Mohon tunggu...
Noer Fadlilah Wening
Noer Fadlilah Wening Mohon Tunggu... Wiraswasta - https://ninin-dahlan-marchant.blogspot.com/

An ordinary wife who try to learn everything as much as possible.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

On The Bank of Kingston Upon Thames

18 Juni 2017   00:26 Diperbarui: 18 Juni 2017   01:17 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu cantik", ucapnya singkat. Matanya menelusuri mataku.

Day 4 of 30

"Aku tidak menyiapkan apapun di rumah untuk makan malam kita hari ini, kita mampir untuk makan malam dulu ya?" ucapnya sambil memalingkan perhatiannya ke depan.

"Baiklah," kataku, "aku juga belum makan ketika menunggumu di bandara tadi, aku hanya memesan secangkir coklat panas, karena kupikir engkau akan segera datang", kuakhiri ucapanku sampai di situ, tidak ingin kulanjutkan, karena aku tahu kalau aku akan menerocos manja sambil mengeluh 'lebay' akan apa yang aku rasakan sesorean tadi menunggunya di bandara. Tidak, aku tidak akan melakukan itu. Aku sekarang adalah seorang istri, berarti aku tidak boleh lagi bersikap kekanak-kanakan. Meski, kadangkala nanti aku akan bermanja-manja padanya. Meski, kadangkala nanti aku harus memanjakannya. Tapi, bukan kali ini, bukan seperti ini, bukan karena ini. Childish sekali. Biarkan kisah itu aku sudahi sampai di sini. Kisah itu sudah selesai. Kisah itu adalah kisah bandara. Dan kini, akan kumulai kisah baru. Aku sudah bersama lelaki yang aku cintai, yang akan menjagaku dan memanjakanku, melakukan tugas-tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang lelakiku, seorang suamiku. Inilah kisah 'negeri di awan'-ku. Aku tersenyum. Hatiku berbunga-bunga dan melayang-layang di angkasa.

"Kamu baik-baik saja?" ucapnya mengagetkanku.

"Ah, ya, tentu saja," jawabku tegas, "tentu aku sangat bahagia, mengapa engkau mengatakan itu?" tanyaku padanya.

"Aku melihatmu selalu tersenyum, apa yang kamu pikirkan?" tanyanya kepadaku sambil matanya terus menatap ke depan.

Jalanan sepi, tidak ada lampu penerangan di pinggir jalan. Jalan ini seperti jalan menuju desa kalau di Indonesia, hanya lebih lebar dan tidak ada lubang di sana-sini, halus. Pohon-pohon menjulang tinggi di kiri-kanan jalan yang kami lalui. Sesekali ada rumah. Rumah-rumah di sini lebih besar dan lebih luas halamannya. Lampunya masih ada yang menyala, meski hanya satu dua ruangan saja. Meski gelap, aku bisa melihat rumah-rumah itu dari bantuan sinar rembulan. Bagus-bagus, seperti rumah-rumah orang kaya di film-film Barat yang aku lihat. Tapi horor. Gelap. Jarak rumah jauh-jauh. Rindang pepohonan. Ini seperti melewati jalan di dalam hutan. Tak ada satu lampu mobil pun yang nampak di depan atau di belakang kendaraan kami. Benar-benar horor. Aku sedikit menyusutkan badanku. Film-film Barat tentang kejahatan atau detektif bersliweran di kepalaku. Luas lingkungan ini, sepinya, suasananya, mirip sekali. Korban-korban pembunuhan itu, selalu dibawa jauh ke tempat-tempat seperti ini, baik dalam keadaan sadar, maupun dalam keadaan disandera, atau dalam keadaan pingsan. Seperti inikah tempatnya, tanyaku pada diriku sendiri di dalam hati. Pantas saja tidak ketahuan, pantas saja tidak ada orang yang tahu, pantas saja tidak ada pertolongan meskipun korban bisa berteriak minta tolong. Sejak memasuki jalan ini beberapa saat yang lalu, aku sempat berpikir bahwa suasana ini mirip dengan suasana menuju puncak Tawangmangu, hanya bedanya di Tawangmangu masih banyak rumah dan ada penerangan lampu, meskipun itu hanya lampu dari masyarakat sekitar, bukan dari pemerintah, tapi tidak sehoror ini. Sepinya sama. Banyak pohonnya sama. Jalannya juga berkelok-kelok, hanya tidak menanjak seperti di Tawangmangu. Tempat ini pasti indah ketika siang datang.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, mengulang pertanyaan yang sama, yang tadi ditanyakannya kepadaku dan belum sempat aku jawab.

"Ah, ya, aku baik-baik saja."

"Kamu yakin?", kali ini dia menoleh padaku dan matanya tajam menatapku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun