Dia memutar kemudinya ke kiri, ke arahku. Memasuki halaman seluas satu parkiran mobil. Di depannya ada pintu garasi tertutup. Di kanan kiri adalah pagar batu bata. Garasi ini berdiri sendiri. Sebelum masuk ke sini tadi, aku melihat rumah bagus di sisi kiriku. Halamannya indah berumput dan penuh tanaman. Di sisi kanan halamannya penuh batu-batu putih, hanya ada 1 pot bunga yang diletakkan di bawah jendela. Halaman kedua rumah ini cukup tinggi, bahkan aku tidak bisa melihat dari dalam mobil saat mataku mencoba melongok keluar jendela.
"Kita sudah sampai, Love, ayo kita turun," ucapnya sesaat setelah ia selesai merapikan kemudi mobilnya dan mematikan mesin.
Aku mengikuti saja apa katanya.
Day 7 of 30
Hawa sangat dingin saat kami keluar dari dalam mobil. Berembun. Ini adalah bulan Maret 2009, awal musim semi di Inggris, tapi bagi tubuhku, ini lebih dari menyalakan dua AC dalam ruangan dengan temperatur 16 derajat celcius. Aku meletakkan ranselku di punggungku dan mendekap dadaku. Suamiku membawa tas kerjanya dan koper yang aku bawa dari Solo, kota kelahiranku dan tempat aku dibesarkan, hingga suamiku membawaku ke Inggris ini.
"Ayo, kita harus segera masuk, Love" katanya setelah menutupkan pintu bagasi mobil, "kamu nanti akan merasa lebih hangat jika di dalam rumah."
Aku mengikuti saja langkahnya. Ia membelok ke kiri dan menaiki tangga halaman yang bertabur kerikil putih dengan satu pot bunga di bawah jendela. Naik. Tujuh anak tangga lumayan memberikan pemanasan pada tubuhku. Di ujung tangga, aku melihat dua pot bunga yang lain, tersembunyi dari pandangan dari arah kami datang tadi, diletakkan di sudut, antara tembok garasi dan tembok tangga. Aku mengikutinya berjalan lebih ke tengah bangunan ini, menuju sebuah pintu tunggal berwarna hitam. Pintu rumah ini tidak menghadap ke jalan, tetapi menghadap ke rumah tetangga yang memiliki taman indah di depan rumahnya. Sebuah daun pintu kokoh berwarna hitam diapit jendela satu pintu di sisi kiri dan kanan, selebihnya adalah tembok yang memanjang ke sisi kiri dan kanan. Aku berdiri menghadapnya, di depanku ada pagar kayu yang tidak bercat berwarna kehijauan yang samar, seolah lapuk ditelan waktu, tapi pagar itu masih kokoh. Di samping kiriku atap garasi yang datar, seperti semen ditabur tanpa dihaluskan, berwarna agak kehijauan juga. Aku bisa melihatnya, karena kebetulan suasana di sini terang, disinari lampu jalanan yang disediakan oleh pemerintah atau developer perumahan ini. Aku bisa meletakkan kakiku di atap garasi itu jika aku mau, atau duduk di sana menunggunya membuka pintu, tapi aku tidak melakukannya. Pastilah dingin, pikirku. Dia meletakkan koporku ke lantai dan merogoh saku celananya. Bersama tangannya keluar dari saku celana ada dua buah kunci besar dan kecil dengan gantungan persegi panjang berwarna putih berlapis kuning di tepinya. Dia memasukkan kunci yang besar, memutarnya dan mendorongnya masuk. Pintu terbuka, ada hawa hangat menyembur dari dalam rumah. Aku melongok ke dalam. Ada anak tangga di sa,ping kiri pintu ini, tepat dedepan jendela sebelah kiri.
"Ayo masuk, Love," ucapnya sambil mendahului aku memasuki rumah. Dia berjongkok dan memunguti kertas-kertas, surat-surat, dan surat kabar yang bertebaran di lantai, di atas keset persegi berwarna hijau berukuran semeter yang diletakkannya di depan pintu.
"Banyak sekali suratmu," kataku sambil melangkahkan kaki melintasi pintu, menginjakkan kakiku di karpet hijau.
Aku berpikir mungkin karena ia orang penting di kantornya, hingga ia menerima surat sebanyak itu hanya dalam waktu satu minggu.
"Iya, surat-surat ini datang selama seminggu ini," jawabnya datar.