Tidak lagi kuhiraukan gunjingan orang tentangku, tentang kemandulanku. Sama halnya dengan Bonita yang tidak menggubris suara orang lain yang hanya bisa membombardir tanpa menghiraukan perasaan kami sebagai wanita yang tentu saja perasa.
Ada perasaan plong yang luar biasa. Menjadi janda bukanlah beban, dibandingkan dengan menjadi istri tetapi tersakiti!
*** Â
Aku sedang berhenti di tepi jalan. Kulihat di depan rumah seseorang, di luar pagar, ada rumpun kembang telang dengan banyak buah kering. Sudah dua kali aku meminta kepada seorang bapak sepuh yang muncul di pintu pagar beberapa saat lalu.
"Ambil saja, jangan segan. Kalau untuk membudidayakannya, itu justru aktivitas bagus!"
Karena itu, kali ini untuk yang kesekian aku mengambil benih dan akan kusemai di pot-pot kosong yang kumiliki. Pot itu bekas tanaman adenium yang rusak parah beberapa tahun silam. Daripada menganggur, aku semai benih kembang telang entah untuk apa nantinya.
Sepasang manik mata hazel memperhatikanku di balik pagar. Hidung mancung dan alis tebal menunjukkan bahwa pria itu bukan asli Indonesia. Setidaknya pasti ada darah campuran antara ... biasanya pemilik mata hazel ditemukan di Afrika, Timur Tengah, Brasil, dan orang-orang Spanyol. Wah, ... kaget juga. Pikiranku  pun ngelantur tidak terfokus.
Kudengar bunyi derit pagar dibuka, keluarlah si mata hazel mendekatiku.
"Hai ... sedang apa?"
"Oh, saya meminta benih kembang telang ini ... akan saya semai di pot-pot agar menjadi banyak!" jawabku dengan seulas senyum termanis.
"Oo, begitu ... apa ada manfaatnya?"
"Banyak sekali, di antaranya untuk diseduh seperti teh," jawabku masih sambil tersenyum. Entah berapa usia pria gagah ini, aku tidak bisa menaksirnya. Yang jelas dari ciri dan postur tubuhnya, dia bukan orang asli Indonesia. Â