"Hmm.. Baru sempet. Salon langgananku pindah lebih jauh soalnya dari rumah."
Mutia hanya tersenyum mengangguk, "Oh.." dan kami pun melanjutkan kegiatan kami mempersiapkan pembukaan kedai hari ini.
Jam dinding yang terletak di atas pintu keluar masuk kedai telah menunjukkan pukul tujuh tepat. Pintu kedai yang setiap pagi selalu kami buka lebih dulu agar udara dapat bersirkulasi, hari ini tidak kami buka. Di luar masih gerimis, bahkan hujan mulai sedikit membesar. Jika pintu kami biarkan terbuka, air hujan akan terbawa oleh angin hingga membasahi sebagian lantai dalam kedai. Aku telah siap berdiri di balik meja barista. Bersama Mutia dan Rena pada posisinya masing-masing.
Aku meletakkan siku tangan kananku di atas meja, bertopang dagu memandang ke arah luar. Pasti Henry kehujanan dan langsung buru-buru menuju ke kantornya. Sepertinya tidak mungkin pagi ini dia mampir ke kedai.
"Mel, ngelihatin siapa di luar? Si Mas ya?" Rena cengengesan menggodaiku.
"Ngga.. Lihatin hujan." jawabku singkat.
Aku meninggalkan area barista, melangkah ke arah sebelah kiri, berhenti dan berdiri tepat di balik kaca besar yang menerawang jelas ke luar jalan. Aku mengamati hujan yang perlahan hanya tinggal rintik-rintik. Aku menatap arloji hitam pada pergelangan tangan kiriku. Sudah hampir pukul delapan, kami belum kedatangan pelanggan sejak membuka operasional kedai lima puluh menit yang lalu.
Aku beranikan diri menghubungi Henry lebih dulu, setelah percakapan kami yang terakhir kemarin sore lewat pesan singkat. Aku melangkah kembali ke belakang meja kerjaku. Seraya merogoh ponsel di dalam saku celemek hijauku.
"Hai, kamu masih lembur?" aku mengirim pesan yang isinya tidak terlalu serius.
"Hehe, semalem lemburnya sampe jam sembilan. Terus sampe rumah langsung tidur. Ini belum lama baru duduk. Tadi ngerapihin mantel dulu di depan. Maaf ya ngga kabarin kamu."
"Ngga apa-apa kok, hehe."