Aku dan Henry sudah semakin dekat selama ini, teman-temanku di kedai kopi dan teman-teman kerjanya juga sudah mengetahui dengan persis kalau kami sering jalan bersama.
Aku membuang sedikit demi sedikit sifat bodoh, polos dan kekanak-kanakkanku sejak Henry menyatakan cintanya padaku tiga bulan yang lalu, di teras rumahku, diiringi rintik hujan di malam Minggu. Mungkin secara tidak langsung, dari caraku bersikap padanya, aku telah menerima cintanya sejak hari itu. Buktinya, sampai hari ini kami masih selalu berkomunikasi secara intens.
Dan aku juga menyayanginya sepenuh hati. Namun, untuk menerima ajakannya meresmikan hubungan sebagai sepasang kekasih, aku belum bisa. Itu karena.. Selama ini Mba Lidya masih mengejarnya. Masih berusaha menarik perhatian Henry kembali.
Kira-kira dua bulan sebelum Henry mengutarakan perasaannya padaku, dia telah menceritakan sebuah kenyataan padaku. Henry dan Mba Lidya pernah menjadi sepasang kekasih kala dulu mereka masih bersama-sama menjadi mahasiswa di kampus yang sama. Mereka terikat dalam komitmen itu selama hampir empat tahun.
Namun, semua berubah dalam sekejap kala ayah dari Mba Lidya menentang hubungannya dengan Henry. Meskipun Ibu Mba Lidya sangat ingin menolong untuk menyelamatkan hubungan anak gadisnya dengan Henry, beliau tidak mampu menentang keinginan ayah Mba Lidya untuk menjodohkan Mba Lidya dengan anak rekan usahanya.
Sejak saat itu, Mba Lidya mengambil sikap tegas untuk memutuskan hubungan kasihnya dengan Henry. Meski kenyataannya Mba Lidya sangat terpukul dengan keputusan yang diambilnya sendiri. Dia masih begitu mencintai Henry. Henry lantas sangat kecewa dengan kenyataan itu. Segala usaha yang dilakukannya untuk mempertahankan hubungan mereka hanyalah sia-sia belaka. Henry merasa hanya dirinya sendiri lah yang berjuang mempertahankan hubungan itu. Dia tidak melihat usaha yang dilakukan oleh Mba Lidya.
Sejak mereka berpisah, mereka sama sekali tidak pernah berkomunikasi lagi lewat media apapun. Mba Lidya pernah beberapa kali mencoba menghubungi Henry, namun Henry tidak mengindahkannya sama sekali. Hingga akhirnya pertemuan mereka kembali terjadi untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak berjumpa. Hari itu, di "kedai kopi Rindu" milik Mba Lidya, tempatku bekerja selama ini.
Aku juga menyaksikan pertemuan mereka kala itu. Aku memang tidak begitu pandai untuk memahami ekspresi wajah mereka kala itu. Yang dapat aku simpulkan saat itu hanyalah kenyataan bahwa Henry dan Mba Lidya sudah saling mengenal sebelumnya. Aku sama sekali tidak pernah berpikir jauh sampai kesana, tak pernah terpikirkan olehku bahwa mereka pernah saling mencintai.
Yang aku perkirakan dari sikap dan raut wajah Henry kepadanya, mungkin mereka adalah sepasang musuh dalam selimut. Aku tidak pernah berusaha mencari tahu sesuatu yang telah terjadi di balik permusuhan mereka. Tapi, kala itu juga aku hanya melihat kebencian di sebelah pihak. Tatapan Henry yang sama sekali tidak menunjukkan rasa respectnya kepada Mba Lidya, sedang sikap Mba Lidya terlihat datar-datar saja terhadapnya, dia hanya menunjukkan rasa amat terkejutnya saat pertama kali bertemu Henry di kedai hari itu.
Bukan maksud hatiku untuk menggantungkan jawaban pada Henry hingga kini. Aku sudah lupa kapan tepatnya Mba Lidya mulai mencoba menghubungi dan mendekati Henry kembali, hingga akhirnya Henry mau menceritakan tentang hubungan masa lalunya dengan Mba Lidya. Aku belum mau meresmikan Henry sebagai kekasihku selama Mba Lidya masih terus membayangi dirinya.
Henry juga mengatakan panjang lebar padaku, bahwa sebenarnya dia juga sangat terkejut dengan pertemuan pertama kalinya dengan Mba Lidya di kedai. Henry sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu lagi dengan cara seperti itu. Setelah pertemuannya dengan Mba Lidya kala itu, Henry dibuat penasaran dengan status perkawinan Mba Lidya saat itu.