Pot Kembang Telang
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Bulan Desember adalah bulan hujan. Tiada hari tanpa hujan. Mendung muram menghalangi matahari yang hendak menyinari bumi. Dingin dan kabut menjelmakan rasa malas untuk apa pun. Meskipun ada water hitter yang siap kapan pun dimanfaatkan, rasa malas beranjak dari kamar atau bahkan turun dari ranjang sangat menggoda. Selimut tebal melambai mengajak untuk tetap mengenakannya sekadar penghangat raga.
Kemarin ketika ada sedikit sinar dari celah dedaunan lebat kebun sebelah rumah, masih lumayan. Kemarin masih sempat kutengok pot per pot tanaman herbalku. Bahkan, ketika menyimak rimbun sulur kembang telang, ya Allah ... sekitar dua belas ekor bekicot bergerombol berhimpitan di tepian pot. Aneh sekali hewan ini. Menurutku tidak memiliki mata, tetapi mengapa bisa bergerombol hanya di satu tempat saja. Maka, dengan mengenakan sepasang sarung tangan berduri lembut, khas sebagai sarung pembersih, kuambil satu per satu hewan tersebut dan segera kulemparkan ke sungai di sebelah rumah. Aman ... pikirku. Hewan perusak selain belalang ini memang harus disingkirkan jauh-jauh dari pot bunga kesayangan.
Kembang telang berwarna biru ungu ini jika dikeringkan bisa dimanfaatkan sebagai teh herbal. Berbagai manfaat katanya. Akan tetapi, aku terbiasa membeli yang sudah dikeringkan di toko obat. Ada rosela dan kembang telang kering yang siap di rumah agar sewaktu-waktu ingin membuat, gampang saja. Tinggal seduh saja.Â
Hal itu kulakukan karena aku kurang suka jenis minuman lain. Sementara, jika hanya mengonsumsi air putih lidahku juga kurang suka. Karena itu, aku lebih menyukai jamu seperti beras kencur, kunyit asam, dan aneka teh herbal lain. Kalau di tepi jalan atau di mana pun kulihat ada pohon pucuk merah, tidak jarang aku juga mengambil barang segenggam dua genggam. Pupus daun pucuk merah pun bisa dimanfaatkan sebagai teh yang memiliki berbagai khasiat.
Daun pegagan pun tidak luput dari keusilanku. Jika sudah agak banyak daun pegagan pada dua pot yang kumiliki, selalu kuambil sebagai lalapan. Konon, khasiat daun ini sebagai penambah stamina. Cukup diambil, dicuci bersih, dan langsung dimakan. Ilmu ini kuperoleh dari pembimbing tesisku beberapa saat silam. Seorang ibu sepuh yang masih sehat dan eksis, dengan pengetahuan luas tentang tanaman obat.
*** Â
"Mas, aku dapat undangan ikut pelatihan dua hari di Batu lusa ini," kataku kepada Mas Dika sepulang dari kantor.
"Menginap di mana?" selidiknya.
"Belum jelas. Jika tidak terlalu capek, mending aku pulang saja."
"Jangan. Nanti kurang istirahat. Ikut menginap sajalah di sana. 'Kan sudah ada fasilitas, to?"
"Iya sih ...," lirihku.
Packing segera kulakukan agar tidak ada barang ketinggalan. Harus kupersiapkan jauh hari mengingat kesibukanku di kantor. Jika tidak segera ditata, alamat bisa terlupa.
Pada hari H, aku langsung berangkat berkendara sendiri karena ada seorang teman wanita yang ikut nebeng. Tidak jauh juga jarak dari rumah. Sekitar dua puluh kilometer saja. Hanya, Â karena kota tersebut kota wisata, kondisi week end selalu padat merayap. Pilihan jalan alternatif sangat diperlukan apalagi teman tersebut hafal dengan jalanan tikus mengalahkan GPS canggih. Karena itu, aku sangat nyaman berkendara dengannya.
Teman wanitaku ini juga merupakan teman sejak sekolah lanjutan atas sehingga kami berdua layaknya saudara. Tidak ada rahasia di antara kami dan  sepakat rahasia kami tersebut tidak akan tersebar ke mana pun. Kami bukan tipe wanita bocor mulut.
Anehnya, kami berdua memiliki masalah keluarga hampir sama. Bonita, belum dikaruniai momongan karena beberapa saat lalu angkat rahim. Ada kista yang mengharuskannya mengikuti saran dokter untuk operasi angkat kandungan. Mas Ageng, suaminya, tidak berkeberatan asal nyawa istri tersayang tertolong. Lebih baik mengadopsi anak dari panti, daripada kehilangan belahan jiwa katanya.
Aku pun sama. Setelah tiga tahun menikah, belum ada tanda-tanda hadirnya buah hati. Ya, sudahlah. Segala daya upaya sudah kami lakukan, tetapi Tuhan belum mempercayakan titipan-Nya kepada kami.
*** Â
Setelah sesi materi disampaikan narasumber, kami diizinkan bertanya jawab. Namun, otakku sudah jenuh. Aku ingin segera merebahkan diri di pembaringan saja mengingat sejak pagi sudah full time bekerja nonstop. Kucolek Bonita dan kubisikkan bahwa aku hendak ke toilet. Aku berjanji tidak akan mengunci pintu penginapan dari dalam.
Udara dingin kota wisata ini cocok sekali untuk segera mengantarku ke alam mimpi. Akhirnya tidak kutahu pukul berapa Bonita menyusulku ke kamar penginapan. Yang kutahu, sekitar tengah malam aku terbangun. Ketika hendak kuselesaikan tugas membuat cerita pendek, ternyata aku lupa tidak membawa HD eksternal, tempatku menyimpan data.
Terpaksalah aku mengerjakan ulang, cerpen kesekian untuk kumpulan cerpen buku solo bertema wanita yang siap kukirim ke penerbit akhir bulan ini. Tiba-tiba terlintaslah ide khayalku tentang penderitaan seorang wanita yang belum dikaruniai momongan.
"Akan kutuliskan deritaku di sini," tekadku.
Cibiran tetangga dan sanak saudara terutama mertua sangat terasa menusuk meskipun tidak terang-terangan dikemukakan kepada kami berdua. Sindiran halus yang ironis selalu datang kapan pun justru ketika aku tidak siap menghadapinya.
Tudingan mandul secara implisit pun selalu terarah kepadaku, sementara suami tidak kunjung bersedia ketika kuminta mengantar ke dokter spesialis kandungan. Dalihnya takut kecewa seandainya dari pihak lelaki sumber petaka mandul itu.
"Sudahlah, Dik. Aku pun akan berupaya membuktikan bahwa aku tidak mandul seperti kata mereka. Kamu yang sabar, ya!" katanya cukup menentramkan sesaat.
"Bagimana cara Mas membuktikannya? Mas akan mencoba dengan perempuan lain?" selidikku kepadanya.
"Ah, ... kamu jangan sembarangan berbicara. Tentu saja aku akan berobat semampuku! Sabar dan tenang sajalah!" hiburnya.
*** Â
Tiba-tiba saja aku ingin pulang. Entah magnet apa yang menggerakkanku untuk pulang, padahal bisa dikatakan masih terlalu pagi. Aku  segera bergegas mengambil jaket, kunci kendaraan, dan menulis kertas kecil memo untuk Bonita bahwa aku harus pulang sebentar. Besok sekitar pukul 08.00 ketika acara dimulai, aku pastikan sudah berada di tempat.
Jalanan begitu sepi sehingga satu jam kemudian aku sudah sampai di rumah. Perumahan semi elite ini memang dijaga satpam lengkap sehingga aku harus melapor terlebih dulu ketika berada di gerbang masuk.
Memasuki area rumah tanpa pagar, merupakan hal mudah bagiku. Belum ada gerbang yang menghalangi karena kami masih mengumpulkan dana untuk itu. Kuparkir  kendaraan diam-diam dan kukunci manual saja agar tidak menimbulkan suara. Untunglah aku membawa kunci cadangan untuk memasuki rumah sehingga dengan mudah aku sudah sampai di depan kamar pribadi kami.
Pintu tidak terkunci. Kupegang handle pintu dan kuputar perlahan agar tidak menimbulkan derit atau suara sekecil apa pun.
Jantungku terasa hendak copot, tatkala kulihat Mas Dika sedang bergumul mencumbui seseorang yang belum kulihat siapa di ranjang pribadi kami. Kedua insan tanpa mengenakan selembar kain pun itu sedang menikmati surga dunia di depan mataku. Mereka tidak menyadari kehadiranku yang tegak kaku mematung di luar kamar menikmati sajian pergulatan mereka.
Lututku bergemetaran, lidahku kelu, air netraku membanjir deras. Bagaikan robot kehilangan daya hingga beberapa lama. Napas terengah-engah dan dada pun rasa terinjak truk tronton bermuatan bulldozer.
"Ya, Allah ... inikah upaya Mas Dika untuk menunjukkan bahwa dia tidak mandul? Siapakah wanita itu? Apa maksud Mas Dika dengan ini semua?" senandikaku memenuhi ruang dada dan otakku. Namun, tetap kakiku tidak bisa kuajak berkompromi.
Setelah berulang-ulang kuucap doa agar diberi-Nya aku kekuatan dan ketahabahan, pelan-pelan kutinggalkan kamarku. Kututup perlahan pintu tanpa bersuara. Aku beristirahat sejenak di kamar sebelah sambil mengumpulkan kekuatan untuk kembali ke tempat pelatihan.
Aku akan tetap bungkam sampai Mas Dika membuka rahasia pribadinya. Aku akan tetap berpura-pura tidak tahu sebab aku memang belum mengetahui rencananya. Mungkin dia hanya mengincar seorang bayi dan kemudian tetap bertahan denganku. Siapa tahu, kan? Namun, rasanya aku tidak sudi berbagi suami. Sekarang saja aku merasa jijik dan muak. Musnah sudah sejuta rasa cintaku padanya setelah menyaksikan peristiwa pengkhianatan itu!
Aku harus bersiap-siap memberitahukan seorang teman pengacara untuk mengatasnamakan asset rumah dan kendaraan sebagai hak milikku. Ini penting sebagai antisipasi agar aku tidak menjadi gelandangan seandainya kami berdua harus berpisah. Aku yang selama ini ikut banting tulang, tidak mau kecolongan seperti pada cerita di film-film. Aku harus cerdas dan cekatan, sekaligus ikhlas melepaskan Mas Dika yang telah kuketahui menikmati hari spesial bersama wanita lain.  Menurutku, wajar kalau aku menggugatnya karena Mas Dika  memang sudah tidak bisa menjaga komitmen kami.
*** Â
Sebelum pukul 06.00 WIB aku telah meluncur ke tempat pelatihan kembali. Pukul 05.00 kulihat kamar pribadi kami masih tertutup, belum ada tanda-tanda mereka terbangun sehingga aku leluasa untuk meninggalkan rumah tanpa diketahuinya.
Tidak ada jejak apa pun yang kutinggalkan sehingga aku yakin Mas Dika tidak menyadari kepulanganku. Baiklah, itu justru baik. Aku ingin mengetahui sandiwara apa yang dimainkan besok setelah aku pulang dari pelatihan.
Bahkan, basa-basi pagi itu kukirim pesan WhatsApp menanyakan kondisi dan mengabarkan bahwa aku akan tambah semalam untuk mengerjakan tugas kantor. Entah apa dan bagaimana jawabnya nanti. Kupikir, sekalian saja memberikan kesempatan kepada mereka untuk bersukacita di atas penderitaan batin ini. Biarlah dipuas-puaskannya, pikirku.
*** Â
Hari-hari berjalan seperti biasa. Jujur aku sudah tidak respek dengan Mas Dika. Aku justru banyak menghindari kesempatan berduaan dan tampaknya dia enjoy saja. Aku yakin, Mas Dika kini sudah sangat berubah.
Kalau biasanya aku mempersiapkan perlengkapannya seperti kemeja, celana panjang, sepatu, dan lain-lain, sejak pulang dari Batu secara perlahan aku mengundurkan diri dari tugas dan kewajiban itu. Awalnya dengan dalih sibuk saja, akhirnya kulihat dia bisa melakukannya sendiri tanpa bantuanku. Mungkin dia tidak menyadari mengapa aku berubah, tetapi aku tidak pernah membahasnya. Cukuplah aku yang mengetahui rahasia itu, selain tentu saja Tuhan.
Kini, Mas Dika tampak bisa lebih mandiri. Bahkan, kulihat sebelum berangkat disempatkannya menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuh. Hal yang tidak pernah dilakukannya sebelum ini. Ketika aku sengaja menghindar, dia juga tidak mempermasalahkan. Mungkin, karena di hatinya sudah ada orang lain yang mengisi. Sementara aku hanya menunggu waktu.
Menunggu waktu? Ya, kalau wanita itu memang hamil artinya waktunya aku pergi. Bagaimana kalau tidak? Ya, aku akan tetap menggugatnya. Sambil menunggu surat dari pengacara tentang harta yang kumiliki sebab memang rumah dan kendaraan tersebut kubeli atas namaku. Jadi, aku hanya ingin memastikan saja bahwa aku tidak membawa tangan kosong setelah perpisahanku dengannya.
*** Â
Suatu sore, aku sedang bersama Bonita menikmati kopi di sebuah kafe. Kuceritakan panjang lebar kepadanya permasalahanku. Bonita terhenyak.
"Lis ... jadi ... dua bulan ini kamu menyimpan sendiri deritamu ini?" netranya menyelidik permukaan wajahku.Â
Aku hanya mengangguk perlahan.
"Lalu ... apa rencanamu?"
"Entahlah ... apakah aku menunggu berita kehamilan wanita itu, bertahan menunggu, ataukah akan aku gugat sekarang. Jujur aku bingung, tetapi aku sudah tidak ada rasa apa pun. Aku jengkel, marah, sedih, malu, benci ... malas jadinya hendak berkomunikasi dengannya!"
"Ya, aku tahu ... lalu apa yang bisa kubantu, Lis?"
Aku hanya menggeleng keras, "Doakan saja semua berjalan sesuai kehendak-Nya!"
Tiga bulan berlalu, tidak ada berita bahwa Mas Dika memiliki seorang anak dari wanita yang diajaknya ke rumah. Namun, Mas Dika selalu tampak perlente ketika keluar dari rumah. Malam hari, entah pukul berapa dia pulang, aku sudah tidak menggubrisnya lagi. Aku tidur seperti biasa di kamar kami, tetapi sengaja tidak memberi celah untuk bisa berbaik-baik dengannya. Bahkan, lebih sering aku tertidur di kamar kerja daripada di kamar pribadi. Â
Aku tidak pernah menanyakan kepadanya perihal wanita itu. Justru aku berpura-pura tidak mengetahuinya. Mungkin terlalu lama peristiwa tragis itu kupendam, tetapi aku memang masih menunggu surat kepemilikan dari pengacara dan notarisku.
Bangkai yang dibungkus pun pasti akan ketahuan, itu prinsipku. Biarlah waktu yang membuktikan segalanya, jangan aku. Aku berniat akan tetap diam sejuta bahasa.
*** Â
"Bu Lisa ... minta tolong untuk mengantar Neti, siswa kelas sembilan ke rumah sakit secepatnya, sementara kami akan menghubungi keluarganya," kepala sekolah tergopoh-gopoh memintaku agak memaksa.
"Baiklah, Bu. Saya berangkat sekarang!"
Petugas PMR membawa Neti ke kendaraanku ditemani salah satu siswa perempuan teman dekatnya. Akan tetapi, aku meminta dua orang siswa perempuan sehingga kalau mereka kutinggal masih ada teman. Karena pikirku aku hanya nge-drop saja setelah itu kutinggal ke sekolah. Dua anak nanti akan kujemput kalau keluarga Neti sudah ke rumah sakit. Mereka berdua kuminta membawa HP agar bisa kami hubungi. Akhirnya, selain Neti si pasien, aku mengajak Sofia dan Inay besertaku.
Ketika tiba di rumah sakit, kami berpapasan dengan seorang gadis manis yang wajahnya sangat familier denganku. Akan tetapi, aku lupa siapa sehingga tidak menyapanya.
Berada tidak jauh denganku, gadis itu sedang menelepon seseorang. Rupanya sangat bahagia terbukti dengan senyum yang merekah ceria.
"Mas Dika ... Inung hamil!" teriaknya menyita perhatianku.
"Iya Mas ... jemput Inung, ya ... kita rayakan ... Inung pingin makan karena tadi belum sempat sarapan. Mual terus sih ... Mas. Mas Dika kutunggu di sini ya?"
Aku penasaran. Karena itu, aku sengaja tidak kembali ke kantor dulu, kutunggu sampai yang dipanggil Mas Dika itu datang. Jangan-jangan, dia suamiku! Aku mencari tempat paling aman sehingga tidak akan diketahui oleh pasangan tersebut.
Sekitar setengah jam kemudian, Mas Dika suamiku datang tergopoh-gopoh sambil menelepon seseorang. Ternyata ... wanita yang menyebut diri Inung tadilah tujuan Mas Dika. Dia sama sekali tidak melihatku karena perhatiannya tertuju kepada wanita itu.
Untuk yang kedua kalinya, aku bagaikan robot kehilangan tenaga. Melihat adegan mesra mereka bagaikan halilintar di siang bolong menyambar ragaku!
Diciumnya pucuk kepala wanita itu, dipeluk erat, dan dieluslah perutnya yang masih rata. Di depan banyak orang tentu saja!
"Ya, Allah ... kayaknya ... sudah saatnya aku menyelesaikan masalah ini!" senandikaku sambil menuju kendaraan.
Aku meluncur ke kantor, tetapi netra ini tidak bisa diajak berkompromi. Akhirnya, kualihkan tujuan. Aku pulang ke rumah dengan mengirimkan izin kepada atasan melalui Whats App.
Tidak butuh waktu lama, aku kirim pesan kepada Mas Dika memberitahukan bahwa aku sedang di rumah karena sakit perut. Mas Dika menyanggupi, sebentar lagi akan pulang.
Sesampai di rumah, aku duduk di pembaringan. Ketika suami datang, aku mengemukakan jujur cerita yang kuketahui dan kupendam selama ini. Kini saatnya, aku memintanya untuk meninggalkan aku dan membersamai wanita yang sudah hamil tersebut.
Awalnya, Mas Dika kaget dan hendak berkelit, tetapi aku tidak memberinya kesempatan sedikit pun. Intinya, secara halus kuminta Mas Dika meninggalkan aku. Aku tidak mengusir, tetapi semua kulakukan demi janin yang ada di dalam kandungan wanita itu.
Aku meminta lepas dari ikatan sah yang selama tiga tahun ini berjalan. Semua asset yang memang pembelianku, tidak kuizinkan dibawa. Sesuai perjanjian pranikah karena Mas Dika yang bersalah, dia tidak bisa tidak harus meninggalkanku begitu kasusnya terbongkar.
*** Â
Hampir setahun telah berlalu. Aku tidak pernah menghubungi Mas Dika lagi. Entah bagaimana kabarnya, aku tidak ambil pusing. Apalagi suara dari pihak mertua tentangku yang memvonisku mandul. Aku sudah terbebas dari beban itu. Biarlah, apa pun yang terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan saja. Aku ini hanya wayang. Bagaimanapun tergantung oleh kuasa dan otoritas sang dalang. Dengan demikian, aku merasa tenang, damai, dan sejahtera.
Tidak lagi kuhiraukan gunjingan orang tentangku, tentang kemandulanku. Sama halnya dengan Bonita yang tidak menggubris suara orang lain yang hanya bisa membombardir tanpa menghiraukan perasaan kami sebagai wanita yang tentu saja perasa.
Ada perasaan plong yang luar biasa. Menjadi janda bukanlah beban, dibandingkan dengan menjadi istri tetapi tersakiti!
*** Â
Aku sedang berhenti di tepi jalan. Kulihat di depan rumah seseorang, di luar pagar, ada rumpun kembang telang dengan banyak buah kering. Sudah dua kali aku meminta kepada seorang bapak sepuh yang muncul di pintu pagar beberapa saat lalu.
"Ambil saja, jangan segan. Kalau untuk membudidayakannya, itu justru aktivitas bagus!"
Karena itu, kali ini untuk yang kesekian aku mengambil benih dan akan kusemai di pot-pot kosong yang kumiliki. Pot itu bekas tanaman adenium yang rusak parah beberapa tahun silam. Daripada menganggur, aku semai benih kembang telang entah untuk apa nantinya.
Sepasang manik mata hazel memperhatikanku di balik pagar. Hidung mancung dan alis tebal menunjukkan bahwa pria itu bukan asli Indonesia. Setidaknya pasti ada darah campuran antara ... biasanya pemilik mata hazel ditemukan di Afrika, Timur Tengah, Brasil, dan orang-orang Spanyol. Wah, ... kaget juga. Pikiranku  pun ngelantur tidak terfokus.
Kudengar bunyi derit pagar dibuka, keluarlah si mata hazel mendekatiku.
"Hai ... sedang apa?"
"Oh, saya meminta benih kembang telang ini ... akan saya semai di pot-pot agar menjadi banyak!" jawabku dengan seulas senyum termanis.
"Oo, begitu ... apa ada manfaatnya?"
"Banyak sekali, di antaranya untuk diseduh seperti teh," jawabku masih sambil tersenyum. Entah berapa usia pria gagah ini, aku tidak bisa menaksirnya. Yang jelas dari ciri dan postur tubuhnya, dia bukan orang asli Indonesia. Â
*** Â
Erasmo Kylan Syamsir yang bermakna laki-laki prajurit kecil yang sangat mudah dicintai banyak orang ini ketika kubeberkan statusku berkilah sedemikian menenangkan dan menyenangkan. Beda tipis sekali ya ... antara menenangkan dan menyenangkan bagi seorang janda sepertiku. Â
Kakek Eras memang berdarah Spanyol, sementara sang nenek Jawa asli. Mereka bertemu ketika sama-sama dalam perjalanan menuju pulau dewata bertahun-tahun silam. Akhirnya, kakek Eras tidak kembali ke negaranya, tetapi menikah dengan sang nenek dan beranak pinak di Indonesia. Sayang, mereka hanya dianugerahi dua orang putra, termasuk ayah Eras. Bibi Eras ternyata memperoleh jodoh bule Australia dan pindah ke Darwin mengikuti suami. Sedangkan Eras yang memiliki seorang kakak ... ternyata menikah dengan putra tetangga yang sering kumintai kembang telang ini.
Eras belum menikah. Alasannya sedikit trauma karena pernah mengalami peristiwa mengecewakan. Calon  istri dilarikan oleh lelaki lain. Batal menikah membuatnya berpikir sekian kali sehingga memasrahkan diri pada kehendak Tuhan yang dipercaya mengatur diri dan hidupnya lebih baik.
Singkat cerita, dari perkenalan tersebut kami semakin akrab. Ketika kukatakan bahwa aku hanya seorang janda ... apalagi usiaku dua tahun di atasnya ....
 "No problem. Bukan masalah itu. Yang penting kita nyaman dan bagaimana komitmen ke depan. Bukan yang di belakang, melainkan yang di depan!"
*** Â
Suatu waktu, aku meminta Bonita dan Mas Ageng datang ke rumah. Aku tidak bisa keluar sebab Eras membawa keluarga yang masih ada untuk meminangku. Mertua kakaknya yang adalah tetanggaku, kakak dan iparnya. Sementara kedua orang tuanya dalam kondisi sakit tua berada di pulau lain. Dari  pihakku tidak ada lagi yang bisa kuundang. Sebagai anak semata wayang yang telah kehilangan kedua orang tua, tentu aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Akhirnya  aku meminta Bonita berdua dan Ibu atasanku untuk memberikan restu pada pertunangan kami.
Atas nasihat semua yang hadir, kami diminta secepatnya mengurus pernikahan. Karena kami berbeda tempat ibadah, kami meminta salah seorang anggota majelis menguruskan agar mempercepat proses pernikahan kami.
Tiga bulan berikutnya, kami resmi menikah baik secara agama maupun negara. Oleh karena itu, tidak ada penghalang untuk kami tinggal serumah. Bersyukur kepada Allah. Setelah  itu, kami harus segera mengiklankan penjualan rumah untuk ditukar membeli di kota lain.
*** Â
Pot kembang telang yang ada harus kami bagi-bagikan karena tidak mungkin membawa semua bunga hias yang ada di rumah untuk pindah ke tempat suami bekerja. Aku sudah memutuskan untuk pindah atau mutasi dengan alasan mengikuti suami. Apalagi pikirku di tempat baru akan memperkecil kesempatan untuk bertemu orang-orang yang dulu membuat hati tidak nyaman.
Bulan kedua pernikahan kami, ternyata Tuhan memberikan rezeki luar biasa. Aku positif hamil! Bukankah ini suatu anugerah yang tiada tara? Stigma wanita mandul yang pernah kuterima gugur sudah. Karena itu, aku benar-benar menjaga agar kandunganku sehat dan kuat.
Suami begitu memanjakanku karena dia pun ingin segera menimang buah hati kami. Doa-doa kami, sebagaimana doa Hana meminta anak, benar-benar dikabulkan-Nya. Anugerah luar biasa. Meskipun putra kami kelak tidak seperti Samuel, setidaknya biarlah putra kami dipakai-Nya sebagai saluran berkat bagi umat, amin.
*** Â
Akhirnya, lahirlah bidadari kecil bermata hazel perpaduan darah Jawa dengan blasteran. Tentu saja bidadari tersebut sangat cantik. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, dengan bulu mata lentik melengkung. Rambutnya pun hitam ikal. Rambut sang ayah yang selebat hutan hujan tropis. "Adonia Listya Kylan Syamsir"
endÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI