"Bagaimana bisa kamu mengatakan itu?" tanyaku pada suamiku.
"Iya, memang dia suka padamu, kamu diberinya potongan daging yang banyak."
Aku tertawa mendengar jawabannya, meski jawabannya itu tidak masuk di akalku. Mana bisa hanya karena daging, ah mungkin iya juga, tapi aku tidak perduli.
Lalu suamiku berkata, "kamu suka dengan pria yang ada di resepsionis tadi ya?"
"Apa?" kembali aku terbengong mendengar pertanyaannya, "bagaimana bisa kamu mengatakan itu?"
"Aku melihatmu," jawabnya.
"Oh, ayolah, kamu ini ngomong apa sih?" tanyaku padanya dengan serius, tapi aku tetap tersenyum.
Dia menatapku masih dengan senyumnya, hanya aku melihat matanya tidak main-main, matanya menyelidik padaku.
"Ayolah, dia masih muda dan aku tidak mengenalnya, aku datang ke sini karenamu dan untukmu," kataku meyakinkannya.
"Kita lihat nanti," katanya menggantung, membuat aku tidak mengerti.
Kami masih bercakap-cakap beberapa saat di sana. Dia juga sempat menanyaiku, apakah aku mau es krim atau puding. Aku menjawab bahwa aku kenyang. Sambil terus bercakap, mataku berkeliling ruangan itu. Berbagai usia ada di sana. Ada yang keluarga. Ada yang sudah tua berduaan atau berempat. Ada muda-mudi beramai-ramai, dan mereka yang paling berisik, meski keberisikan mereka tidak seperti hebohnya anak-anak muda Indonesia ketika berkumpul. Paling tidak, gojekan mereka tidak sampai mengganggu pengunjung yang lain, bahkan diantara kami ada yang ikut tertawa, akrab sekali. Mungkin karena mereka di satu daerah, jadi watak mereka sama. Aku juga menatap mereka dan ikut tersenyum, tapi suamiku hanya menatap mereka tanpa senyuman.