas itu, buk Reni langsung memarahiku.

"Wah, berani kamu ya, Kia. Buat contekan ulangan. Bawa sini kertas ulangan kamu," buk Reni mengambil kertas ulanganku dan merobeknya. Aku menatap sobekan kertas itu. Miris sekali nasibku.

"Sekarang kamu nggak boleh ikut ulangan saya. Keluar kamu."

"T-tapi, saya belum sempat ngapa-ngapain, Buk," tidak salah, kan? Lagian contekan itu nggak sesuai sama ulangannya.

"Oh, berani kamu melawan saya? Keluar! Sebelum saya panggil kepala sekolah," ucap buk Reni tegas, membuat seluruh kelas hening setelah sebelumnya sedikit ribut.

"Kamu punya telinga, kan? Keluar saya bilang!"

Aku menunduk. Merasa malu dan bersalah. Aku berdiri. Melangkah keluar kelas.

"Lari keliling lapangan 15 kali. Jika sudah, tulis surat perjanjian dalam kertas empat lembar. Penuhkan empat lembar itu. Jangan kembali sampai kamu selesai menulisnya!"

"I-iya, Buk."

Aku melangkah keluar kelas, di ikuti tatapan kasihan dari teman-temanku. Aku berlari mengelilingi lapangan sesuai perintah buk Reni.

Sekarang, bisa saja aku melarikan diri ke wc. Tapi, tidak ada gunanya juga. Buk Reni pasti nanti keluar kelas untuk mengawasiku. Buk Reni terkenal guru paling disiplin dan tegas terhadap muridnya.

Selagi aku berlari, beberapa pasang mata kebetulan melintas menatapku iba. Mereka pasti tahu aku dihukum oleh buk Reni. Tapi, ada juga beberapa bertanya-tanya.

"Dia kenapa?" bisik seseorang kepada temannya. Kebetulan melintas di dekatku. Sungguh, aku malu jadi pusat perhatian.

"Dihukum kali."

"Sama?"

"Buk Reni. Lihat aja, tuh, Ibuknya lagi enak-enakkan duduk di sana."

Aku menatap ke arah mereka melihat. Benar saja, ada buk Reni di sana. Menatapku tajam, seolah-olah mengawasiku. Memang mengawasiku, si.

Aku terus berlari mengelilingi lapangan. Sudah cukup lima belas putaran, buk Reni pergi meninggalkanku. Aku menghela nafas lega. Tapi tetap saja, aku masih tidak nyaman dengan tatapan-tatapan dari anak-anak lain.

Aku pergi ke pondok, tempat biasanya anak-anak duduk saat jam istirahat. Aku duduk di sana dan bingung mau apa. Awalnya aku mau mengerjakan hukuman itu, tapi aku lupa membawa kertas dan alat tulisku. Karena takut ke kelas, alhasil aku duduk saja di sana.

Beruntung, nasibku masih baik. Aku bertemu Azi. Kebetulan dia dari wc. Langsung saja aku ceritakan semuanya kepada sahabatku itu dan tidak lupa meminta kertas dan meminjam alat tulisnya.

Dia memberikannya dan menemaniku menulis surat perjanjian di pondok. Kebetulan lagi, Azi ada ulangan dan dia telah selesai mengerjakannya.  Jadi, dia diizinkan keluar lebih cepat. Makanya dia bisa menemaniku.

Selagi aku membuat surat perjanjian, Azi menceramahiku. Sudah seperti ibuku saja dia. Tapi, aku tidak terlalu fokus mendengarkan karena memikirkan kata-kata untuk surat ini.

"Namanya aja cantik, kelakuannya nggak," celetuk Azi.

"Kamu kok jadi bawa-bawa nama, sih?"

"Ya, lagian kamu susah banget di bilangin."

"Ya, maaf lah. Biasanya malas-malas gini aku nggak sampe di hukum."

"Makanya jadi anak tuh rajin. Kayak aku."

"Idih. Ya deh, Kak.."

Hingga bel pulang berbunyi. Azi lebih dulu meninggalkanku pulang. Dia di jemput kakaknya. Sedangkan aku harus menyelesaikan surat menyebalkan ini dulu.

Aku mengerjakannya dengan tergesa-gesa. Hari ini aku pulang naik angkot ke pasar. Ada novel baru terbitan favoritku di sana. Mbak-mbak itu menjualnya dengan harga murah. Aku telah mengumpulkan uang jauh-jauh hari untuk itu. Dan novelnya best seller. Edisi terbatas. Aku harus cepat sebelum kehabisan.

Aku merutuk sebal dalam hati. Andai saja aku belajar semalam dan tidak melakukan hal itu, ini semua tidak akan terjadi.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya surat ini bisa kuselesaikan. Aku berjalan menuju ruang guru dengan langkah tergesa-gesa.

Sesampainya di sana, aku memberikan suratnya kepada buk Reni. Namun, bukannya dibolehkan pergi, buk Reni malah menahanku dan menceramahiku panjang lebar. Sampai sepuluh menit kemudian. Sungguh aku menyesal malas belajar.

"Sekarang kamu berikan kertas ini kepada kedua orangtuamu dan minta tanda tangan mereka di kertas ini. Besok sudah harus ada di tangan Ibuk. Paham?"

"Iya, Buk," aku menunduk.

Setelah berkata beberapa kalimat lagi, buk Reni mengizinkanku pulang.

Aku berjalan menyusuri jalan dengan langkah gontai. Bagaimana tidak? Angkot menuju pasar sudah habis. Bagaimana dengan ojek? Selama hidupku aku tidak pernah naik ojek. Kenapa? Karena takut. Jadi, terpaksa aku harus berjalan kaki menuju pasar dan berharap novel best seller itu masih ada. Setidaknya masih ada satu untukku.

Tapi ternyata hari ini nasibku memang tidak beruntung. Novel itu habis terjual setibanya aku di sana. Aku kalah cepat dengan pembeli terakhir. Kata Mbak penjual itu, baru lima menit lalu pelanggannya membeli stok terakhir novelnya.

Aku berseru kecewa. Aku kembali berjalan menuju rumah, kali ini langkahku semakin gontai.

Karena aku kena hukum tadi, aku jadi tidak bisa membeli novel baru favoritku. Karena aku ketahuan menyonteklah, aku jadi kena hukum. Dan karena aku malas belajarlah, aku jadi memiliki niat untuk menyontek. Semua ini terjadi karena aku malas belajar. Sungguh, aku menyesal malas belajar.

Setibanya di rumah, aku tidak langsung memberikan surat itu kepada orangtuaku. Ayahku belum pulang bekerja. Jadi aku memutuskan memberikannya setelah ayah pulang, sekalian saja dengan ibu.

Tapi menjelang ayah pulang, hatiku tidak tenang. Aku duduk di atas kasur kamarku dan menatap keluar jendela.

Apa reaksi ibu dan ayah kalau tahu aku mempermalukan diri sendiri dan secara tidak langsung juga mempermalukan mereka sebagai orangtuaku? Apakah mereka akan marah? Tentu saja. Apakah mereka akan kecewa? Mungkin ini lebih tepat.

Aku menghembuskan napas pelan. Bagaimana aku akan mengatakan semuanya kepada ibu dan ayah? Aku sungguh menyesal menjadi anak pemalas.

Pukul enam malam, ayah telah sampai di rumah. Tapi aku belum berani memberikan kertas itu kepada mereka. Aku takut dengan reaksi mereka nanti.

Setelah makan malam, pukul delapan. Ayah dan ibu duduk di ruang televisi. Aku memberanikan diri mendatangi mereka dengan pandangan ditundukkan.

"Ibu.. Ayah," aku memanggil mereka dengan suara pelan. Mereka menoleh dan mengernyit bingung.

"Ada apa?" Ibu bertanya dengan nada sedikit khawatir setelah mendengar suara pelanku.

Aku memberikan kertas berisi perjanjian itu kepada ayah dan ibu. Benar saja dugaanku. Setelah mereka membaca isi kertas itu, ayah menghela napas panjang dan ibu menatapku tajam.

"Kamu kena hukum, Kia?" tanya ibu dengan suara mulai tegas.

"Iya, Bu."

Terdengar helaan napas dari ibu. "Berapa kali Ibu harus bilang padamu. Belajar, Kia. Belajar. Tapi ini kamu masih juga malas, trus nyontek lagi. Malu-maluin orangtuamu aja," ibu menaikkan suaranya, tanda dia sudah marah.

"Maaf, Bu.. Kia janji nggak akan ngulangin lagi," aku menunduk, merasa bersalah dan malu.

Selama ini malas belajar, aku tidak pernah sampai kena hukum. Ini pertama kalinya bagiku. Dan itu membuatku malu. Apalagi orangtuaku juga mengetahuinya.

"Janji, janji. Tapi, nggak pernah ditepatin. Kemarin kamu janji mau belajar. Belajar apa kamu? Katanya udah belajar, tapi ini apa. Ternyata kamu nyontek karena malas belajar. Udah ada buktinya kan, kamu nggak ada belajar kemarin. Mau jadi apa kamu, Kia? Hah? Belajar nggak mau, nolongin orangtua nggak mau juga.  Peliharalah malas kamu tuh sampai besar, nggak akan ada orang mau sama kamu nanti."

"Tapi, Kia nggak jadi nyontek tadi, Bu. Jawaban ulangannya nggak ada di kertas contekan Kia."

"Kamu ada niat buat nyontek. Nggak ada bedanya. Sekali kamu berniat menyontek, mau jawabannya ada atau tidak di buku kamu, itu tetap menyontek."

Ibu benar-benar marah sekarang. Dia menceramahiku sama seperti buk Reni menceramahiku di sekolah tadi. Aku hanya menunduk dalam-dalam.

"Sudahlah, Bu," ayah tiba-tiba bersuara dan menyela ceramah ibu. "Kia, kamu tahu kan apa akibat dari malas belajar?"

Aku hanya mengangguk pelan, masih menunduk.

"Kamu masih mau malas dan menyontek lagi?"

Aku menggeleng pelan.

"Janji?" Ayah bertanya lagi.

Aku mengangkat wajahku dan menatap kedua orangtuaku, lalu mengangguk. "Maafkan aku Ibu, Ayah. Aku menyesal malas belajar. Aku janji nggak akan malas lagi. Aku juga nggak akan menyontek lagi, Yah, Bu," aku kembali menunduk. "Maafin Kia.."

"Yaudah, Ayah maafin," ayah tersenyum, lalu menoleh kepada ibu. "Ibu gimana?"

Ibu kembali menghela napas. "Iya, Ibu juga maafin kamu. Tapi kamu harus tepatin janji. Kamu nggak akan ngelakuin ini lagi."

Aku menatap kedua orangtuaku dengan mata berbinar. "Iya, Bu.."

"Trus ini kertasnya mau diapain?" Tanya ayah kemudian.

"Buk Reni nyuruh tanda tangan di bawahnya, Yah, Bu."

Setelah di tanda tangani, aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan sedikit tenang. Hanya sedikit. Aku masih merasa malu kepada kedua orangtuaku sendiri. Aku menyesal malas belajar. Sungguh, aku menyesal.

Setelah ini aku berjanji tidak akan malas lagi. Aku akan lebih rajin untuk kedepannya dan aku akan meraih masa depan impianku.

*Tamat*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun