Mohon tunggu...
Noer Fadlilah Wening
Noer Fadlilah Wening Mohon Tunggu... Wiraswasta - https://ninin-dahlan-marchant.blogspot.com/

An ordinary wife who try to learn everything as much as possible.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

On The Bank of Kingston Upon Thames

18 Juni 2017   00:26 Diperbarui: 18 Juni 2017   01:17 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#NulisRandom2017

Day 1 of 30

Bandara Heathrow menjadi saksi pertamaku menginjakkan kaki di negeri Putri Diana yang aku idolakan itu. Dinihari tadi aku diantar ayah-ibu dan keluargaku ke Bandara Soekarno-Hatta. Sore ini, pada hari yang sama, sekitar pukul 4 sore, aku sudah sampai di Bandara terbesar kerajaan Inggris Raya, menunggu seorang lelaki datang menjemputku. Duduk manis di sebuah kafe, menikmati segelas coklat krim panas, pikiranku melanglang buana. Siapa sangka, anak manusia seperti aku, satu-satunya transportasi umum yang belum pernah aku naiki dan sudah menjadi mimpiku bertahun-tahun ini, justru membawaku hingga ke negeri orang selama 17 jam. Lama, jauh, belum pernah menginjakkan kaki di dalam bandara mana pun, dan kini aku harus menunggu seorang diri selama beberapa lama di dalam bandara orang asing. Menjelajah kesana-kemari, memegang telepon umum koin yang sudah menjadi barang langka di negaraku, melihat orang lalu-lalang, para petugas dan staf bandara, pilot dan pramugari, semua nampak asing bagiku, seperti dalam film-film Barat yang aku saksikan di TV atau bioskop ataupun video. Aku masuk film, pikirku melayang-layang, antara bahagia dan bosan menunggu.

Mataku terus menatap ke pintu kaca besar di depan sana. Orang-orang keluar-masuk dari tadi, tapi tak satu pun postur tubuh yang aku kenali. Meski mereka semua, bisa dibilang hampir sama, rata-rata putih dan jauh lebih besar dariku, tapi tak ada postur lelaki besar yang rapi, yang aku tunggu-tunggu hingga segelas coklat panasku menguap habis. Aku sungkan terus duduk di kafe itu. Aku bosan terus duduk di sana. Aku lelah. Menunggu, tanpa ada kepastian. Kembali aku langkahkan kaki kesana-kemari, mendekati si pintu kaca besar, menengok ke kanan dan ke kiri, tapi aku harus segera pergi dari sana, sebab pintu itu ramai lalu-lalang orang, dan aku tidak ingin mengganggu mereka. Aku duduk di salah satu bangku menghadap tepat ke pintu itu. Mataku terus menatap kesana-kemari. Aku meilhat orang-orang ramai menggunakan telepen umum yang berjajar-jajar di sana, nampak mudah, lalu aku mencoba menuju ke sana, ingin menelepon seorang lelaki yang berjanji akan menjemputku di bandara ini. Kupegang gagang teleponnya, kuangkat, kuletakkan di telingaku, berbunyi, lalu aku letakkan kembali. Aku baca tulisan yang ada di kotak telepon itu. Aku ingat bagaimana cara menggunakan telepon umum koin di negaraku beberapa tahun yang lalu, saat aku tidak memiliki handphone, tapi itu pun sangat jarang aku lakukan. Koin, aku butuh koin, koin Inggris, dan aku tidak memilikinya. Uang yang ada di dalam dompetku adalah rupiah, dollar Amerika, rupee India dan entah satu lagi apa, Arab Saudi mungkin, atau ringgit Malaysia. Lalu aku hanya menatap kesana-kemari, ke jajaran kafe-kafe yang ada di dalam ruangan itu, dan orang-orang yang menggunakan telepon koin. Aku kembali menuju bangku di dekat lift, menghadap ke pintu kaca besar. Aku lelah. Bosanku sudah tingkat tinggi. Menunggu adalah hal yang paling aku benci dalam hidupku, apalagi aku tidak bisa berkomunikasi dengan lelaki putih besar yang akan menjemputku.

Aku sudah pasrah. Berapa lama lagi aku harus menunggu, aku pasrah. Aku sandarkan punggungku ke sandaran bangku itu. Aku letakkan kepalaku menengadah ke langit-langit ruang tunggu di bandara itu. Aku menggambar di dinding-dinding putih langit-langit itu. Aku bosan. Aku bangkit lagi. Aku tegakkan punggungku, aku duduk menghadap lantai, dan aku sandarkan mukaku di kedua belah tangganku. Kembali dicekam bosan. Aku mengembalikan lagi punggungku dengan kesal ke sandaran bangku panjang itu. Mataku menatap orang-orang yang dari tadi tidak pernah berhenti berlalu-lalang di ruangan ini. Aku benar-benar berada di puncak kebosanan. Aku ingin menangis. Aku marah. Aku sedih. Aku sangat kecewa. Entah seperti apa mukaku kini. Perempuan kecil berkulit sawo matang, menunggu seorang diri, dan akulah penunggu yang paling setia berada di sana, yang lain sudah satu per satu meninggalkan ruang tunggu ini.

Day 2 of 30

Silih berganti rombongan orang keluar dari pintu di dekat kafe tempat aku menikmati coklat krim panas di Inggris untuk pertama kalinya tadi. Kebanyakan mereka berpostur lebih besar dariku. Ada beberapa, dan sangat jarang, yang memiliki postur sepertiku, tapi tak satupun perduli padaku. Ada seorang wanita, aku pikir ia wanita Indonesia, yang keluar dari sana, menatapku, lalu memalingkan wajahnya. Dia menunggu sepertiku, tapi ketika aku kembali menoleh padanya, seseorang sudah berada di sisinya dan membantunya mengangkat tas-tas bawaannya. Entah dari mana lelaki itu berasal. Geramnya aku. Dadaku berasa diaduk-aduk tak menentu. Ini tidak adil. Aku yang sudah menunggu dari tadi, belum juga beranjak dari sini, dia yang baru datang, dan sekarang sudah melewati pintu kaca besar di depanku. Ah, sebel. Sebel.

Aku mencoba berjalan-jalan lagi. Kali ini mataku lebih 'jelalatan', yang ada di kepalaku adalah gentong. Ya, aku mencari gentong. Kerajinan tanah liat sebesar tong sampah yang menggendut di tengah dan mengecil di bagian atas untuk memasukan air dan gayung. Mungkin orang sekarang takkan tahu apa itu gentong, tapi aku tahu, sebab keadaanku sekarang ini membawa otakku menemukan gentong di negara maju macam Inggris ini.  Aku akan memanggil nama lelaki bule penjemputku itu di dalam gentong. Akan aku masukkan kepalaku ke dalam gentong, dan akan aku desiskan namanya di sana, agar dia mendengarkan panggilanku yang sudah menunggunya terlalu lama. Akan aku katakan padanya, aku mulai ketakutan.

Pikiranku melanglang liar. Ini negara asing. Jauh. Aku tidak punya siapapun di sini selain penjemputku nanti. Aku tidak kenal siapapun. Aku tidak punya uang untuk membeli tiket pesawat balik ke Indonesia. Aku tidak tahu ke mana harus mencari pertolongan. Dan baru kali ini aku pergi ke luar negeri. Lengkaplah sudah. Bagaimana jika dia tidak datang? Bagaimana jika dia tidak menjemputku hari ini? Bagaimana malam nanti? Bagaimana aku? Aku harus bagaimana? Aku menyesal mengapa aku memberikan handphoneku pada adikku. Aku menyesal mengapa aku meninggalkan semua uang dan tabunganku pada ayahku. Aku benar-benar bodoh. Aku baru merasakannya sekarang, betapa bodohnya aku. Berani-beraninya aku datang tanpa membawa apapun ke negara orang. Berani-beraninya aku memasrahkan diriku pada Tuhan dalam perjalanan jauh yang asing ini. Aku benar-benar seperti Siti Hawa yang kebingungan mencari air di padang pasir. Aku hampir gila. Aku menangis dalam hati. Aku merintih. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus berdoa pada Tuhanku sekarang ini. Tuhan, dosa apa ini? Tuhan, apa salahku jika aku hanya mengharapkan lelaki penjemputku itu, sebab dia suamiku. Dia suamiku. Dia yang harus bertanggung-jawab akan aku. Kewajibannya adalah bertanggung-jawab, terhadap seorang perempuan yang sudah dinikahinya, sudah diambilnya dari orang-tuanya, dan dibawanya hingga jauh menyeberang samudra dan benua melewati angkasa. Setidaknya, itu yang aku tahu, dari ajaran agamaku. Tapi apa ini? Apa yang terjadi padaku kini? Apa yang akan terjadi padaku nanti? Aku adalah perempuan berani yang optimis. Aku selalu mengandalkan diriku dan Tuhanku mengarungi hari-hariku dan masalah yang menghadang dalam perjalanan hidupku. Aku mampu. Aku selalu bisa melewatinya. Tapi kali ini? Ini bukan tempatku. Ini bukan negaraku. Aku tidak tahu apa-apa di sini. Kepercayaanku akan kuasa Tuhanku mulai goyah. Oh Tuhan, apa salahku? Mengapa Engkau meletakkan aku pada posisi seperti ini di tempat yang asing bagiku? Kafe, benda-benda, dan orang-orang yang berlalu-lalang di ruangan ini mulai samar. Aku menatap jauh ke pintu kaca besar di sana, pun sudah tampak pudar. Mungkin aku akan pingsan. Mungkin aku akan tumbang. Hingga aku menangkap sesosok bayangan besar berwarna hitam, masuk dari pintu kaca besar yang jauh di sana. Aku mengenali posturnya. Aku tau siapa dia. Aku tahu dia menoleh kesana dan kemari. Aku melambaikan tangan dan menghambur padanya. Dia menoleh padaku. Menghampiriku. Aku memeluknya. Dia mendekap punggungku.

"Maaf, jalanan macet. Biasa, jalan menuju ke sini selalu macet," begitu ucapnya sambil mengelus punggungku.

Aku melepaskan kepalaku dari dadanya, mendongak menatap wajahnya dan tersenyum lebar. Lalu aku berkata, "Tidak apa-apa."

"Mana kopormu?", tanyanya padaku.

Aku menunjuk ke bangku di mana aku duduk lama menunggunya tadi.

"Ayo, kita harus cepat. Kita akan sampai rumah tengah malam nanti", begitu katanya sambil melepaskan tubuhku dan menggenggam tanganku menuju koper yang aku tunjukkan tadi.

Aku berjalan setengah berlari mengikuti langkahnya yang jauh lebih lebar dari langkahku. Aku bahagia. Aku bersyukur kepada Tuhan. Aku meminta maaf karena telah meragukan kuasaNya. Aku benar-benar berjalan dengan penuh suka-cita mengikuti langkahnya, mengambil kopor, melewati pintu kaca besar yang jadi saksi keterpurukanku sore ini, menyusuri gedung luas menuju parkir mobil. Dia memarkirkan mobilnya cukup jauh dari gedung di mana aku mati-matian menunggunya. Lumayan ngos-ngosan juga ketika kami sampai di mobil. Dia bukakan pintu untukku dan menyuruhku duduk. Pintu di samping kiriku ditutupnya dan dia berjalan ke belakang membawa koporku, diletakkannya kopor itu di bagasi. Aku terselamatkan. Aku tidak akan menjadi gelandangan di negara orang. Aku akan berkumpul bersama lelaki yang aku cintai, yang kini menjadi suamiku. Terima kasih Tuhan, Engkau memang Maha Agung. Engkau beri aku seorang lelaki gagah yang akan melindungiku di hari-hari akan datangku. Aku akan bagikan bahagia dan mimpiku bersamanya. Aku akan membuatnya bahagia. Aku akan memasak untuknya. Aku akan menyiapkan baju-bajunya untuk pergi ke kantor. Aku akan menyambutnya ketika dia pulang dari kantor. Aku akan menemaninya tidur. Aku akan memijit badannya agar dia bisa tidur pulas hingga esok pagi. Pintu sebelah kananku terbuka dan dia masuk. Aku menatapnya sambil tersenyum. Dia memakai sabuk pengaman di kursinya dan menoleh padaku. Tersenyum. Lalu diulurkannya tangannya. Dipegangnya kepalaku dan diusapnya.

"Kenakan sabuk pengamanmu karena kita akan berjalan. Nanti jalanan akan macet," ucapnya padaku sambil membantuku mengaitkan sabuk pengaman di gespernya.

Dia menstater mobilnya. Mobil mulai merambat dan mataku mulai menatap ke sekeliling. Dalam keasyikanku menelusuri area bandara Heathrow dari dalam mobil, kudengar dia berucap, "Bandara ini jauh lebih besar dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta."

"Benarkah?", aku menyambut ucapannya.

"O, ya, tentu saja. Dan bandara ini adalah bandara tersibuk di Eropa", ucapnya bangga.

"Kita nanti akan melewati bandara Gatwick, bandara terbesar ke-dua di Kerajaan Inggris ini", ucapnya menambahkan.

Aku mengangguk-angguk mendengarkannya menjelaskan tentang kotanya, tentang negaranya, dan tentang kebiasaan orang-orang di negaranya. Kami terus bercakap selama dalam perjalanan menuju rumah.

Day 3 of 30

Perjalanan ke rumah dari bandara Heathrow ini banyak didominasi obrolan oleh suamiku, aku lebih banyak diam dan mengiyakan. Aku memang bukan perempuan yang suka berbicara, tapi aku adalah pendengar yang baik. Tidak banyak kata yang keluar dari mulutku, hanya sesekali menimpali dan tertawa bersamanya. Nada suara suamiku lembut, tapi tegas. Dia adalah anak bungsu, jadi aku memaklumi jika ada sinyal kekanakan pada ucapan dan gesture tubuhnya. Dia terus bercerita, sedangkan aku lebih banyak bertanya tentang apa yang aku lihat, atau tulisan yang aku baca sepanjang perjalanan Heathrow -- East Sussex. Jarak tempuh yang seharusnya selama 1 jam 30 menit, terasa lama dan jauh sekali untukku. Mungkin karena aku sudah capek. Mungkin karena hari sudah gelap. Mungkin juga karena ucapan suamiku di bandara tadi, bahwa kami akan sampai di rumah nanti tengah malam. Suasana rasanya gelap gulita, jalanan tidak seramai di Indonesia, bahkan sangat jauh dari keramaian Jakarta. Dan macet yang disebutkan suamiku, tidak seperti bayanganku. Macet itu hanya terjadi ketika kami masih di London, disekitaran bandara Heathrow, begitu memasuki jalan M25 melewati Egham, lalu lintas ramai lancar. Keluar Epshom dan jalan M25 menuju A24 kemudian A23 jalanan makin lengang. Aku tidak banyak memperhatikan gedung atau bangunan apa saja yang kami lewati. Tapi ya, kami tadi melewati bandara Gatwick di Brighton dan universitas Sussex.

Suasana lengang sekali. Rumah-rumah tertutup, banyak gorden yang masih terbuka, tapi hanya beberapa yang masih menyalakan lampu, selebihnya gelap. Aku sangat kagum atas kerapian-kerapian yang aku lihat dalam perjalananku kali ini. Sungguh rapi dan bersih. Rumah-rumah hampir seragam dan berjajar rapi, tidak ada yang lebih menjorok ke depan, dan batu bata mereka tidak ditutup semen ataupun cat seperti rumah-rumah di Indonesia. Semua memiliki halaman, tidak perduli seperti apa bentuk rumahnya, ada yang berupa taman, ada juga yang sekedar tanah kosong. Rumah itu ada yang berdiri sendiri dikelilingi tanah kosong dan pagar, ada yang berdampingan dua-dua  dikelilingi tanah kosong dan pagar, ada juga rumah yang berjajar-jajar seperti di Indonesia, tidak dipisahkan tanah kosong sedikitpun kecuali depan rumah. Suamiku mengatakan tipe-tipe rumah itu saaat aku menanyakannya.

"Ini tipe rumah detached house", ucapnya sambil menunjukkan bentuk rumah yang berdiri sendiri dikelilingi halaman dan pagar.

"Rumah kita nanti akan seperti ini", ucapnya menambahkan.

"Ah, bagus!", kataku sambil tertawa gembira menyambut ucapannya.

Dia tersenyum dan menatapku, sambil tangannya memegangi kemudi mobil.

"Nanti aku bisa menanam bunga-bunga dan merawat tanaman di halaman", kataku sambil tersenyum menatapnya. Dia hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban.

"Di depan itu adalah flat, dan depannya semi-detached house", katanya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah bangunan bertingkat dengan banyak pintu dan jendela di sisi sebelah kiri dan rumah berjajar dua dikelilingi halaman dan pagar di sisi kanan jalan yang kami lewati.

"Flat orang Inggris bilang, untuk tipe tempat tinggal seperti itu, sedangkan orang Amerika akan menyebutnya apartemen", katanya menerangkan.

"Di Indonesia kami menyebutnya juga apartemen", kataku menimpali.

"Iya, orang-orang memang sangat ke-Amerika-Amerikaan. Negaramu juga." Ucapnya sedikit kesal, "Padahal mereka menggunakan bahasa Inggris dari negara ini", lanjutnya.

"Iya, bahkan untuk film dan orang-orangnya juga," kataku menambahkan.

"Orang Indonesia mengira bahwa film-film berbahasa Inggris adalah film Amerika dan orang-orang bule adalah orang Amerika", kataku bersemangat.

"Itu tidak benar, banyak film bagus yang dibikin di Inggris dan orang-orang bule yang ada di Bali kebanyakan adalah orang Australia, karena mereka lebih mudah menuju negaramu daripada orang-orang Eropa atau Amerika, bahkan orang-orang Eropa pun tidak sama jika kamu mau memperhatikannya, Love", ucapnya menerangkan dengan mengakhiri panggilan 'Love' padaku.

Aku sedikit terkejut tapi hatiku berbunga-bunga. Aku bahagia sekali dan bangga. Kepalaku membesar dan aku tersenyum penuh suka-cita. Suamiku memanggilku 'Love', aha! Laksana Putri Diana saja, aku merasa cantik dan penuh pesona. Bangganya aku, memiliki seorang lelaki gagah yang selalu berpakaian rapi dan memanggilku 'Love'. Love. Love. Love. Aku tersenyum terus memikirkannya.

"Kamu ada apa?", tanyanya mengagetkanku.

"Ha? Apa?", tanyaku balik gelagapan.

"Kok kamu tersenyum-senyum terus dari tadi?", ucapnya sambil menatap wajahku.

Aku tersipu-sipu, malu sekali rasanya. Mungkin wajahku berubah hitam, antara bahagia dan kebingungan menjawab pertanyaannya.

"Karena kamu memanggilku love," kataku tiba-tiba.

Aku memang tidak pandai berbohong. Aku memang tidak pandai berkata. Makanya aku tidak heran kalau tiba-tiba aku menjawabnya tanpa pikir panjang.

"Ha... ha... ha...", suara tertawanya terbahak-bahak memenuhi mobil sambil dipegangnya pahaku.

"Kamu cantik", ucapnya singkat. Matanya menelusuri mataku.

Day 4 of 30

"Aku tidak menyiapkan apapun di rumah untuk makan malam kita hari ini, kita mampir untuk makan malam dulu ya?" ucapnya sambil memalingkan perhatiannya ke depan.

"Baiklah," kataku, "aku juga belum makan ketika menunggumu di bandara tadi, aku hanya memesan secangkir coklat panas, karena kupikir engkau akan segera datang", kuakhiri ucapanku sampai di situ, tidak ingin kulanjutkan, karena aku tahu kalau aku akan menerocos manja sambil mengeluh 'lebay' akan apa yang aku rasakan sesorean tadi menunggunya di bandara. Tidak, aku tidak akan melakukan itu. Aku sekarang adalah seorang istri, berarti aku tidak boleh lagi bersikap kekanak-kanakan. Meski, kadangkala nanti aku akan bermanja-manja padanya. Meski, kadangkala nanti aku harus memanjakannya. Tapi, bukan kali ini, bukan seperti ini, bukan karena ini. Childish sekali. Biarkan kisah itu aku sudahi sampai di sini. Kisah itu sudah selesai. Kisah itu adalah kisah bandara. Dan kini, akan kumulai kisah baru. Aku sudah bersama lelaki yang aku cintai, yang akan menjagaku dan memanjakanku, melakukan tugas-tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang lelakiku, seorang suamiku. Inilah kisah 'negeri di awan'-ku. Aku tersenyum. Hatiku berbunga-bunga dan melayang-layang di angkasa.

"Kamu baik-baik saja?" ucapnya mengagetkanku.

"Ah, ya, tentu saja," jawabku tegas, "tentu aku sangat bahagia, mengapa engkau mengatakan itu?" tanyaku padanya.

"Aku melihatmu selalu tersenyum, apa yang kamu pikirkan?" tanyanya kepadaku sambil matanya terus menatap ke depan.

Jalanan sepi, tidak ada lampu penerangan di pinggir jalan. Jalan ini seperti jalan menuju desa kalau di Indonesia, hanya lebih lebar dan tidak ada lubang di sana-sini, halus. Pohon-pohon menjulang tinggi di kiri-kanan jalan yang kami lalui. Sesekali ada rumah. Rumah-rumah di sini lebih besar dan lebih luas halamannya. Lampunya masih ada yang menyala, meski hanya satu dua ruangan saja. Meski gelap, aku bisa melihat rumah-rumah itu dari bantuan sinar rembulan. Bagus-bagus, seperti rumah-rumah orang kaya di film-film Barat yang aku lihat. Tapi horor. Gelap. Jarak rumah jauh-jauh. Rindang pepohonan. Ini seperti melewati jalan di dalam hutan. Tak ada satu lampu mobil pun yang nampak di depan atau di belakang kendaraan kami. Benar-benar horor. Aku sedikit menyusutkan badanku. Film-film Barat tentang kejahatan atau detektif bersliweran di kepalaku. Luas lingkungan ini, sepinya, suasananya, mirip sekali. Korban-korban pembunuhan itu, selalu dibawa jauh ke tempat-tempat seperti ini, baik dalam keadaan sadar, maupun dalam keadaan disandera, atau dalam keadaan pingsan. Seperti inikah tempatnya, tanyaku pada diriku sendiri di dalam hati. Pantas saja tidak ketahuan, pantas saja tidak ada orang yang tahu, pantas saja tidak ada pertolongan meskipun korban bisa berteriak minta tolong. Sejak memasuki jalan ini beberapa saat yang lalu, aku sempat berpikir bahwa suasana ini mirip dengan suasana menuju puncak Tawangmangu, hanya bedanya di Tawangmangu masih banyak rumah dan ada penerangan lampu, meskipun itu hanya lampu dari masyarakat sekitar, bukan dari pemerintah, tapi tidak sehoror ini. Sepinya sama. Banyak pohonnya sama. Jalannya juga berkelok-kelok, hanya tidak menanjak seperti di Tawangmangu. Tempat ini pasti indah ketika siang datang.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, mengulang pertanyaan yang sama, yang tadi ditanyakannya kepadaku dan belum sempat aku jawab.

"Ah, ya, aku baik-baik saja."

"Kamu yakin?", kali ini dia menoleh padaku dan matanya tajam menatapku.

"Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya melanjutkan pertanyaannya yang belum aku jawab.

"Jalanan ini sepi sekali," kataku lirih, "tidak ada lampu di pinggir jalan dan pohon-pohonnya rindang sekali, tidak nampak orang, tidak ada kendaraan yang lewat, pada kemana orang-orang di sini?" tanyaku, mungkin nada suaraku sudah lain dan terdengar aneh.

Dia hanya menatapku dan tersenyum. Memalingkan mukanya ke depan, lalu menatapku lagi masih dengan senyumnya.

"Mereka sudah pergi tidur, atau menonton televisi, atau membaca buku," jawabnya lembut, "kamu lihat lampu-lampu yang masih menyala di dalam rumah itu?" lanjutnya bertanya padaku.

"Iya," jawabku singkat.

"Di sanalah mereka masih beraktifitas, nanti jika mereka hendak tidur, lampu-lampu itu akan mati," katanya menerangkan.

"Berarti tempat ini akan gelap sekali ya?" tanyaku seperti anak kecil.

"Tagihan listrik di sini sangat mahal, karena itu kita harus pandai berhemat, kamu nanti juga harus begitu."

"Baiklah," jawabku singkat, "tapi apa maling tidak leluasa beroperasi di sini jika tidak ada lampu yang menyala dan gelap sekali di tempat seluas ini?" tanyaku.

"Lagipula jarak rumah mereka jauh-jauh," lanjutku cepat.

"Inggris tidak seperti di Indonesia, di sini aman, dan mereka memasang CCTV di tempat-tempat yang mereka inginkan," ucapnya menerangkan, "akan susah berbuat jahat di sini."

"Benarkah?"

"Ya," jawabnya cepat.

"Sabila, lihat itu!" katanya kepadaku sambil menunjuk ke atas, ke jajaran pohon-pohon yang rindang.

Aku menoleh ke arah telunjuknya menunjuk. Mendongakkan kepalaku ke atas sambil sedikit memajukan badanku, menatap keluar kaca depan.

"Mana?" tanyaku polos.

"Itu di atas sana," jawabnya sambil jarinya masih menunjuk keluar kaca mobil.

Aku serius mencari-cari apa yang ditunjukkannya padaku, mataku beredar kesana-kemari mencoba menemukan sesuatu, tapi aku tidak menemukan apapun kecuali daun-daun pepohonan yang rindang. Kami melewatinya.

"Kamu tidak melihat apapun?" tanyanya serius, "tadi ada benda putih-putih menggantung di sana," katanya sambil memandangku.

"Ah, kamu," kataku sambil tersenyum dan meninju lengannya lembut. "Kamu ada-ada saja, aku tidak takut dengan hal seperti itu," kataku melanjutkan.

Dia tertawa dan menatapku. Memalingkan wajahnya ke dapan dan mengayunkan tangannya meremas pahaku.

"Awh!" reflek aku berteriak dan menjauhkan kakiku dari tangannya, "kamu membuatku geli!" kataku sambil memegang punggung tangannya, meremasnya, lalu mengangkatnya, dan meletakkannya di atas telapak tangan kiriku. Aku meletakkan telapak tangannya di antara kedua telapak tanganku, lalu aku letakkan tangan kami di atas pangkuanku. Kami diam.

"Kamu aneh, tadi senyum-senyum sendiri, kemudian diam nampak ketakutan, ada apa denganmu?" tanyanya memecah diam kami.

Aku tersenyum menatapnya dan mengelus telapak tangannya yang ada dalam genggamanku.

"Aku bahagia karena sudah bersamamu dan bisa selalu berada di dekatmu," kataku.

"Maaf, lepaskan tanganku, karena aku harus konsentrasi menyetir," katanya sambil menarik tangannya dengan lembut, "nanti kalau tiba-tiba ada mobil dari depan, akan berbahaya," lanjutnya menerangkan.

Aku membiarkan tangan kokoh itu lepas dan menjauh dariku. Aku diam. Tiba-tiba telapak tangannya mengelus kepalaku. Aku menoleh padanya dan tersenyum. Dia letakkan punggung jari tengahnya ke pipiku dan mengelus pipiku dengannya. Mata kami beradu.

Dia kembali mengalihkan konsentrasinya ke kemudi. Membelokkan mobilnya memasuki halaman yang luas. Ada sebuah rumah yang besar di sana. Terang rumah itu, di dalam maupun di luar rumah. Ada beberapa mobil di sana. Ada yang keluar dari pintu rumah itu, berdua, pria dan wanita. Mereka tersenyum bersama sambil bercakap-cakap. Usia mereka sudah matang, antara tiga puluh hingga empat puluh tahun. Mungkin mereka suami istri. Atau mereka sedang berpacaran. Ini hari Jumat malam, besok weekend, dan orang-orang di sini tidak bekerja pada waktu weekend, kecuali orang-orang yang bekerja dengan sistem shift.

"Ayo kita makan dulu," katanya setelah selesai memarkirkan mobilnya.

Day 5 of 30

Kami turun dari mobil dan menyusuri jalan menuju pintu masuk rumah itu. Ternyata pintu masuknya ada beberapa dan suamiku menuntunku mengelilingi halaman, memilih pintu masuk dari depan. Dia membukakan pintu untukku dan aku masuk. Dia membuka pintu lagi, dan aku masuk lagi. Ada dua pintu. Dan ternyata luas tempat makannya. Begitu privat. Sinar lampunya tak seterang sinar lampu di rumah makan-rumah makan Indonesia. Entah mataku yang sudah mulai rabun karena malam dan lapar, entah memang sinar lampunya hanya remang begitu. Lumayan penuh. Ternyata orang-orang pada di sini, pantas saja jalanan sepi dari tadi. Toby Carvery, begitu aku baca tadi. Tempat duduk penuh dan suamiku harus memesan kursi terlebih dahulu kepada cowok bule, masih muda, dan ganteng, ramah lagi, yang menyambut kami di pintu kedua di atas mejanya yang seperti mimbar khutbah Jum'ah. Kami menunggu di sana, suamiku menatapku.

Beberapa orang melintasi kami untuk keluar. Seorang wanita muda menghampiri kami dan menunjukkan kami meja di sisi jendela. Suamiku bercakap-cakap akrab dengannya. Aku hanya tersenyum melihat mereka bercakap. Setelah selesai memesan minuman, wanita itu pergi. Aku dan suamiku menuju ruang lain, ternyata semua makanan ada di sana, self service, berbagai sayuran ada di sana, kering, tanpa kuah. Aku mengikuti saja suamiku, sebab aku tidak tahu bagaimana makan makanan-makanan itu. Piringnya besar, sehingga suamiku memasukan apapun yang dia inginkan. Aku juga, karena aku ingin mencoba semua sayuran itu, aku ambil satu atau dua potong tapi rata. Kemudian kami bergeser dan saatnya memesan daging. Macam macam daging ada di sana. Daging panggang besar-besar. Bagaimana mereka bisa memasak hewan-hewan itu secara utuh begitu? Seperti pembunuhan saja pikirku. Suamiku minta kalkun panggang, aku kebingungan, aku minta saja daging sapi panggang, karena merasa heran dengan daging kalkun. Di Solo kami tidak memasak kalkun, bahkan kami menjadikannya tontonan, di sini mereka memanggangnya dan memakan dagingnya, seperti ayam raksasa, dan aku ngeri melihatnya. Daging dalamnya putih bersin, daging luarnya kecoklatan terbakar, tapi tidak ada kulitnya, atau kepalanya, atau cekernya, yang nagkring di sana. Koki yang ada di belakang meja memotong-motong daging sapi untukku, banyak. Kami saling tersenyum.

Lalu kami menuju ruang yang lain, berbagai saos ada di sana dengan wadah seperti gentong kecil yang disusun rapi di atas meja dengan sendok di masing-masing wadahnya. Suamiku mengambil saos berwarna coklat dan menerangkan padaku saos-saos itu untuk daging apa, tapi aku ikuti saja mengambil saos seperti saosnya. Dia menambahkan saos yang lain dan akupun ikuti dia. Lalu kami kembali ke meja kami di dekat jendela. Kami makan. Suamiku makan lahap sekali. Aku memakan makananku sedikit canggung, tapi aku suka, karena banyak sayuran ada di sana dan dagingnya pun tidak susah untuk dipotong, ditusuk garpu, dan dimasukkan ke dalam mulutku. Sayur-sayuran yang dipotong besar-besar menurut ukuranku itu pun sangat menggiurkan. Aku mencoletkannya ke saus yang aku ratakan di atas sayur dan dagingku tadi. Enak, dan wow, olala, pedas sekali. Aku kelabakan, untunglah wanita yang tadi menemui kami datang membawa teh padas dalam teko pesanan kami. Aku menuangkannya dan memberinya gula, lalu mengaduknya. Uap teh masih menyebar leluasa, pasti panas sekali, jadi aku membiarkannya sebentar dan memakan sayur yang lain tanpa aku colet ke saus yang membakar lidahku.

"Kamu kepedasan?" tanya suamiku

"Iya, pedas sekali,' jawabku sambil membuka mulutku

"Itu namaya English mustard," kata suamiku.

Aku makan sambil melihat keluar. Tidak begitu terlihat. Kadang aku menatap suamiku yang makan seperti orang kelaparan. Aku menikmati makan malamku, meski secara tradisi, ini bukan makananku. Tidak ada nasi di sana. Tapi dengan daging yang diberikan padaku dan beberapa potong sayur, cukup membuatku kenyang.

"Enak tidak?" tanya suamiku ketika dia menyudahi makannya.

"Iya, enak, hanya asing saja untukku, karena ini bukan makan untuku," jawabku sambil tersenyum.

"Kamu mencari nasi ya?" tanyanya lagi, "nanti kita akan memakan nasi untuk makan malam kita, tapi tidak setiap hari, OK?"

"OK," jawabku mengiyakan.

"Pria yang ada di sana suka padamu," kata suamiku sambil mengarahkan pandangannya ke koki yang memotongkan daging untukku.

"Apa?" tanyaku bengong tak mengerti.

"Iya, dia suka padamu."

"Bagaimana bisa kamu mengatakan itu?" tanyaku pada suamiku.

"Iya, memang dia suka padamu, kamu diberinya potongan daging yang banyak."

Aku tertawa mendengar jawabannya, meski jawabannya itu tidak masuk di akalku. Mana bisa hanya karena daging, ah mungkin iya juga, tapi aku tidak perduli.

Lalu suamiku berkata, "kamu suka dengan pria yang ada di resepsionis tadi ya?"

"Apa?" kembali aku terbengong mendengar pertanyaannya, "bagaimana bisa kamu mengatakan itu?"

"Aku melihatmu," jawabnya.

"Oh, ayolah, kamu ini ngomong apa sih?" tanyaku padanya dengan serius, tapi aku tetap tersenyum.

Dia menatapku masih dengan senyumnya, hanya aku melihat matanya tidak main-main, matanya menyelidik padaku.

"Ayolah, dia masih muda dan aku tidak mengenalnya, aku datang ke sini karenamu dan untukmu," kataku meyakinkannya.

"Kita lihat nanti," katanya menggantung, membuat aku tidak mengerti.

Kami masih bercakap-cakap beberapa saat di sana. Dia juga sempat menanyaiku, apakah aku mau es krim atau puding. Aku menjawab bahwa aku kenyang. Sambil terus bercakap, mataku berkeliling ruangan itu. Berbagai usia ada di sana. Ada yang keluarga. Ada yang sudah tua berduaan atau berempat. Ada muda-mudi beramai-ramai, dan mereka yang paling berisik, meski keberisikan mereka tidak seperti hebohnya anak-anak muda Indonesia ketika berkumpul. Paling tidak, gojekan mereka tidak sampai mengganggu pengunjung yang lain, bahkan diantara kami ada yang ikut tertawa, akrab sekali. Mungkin karena mereka di satu daerah, jadi watak mereka sama. Aku juga menatap mereka dan ikut tersenyum, tapi suamiku hanya menatap mereka tanpa senyuman.

"Kita pulang ya?" tanyanya padaku, "kamu pasti capek."

"Baiklah."

Dia meminta tagihan kepada wanita yang membersihkan meja di belakangku. Dan wanita itu meninggalkan kami. Ada wanita lain yang datang membawa tagihan kami di dalam nampan kecil berwarna hitam dan suamiku memberikan American Express-nya. Sebentar kemudian wanita itu mengembalikan nampan kecil yang berisi kartu kredit suamiku dan kertas tagihannya. Suamiku mengamati kertas tagihan itu, lalu berdiri dan merogoh saku celananya. Dia meninggalkan uang koin di nampan itu dan mengajakku beranjak.

Saat mendekati pintu keluar, dia berhenti sebentar menyapa resepsionis, tapi aku menjauhi mereka. Aku tidak ingin suamiku mengatakan sesuatu lagi padaku. Aku hanya berdiri di dekat jendela dan menatap keluar. Dia menyapaku sambil memegang pundakku,

"Sabila, ayo kita pulang."

Dia membukakan pintu untukku dua kali dan berjalan di sampingku sambil memegang punggungku. Gelap dan dingin menurutku, untuk rumah makan sebesar itu. Aku menunggu suamiku membukakan pintu mobil untukku, lalu aku segera melangkah masuk, karena memang sangat dingin, sementara aku hanya mengenakan jaket dari Indonesia. Aku duduk dan menunggu suamiku memasuki mobil. Aku mendekap dadaku kedinginan. Suamiku masuk dan menyalakan mobil.

"Kamu kedinginan?" tanyanya, "ini sudah nyala pemanasnya, sebentar lagi kamu akan hangat," katanya kepadaku.

Aku menatap ada derajat yang nampak di dashbord mobil, 5 derajat celcius. Gila, pikirku. Belum pernah aku pada suhu sekecil ini. Pantas saja aku kedinginan, biarpun perutku sudah kenyang. Suamiku mulai menjalankan mobilnya.

"Kita pulang sekarang," katanya ketika keluar dari halaman rumah makan itu.

Day 6 of 30

Ketika kami menyusuri jalan menuju rumah, suasana sudah malam, semua makhluk tertidur lelap, beristirahat, setelah seharian tadi mereka beraktifitas. Mungkin hanya makhluk-makhluk malam yang masih tetap terjaga dan berjaga, orang-orang pada shift malam, dan orang-orang dalam perjalanan seperti kami malam ini. Suara burung hantu jelas sekali terdengar. Sesekali kulihat ada anjing berkeliaran. Tubuhnya ramping dan moncongnya panjang. Aku maklum, sebab ini Inggris, pastilah banyak anjing di sini, beda dengan di Indonesia. Jadi aku tidak berkomentar, hanya sedikit merasa takut jika nanti aku harus berjalan-jalan sendiri. Saat kami memasuki Seaford, jalanan lebih terang dari sebelumnya dan aku baru menyadari bahwa itu seekor serigala! Aku melihatnya. Aku benar-benar yakin kalau aku melihatnya. Tapi suamiku sama sekali tidak memperdulikannya. Hewan itu berjalan di jalan pedestrian dan nampak dengan jelas, tapi suamiku tidak bereaksi apapun. Dia terus saja menyetir dan diam. Kami memang sudah lebih banyak diam. Aku lelah, dan aku yakin suamiku pun demikian. Tapi seekor serigala melintas dan dia diam saja? Ah, tidak mungkin. Otakku langsung tertuju pada film Twilight. Ya, kisah cinta 'seekor serigala' ganteng dan seorang gadis cantik. Ah, inikah aku? Aku lirik suamiku. Dia tetap diam dan matanya menatap ke depan, sambil tangannya memegang kemudi.

Saat aku melihat seekor serigala keluar dan berjalan menuju trotoar, aku berteriak dan jariku menunjuknya penuh semangat, hingga badanku maju ke depan.

"Lihat, Dave, ada serigala!"

Aku menoleh sejenak, untuk memastikan bahwa suamiku merespon ucapan dan tindakanku. Dia menoleh ke sana dan tertawa terbahak-bahak. Aku kesal sekali. Aku heran. Aku bengong. Kemudian aku merasa takut. Sekali lagi aku menyusutkan badanku, duduk diam sambil tatapanku mengarah ke depan. Jantungku berdebar-debar. Inikah aku sekarang? Aku akan menjadi seorang tawanan. Aku tidak mau. Aku mau menikah dengan orang biasa. Aku mau menikah dengan lelaki gagah tapi bukan setengah hewan atau penjahat. Suasana ini sungguh mendukung, seperti film-film horor. Gelap. Sepi. Suara burung hantu. Suara ombak. Aku benar-benar akan tumbang.

Telapak tangannya menyentuh kepalaku kembali, mengusapnya hingga ke belakang kepala, sambil ia masih terus tertawa. Tapi kali ini aku diam saja tak bereaksi. Memang film Twiligh itu lelakinya baik, tapi dia setengah serigala. Harry Potter yang pernah kami tonton bersama, juga ada hawa-hawa horor untukku, suara-suara saat malam tiba, dan Harry Potter adalah film Inggris. Ya Tuhan, sejak kedatanganku ke Inggris ini, ada-ada saja yang mengaduk emosiku.

"Sabila, itu bukan serigala," ucapnya lembut seolah mengerti kesedihanku, "itu adalah fox, dan dia tidak berbahaya, bahkan dia takut pada manusia."

Aku tidak percaya, tapi aku menatapnya, untuk meyakinkanku bahwa dia tidak membohongiku, bahwa dia berkata sungguh-sungguh.

"Ayolah Sabila, mengapa kamu seperti ini, itu hanya fox," ucapnya meyakinkanku, "dia banyak berkeliaran di sini saat malam tiba, tapi jika populasi mereka sudah di ambang batas, pemerintah akan menembaki mereka agar tidak mengganggu manusia dan lingkungan di sini."

"Benarkah?" sahutku mulai tertarik dengan penjelasannya, dan mataku membesar tanda aku menyimak ucapannya.

"Ya," dia membalas sambil menatap mataku dan tersenyum.

Mata kami beradu. Tatapannya lembut dan melindungi sekali. Aku jadi sedikit lega dan merasa aman dengannya. Karena aku melihat matanya yang lembut diiringi senyuman, aku pun kemudian tersenyum. Dia mengoyak rambutku. Mungkin wajahku seperti anak kecil yang habis diberi permen atau es krim, makanya dia nampak gemas ketika mengoyak rambutku, kemudian dia meremas pahaku sebelum mengembalikan tangannya ke kemudi. Kali ini aku tertawa keras, dan dia pun tertawa.

"Sabila, kita nanti hidup di dunia nyata ya," katanya sambil menatap ke depan, "kamu jangan membayangkan seperti di film-film yang kamu tonton," ucapnya padaku.

"Kamu harus realistis, ini Inggris, berat hidup di sini, tidak seperti di film-film yang semua serba tersedia dan mudah untuk mendapatkannya," katanya datar tapi terdengar bersungguh-sungguh.

Aku terus mendengarkan suamiku berbicara, meski aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku berangggapan, suamiku berpikir bahwa aku perempuan materealis, mengukur semuanya dari uang. Ingin hidup bersenang-senang selama di negaranya dan menghambur-hamburkan uang seperti wanita-wanita di film-film itu. Tentu saja tidak. Aku menikahinya bukan karena dia bule, bukan karena dia tinggal di Inggris, bukan karena dia memiliki jabatan yang bagus jika diukur dengan kacamata Indonesia. Aku menikahinya karena aku mencintainya, karena dia mau menikahiku, karena hanya dia yang berani menikahiku, dan karena Tuhan mengirimkannya untukku.

"Aku tidak tahu bagaimana menjadi istri, karena aku belum pernah menikah," kataku, "aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi kekasih, karena aku tidak pacaran, jadi kamu harus mengajariku semuanya," ucapku padanya sambil tersenyum menatapnya, tapi aku bersungguh-sungguh.

Dia menatapku, tersenyum tipis dan mengulurkan tangganya ke pangguanku dengan lembut. Dia letakkan tangannya di salah satu pahaku yang dekat sisinya. Sedikit agak lama dan dia tidak menyahut apapun.

"Janji ya, kamu harus mengajariku bagaimana menjadi istri yang baik, bagaimana cara bercinta, bagaimana aku harus menyayangmu, bagaimana aku harus berbuat untukmu agar kamu bahagia," kataku menerocos bahagia.

Dan dia hanya tersenyum dalam diam, sambil matanya terus menatap ke depan. Aku yakin hatinya berbunga-bunga. Aku yakin matanya berbinar-binar. Aku yakin raut mukanya lebih memerah dibanding pipi kirinya yang nampak olehku berwarna kemerahan. Aku sentuh punggung tangannya dengan lembut, aku letakkan telapak tanganku di atas tangannya. Tiba-tiba, dia berusaha menarik tangannya.

"Ayo lepaskan, ini berbahaya, Sabila," katanya sambil melayangkan tangannya kembali ke kemudi, "kita hampir sampai."

Aku menatap jajaran rumah-rumah yang berderet rapi. Kebanyakan darinya sudah mati lampu. Lingkungan ini sungguh rapi dan indah. Aku menyukai suasana di sini. Begitu hening. Mungkin karena sudah larut malam. Sebelah kiri jalan adalah rumah-rumah detached house dua lantai, sedangkan sebelah kanan jalan adalah rumah-rumah bungalow yang rapi dan indah. Jalannya juga lebar dan halus. Struktur tanah nampaknya naik turun seperti di Tawangmangu, meski tidak setajam di  Tawangmangu, tapi indah bergelombang. Nampak dari halaman-halaman depan mereka yang naik turun, rata-rata ditanami rumput dan bunga-bunga, hanya beberapa yang halamannya dikelilingi batu putih atau pasir putih dan bunga-bunga dalam pot, tidak berpagar. Indah. Suamiku membelokkan mobilnya, berjalan lebih pelan.

"Itu rumah kita," katanya

"Mana?" tanyaku menyahut cepat.

"Sebentar lagi kita akan masuk untuk parkir," ucapnya menjawabku.

Dia memutar kemudinya ke kiri, ke arahku. Memasuki halaman seluas satu parkiran mobil. Di depannya ada pintu garasi tertutup. Di kanan kiri adalah pagar batu bata. Garasi ini berdiri sendiri. Sebelum masuk ke sini tadi, aku melihat rumah bagus di sisi kiriku. Halamannya indah berumput dan penuh tanaman. Di sisi kanan halamannya penuh batu-batu putih, hanya ada 1 pot bunga yang diletakkan di bawah jendela. Halaman kedua rumah ini cukup tinggi, bahkan aku tidak bisa melihat dari dalam mobil saat mataku mencoba melongok keluar jendela.

"Kita sudah sampai, Love, ayo kita turun," ucapnya sesaat setelah ia selesai merapikan kemudi mobilnya dan mematikan mesin.

Aku mengikuti saja apa katanya.

Day 7 of 30

Hawa sangat dingin saat kami keluar dari dalam mobil. Berembun. Ini adalah bulan Maret 2009, awal musim semi di Inggris, tapi bagi tubuhku, ini lebih dari menyalakan dua AC dalam ruangan dengan temperatur 16 derajat celcius. Aku meletakkan ranselku di punggungku dan mendekap dadaku. Suamiku membawa tas kerjanya dan koper yang aku bawa dari Solo, kota kelahiranku dan tempat aku dibesarkan, hingga suamiku membawaku ke Inggris ini.

"Ayo, kita harus segera masuk, Love" katanya setelah menutupkan pintu bagasi mobil, "kamu nanti akan merasa lebih hangat jika di dalam rumah."

Aku mengikuti saja langkahnya. Ia membelok ke kiri dan menaiki tangga halaman yang bertabur kerikil putih dengan satu pot bunga di bawah jendela. Naik. Tujuh anak tangga lumayan memberikan pemanasan pada tubuhku. Di ujung tangga, aku melihat dua pot bunga yang lain, tersembunyi dari pandangan dari arah kami datang tadi, diletakkan di sudut, antara tembok garasi dan tembok tangga. Aku mengikutinya berjalan lebih ke tengah bangunan ini, menuju sebuah pintu tunggal berwarna hitam. Pintu rumah ini tidak menghadap ke jalan, tetapi menghadap ke rumah tetangga yang memiliki taman indah di depan rumahnya. Sebuah daun pintu kokoh berwarna hitam diapit jendela satu pintu di sisi kiri dan kanan, selebihnya adalah tembok yang memanjang ke sisi kiri dan kanan. Aku berdiri menghadapnya, di depanku ada pagar kayu yang tidak bercat berwarna kehijauan yang samar, seolah lapuk ditelan waktu, tapi pagar itu masih kokoh. Di samping kiriku atap garasi yang datar, seperti semen ditabur tanpa dihaluskan, berwarna agak kehijauan juga. Aku bisa melihatnya, karena kebetulan suasana di sini terang, disinari lampu jalanan yang disediakan oleh pemerintah atau developer perumahan ini. Aku bisa meletakkan kakiku di atap garasi itu jika aku mau, atau duduk di sana menunggunya membuka pintu, tapi aku tidak melakukannya. Pastilah dingin, pikirku. Dia meletakkan koporku ke lantai dan merogoh saku celananya. Bersama tangannya keluar dari saku celana ada dua buah kunci besar dan kecil dengan gantungan persegi panjang berwarna putih berlapis kuning di tepinya. Dia memasukkan kunci yang besar, memutarnya dan mendorongnya masuk. Pintu terbuka, ada hawa hangat menyembur dari dalam rumah. Aku melongok ke dalam. Ada anak tangga di sa,ping kiri pintu ini, tepat dedepan jendela sebelah kiri.

"Ayo masuk, Love," ucapnya sambil mendahului aku memasuki rumah. Dia berjongkok dan memunguti kertas-kertas, surat-surat, dan surat kabar yang bertebaran di lantai, di atas keset persegi berwarna hijau berukuran semeter yang diletakkannya di depan pintu.

"Banyak sekali suratmu," kataku sambil melangkahkan kaki melintasi pintu, menginjakkan kakiku di karpet hijau.

Aku berpikir mungkin karena ia orang penting di kantornya, hingga ia menerima surat sebanyak itu hanya dalam waktu satu minggu.

"Iya, surat-surat ini datang selama seminggu ini," jawabnya datar.

"Hanya seminggu dan sebanyak itu suratnya?" tanyaku keheranan, merasa canggung karena sudah tidak pernah lagi menerima surat semenjak ada handphone.

"Yep," jawabnya singkat sambil menutup pintu.

Ada empat pintu yang aku lihat di ruangan ini, mengelilingi kami. Satu pintu kecil di bawah tangga, pastilah ini ruang penyimpanan atau gudang bawah tangga. Satu pintu dekat jendela di depan tangga, satu pintu di samping kananku, tapi jendela yang tadi tampak dari luar, sekarang tidak tampak, berganti tembok dan pintu di ujungnya, kemudian ada space agak menjorok ke dalam. Satu pintu lagi tepat di depan pintu masuk yang kami lalui tadi. Dan suamiku mengarahkanku masuk ke ruang itu. Aku mengikuti saja. Aku menoleh pada space kosong yang tadi kulihat, ada kursi kecil anak TK terbuat dari kayu kokoh yang sudah sedikit usang dan sebuah pintu lagi di sana, sepertinya ruangan dapur. Di atas kursi itu duduk pesawat telepon dan kotak kecil berwarna putih yang lampunya berkedip-kedip, banyak kabel di sana. Ruangan sekecil ini dikelilingi lima pintu, aneh. Aku masuk ke pintu di depan pintu masuk, suamiku telah mendahuluiku. Ternyata ruang makan. Bertengger meja makan oval dengan enam kursi di tengah ruangan. Ada pot bunga di atas bangku tinggi yang diletakkan di sudut ruangan menghadap pintu. Di sampingnya jendela lebar berkorden hijau dengan beberapa piala dan souvenir bertengger di sana. Di samping kiri tembok berhiaskan lukisan pemandangan yang hampir memenuhi tembok, ada empat lagi lukisan kecil-kecil diletakkan di atas lukisan pemandangan itu.  Ada lukisan wanita berkemben sedada sedang duduk, ada lukisan tinta berwarna hitam, ada lukisan buah dan sayur, dan satu lagi lukisan sebuah kota tua. Di samping pintu masuk ada almari bufet hampir setinggi atap dan selebar ruangan.

Suamiku melatakkan tas kerjanya di kursi menghadap jendela, dan meletakkan koporku di depan bangku pot bunga, lalu menoleh padaku.

"Kamu mau membawa ranselmu ke atas atau meletakkannya di sini, Love?"

"Di atas ada apa?" tanyaku.

"Ke kamar kita," jawabnya sambil terus menatapku.

"Ah, iya, ke kamar saja," jawabku cepat, "apa tidak lebih baik koporku juga dibawa ke atas?"

"Besok saja, ini sudah malam, kita harus tidur," jawabnya cepat.

"Baiklah," kataku mengiyakannya.

"Ayo," katanya memberiku komando.

Dia menanggalkan jas hitamnya dan membawanya keluar ruang makan, aku mengikutinya. Dia medekati pintu dapur yang agak menjorok ke dalam tadi dan mengambil sebuah hanger yang bertengger di sana. Dia rapikan jasnya dan meletakkannya di hanger susun yang terkait di pintu dapur itu. Aku tidak melongok ke dapur, aku hanya menungguinya di depan pintu ruang tamu. Dia menuntunku menuju tangga, mempersilahkan aku mendahuluinya menaiki tangga. Di ujung tangga ada pintu, aku menoleh ke kiri dan ke kanan, banyak sekali pintu di sini. Ada dua pintu di sisi kiri aku berdiri, satu pintu di depanku, satu pintu di samping kananku dan dua pintu di belakangku. Ini rumah apa, pikirku tak mengerti. Mengapa banyak sekali pintu di rumah ini. Dan yang tersisa hanya jalan menuju pintu-pintu itu dengan pagar kayu di depannya. Semua pintu terbuka, kecuali pintu di depanku. Aku tak tahu harus menuju ke mana. Suamiku sudah memegang punggungku dengan satu tangan dan pundakku dengan tangan yang lain. Dia menuntunku menuju pintu di sisi kanan, tepat arah jalan membelok ke kanan. Aku dirangkulnya menuju pintu itu. Dia menyalakan lampu, berjalan masuk mendahuluiku, dan menutup gorden di jendela besar di depan pintu kami masuk kamar ini. Ada pintu lagi, saat aku menoleh ke kiri. Di depannya almari berpintu kaca yang besar. Di samping almari yang menyentuh langit-langit kamar itu, berdiri almari kayu setinggi leherku dan di atasnya bertengger televisi. Di sampingnya ruang kosong dengan tempat sampah di bawah. Di depan almari kaca ada tempat tidur berukuran double dengan dua bantal di sana, tidak ada guling. Tempat tidur ini diapit oleh meja nakas berwarna hijau agak keabuan di sisi kiri dan kanan. Nakas di dekat pintu masuk lebih besar. Di atas nakas-nakas itu bertengger lampu dan jam di sisi dekat jendela, radio di sisi dekat pintu.

Suamiku menyuruhku meletakkan ransel dan mengajakku membersihkan diri. Aku mengikutinya memasuki pintu di samping alamari. Shower room. Shower di ujung sana, dengan gorden plastik berwarna hijau bunga-bunga yang tertutup. Sementara toilet dan wastafel berjajar di depan pintu. Ada jendela di atas wastafel dan toilet. Jendela dengan dua pintu. Ada meja marmer berwarna coklat muda di samping wastafel, di belakang toilet, memanjang hingga ke samping pintu, ditutup dengan pintu-pintu penyimpanan di bawah marmer coklat itu. Bersih. Rapi. Memang tidak tercium bau harum, tapi toilet ini pun tidak berbau. Dia menyuruhku mencuci muka di wastafel, sementara dia buang air di toilet di sampingku. Aku mencuci muka dengan sabun yang sudah tersedia di sana. Ketika dia sudah selesai dengan hajatnya, dia mencuci tangan di wastafel yang sama denganku menggunakan sabun cair berwarna kuning yang bertengger di sisi kiri wastafel, di atas meja marmer. Lalu dia mengambil sikat gigi untukku, dari alamri kecil di dekat pintu. Kami menggosok gigi bersama. Dia mencuci muka saat aku duduk di toilet untuk buang air kecil. Aku mencuci tangan dengan sabun dan dia mengeringkan muka serta tangannya dengan handuk yang terlipat rapi di gantungan dinding di depan jendela. Dia memberikan handuk itu padaku saat aku sudah selesai mencuci tangan, lalu dia mengeringkan wastafel dengan handuk yang lain. Kami mengembalikan handuk-handuk itu pada gantungan handuk di dinding kamar mandi, lalu melangkah keluar. Di samping tempat tidur, di depan almari kaca yang besar, dia menaggalkan kaos kakinya, lalu kemejanya. Aku menatapnya. Dadanya putih dan lapang. Ada rambut-rambut halus di sana. Dia menatapku sambil tersenyum dan tangannya terus melucuti pakaiannya. Aku tersenyum menatapnya.

"Ayo, tanggalkan pakaianmu, Love," katanya padaku sambil mendekatiku.

"Tidak, nanti aku akan kedinginan," sahutku yakin akan hawa di negara ini.

Dia menyentuh kemejaku sambil berkata,

"Kamu tidak akan tidur dengan semua pakaian ini di tubuhmu."

Aku diam saja saat ia mulai melucuti pakaianku. Satu demi satu pakaianku tanggal. Ia memelukku erat, meraih daguku dan menciumi bibirku. Dia mengangkatku dan meletakkanku di atas tempat tidur. Dia menatapku. Aku pun menatapnya. Dia melepaskan kaos kakiku, mengelus kakiku hingga ke atas. Aku diam saja sambil terus menatapnya dengan senyuman, hingga keesokan harinya aku terbangun dalam pelukannya di bawah selimut tebal yang hangat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun