Lututku bergemetaran, lidahku kelu, air netraku membanjir deras. Bagaikan robot kehilangan daya hingga beberapa lama. Napas terengah-engah dan dada pun rasa terinjak truk tronton bermuatan bulldozer.
"Ya, Allah ... inikah upaya Mas Dika untuk menunjukkan bahwa dia tidak mandul? Siapakah wanita itu? Apa maksud Mas Dika dengan ini semua?" senandikaku memenuhi ruang dada dan otakku. Namun, tetap kakiku tidak bisa kuajak berkompromi.
Setelah berulang-ulang kuucap doa agar diberi-Nya aku kekuatan dan ketahabahan, pelan-pelan kutinggalkan kamarku. Kututup perlahan pintu tanpa bersuara. Aku beristirahat sejenak di kamar sebelah sambil mengumpulkan kekuatan untuk kembali ke tempat pelatihan.
Aku akan tetap bungkam sampai Mas Dika membuka rahasia pribadinya. Aku akan tetap berpura-pura tidak tahu sebab aku memang belum mengetahui rencananya. Mungkin dia hanya mengincar seorang bayi dan kemudian tetap bertahan denganku. Siapa tahu, kan? Namun, rasanya aku tidak sudi berbagi suami. Sekarang saja aku merasa jijik dan muak. Musnah sudah sejuta rasa cintaku padanya setelah menyaksikan peristiwa pengkhianatan itu!
Aku harus bersiap-siap memberitahukan seorang teman pengacara untuk mengatasnamakan asset rumah dan kendaraan sebagai hak milikku. Ini penting sebagai antisipasi agar aku tidak menjadi gelandangan seandainya kami berdua harus berpisah. Aku yang selama ini ikut banting tulang, tidak mau kecolongan seperti pada cerita di film-film. Aku harus cerdas dan cekatan, sekaligus ikhlas melepaskan Mas Dika yang telah kuketahui menikmati hari spesial bersama wanita lain.  Menurutku, wajar kalau aku menggugatnya karena Mas Dika  memang sudah tidak bisa menjaga komitmen kami.
*** Â
Sebelum pukul 06.00 WIB aku telah meluncur ke tempat pelatihan kembali. Pukul 05.00 kulihat kamar pribadi kami masih tertutup, belum ada tanda-tanda mereka terbangun sehingga aku leluasa untuk meninggalkan rumah tanpa diketahuinya.
Tidak ada jejak apa pun yang kutinggalkan sehingga aku yakin Mas Dika tidak menyadari kepulanganku. Baiklah, itu justru baik. Aku ingin mengetahui sandiwara apa yang dimainkan besok setelah aku pulang dari pelatihan.
Bahkan, basa-basi pagi itu kukirim pesan WhatsApp menanyakan kondisi dan mengabarkan bahwa aku akan tambah semalam untuk mengerjakan tugas kantor. Entah apa dan bagaimana jawabnya nanti. Kupikir, sekalian saja memberikan kesempatan kepada mereka untuk bersukacita di atas penderitaan batin ini. Biarlah dipuas-puaskannya, pikirku.
*** Â
Hari-hari berjalan seperti biasa. Jujur aku sudah tidak respek dengan Mas Dika. Aku justru banyak menghindari kesempatan berduaan dan tampaknya dia enjoy saja. Aku yakin, Mas Dika kini sudah sangat berubah.