"Ketika hendak dibawa ke rumah sakit, aku sudah tidak kuat lagi. Akhirnya, aku tidak tertolong karena kehabisan darah!"  katanya sambil menunduk.
"Terima kasih, kau telah menjadi temanku di hari-hari terakhirku!" lanjutnya sangat pelan dan begitu lirihnya. Sambil diberikannyaÂ
Tiramissu, diusapnya mukaku perlahan lalu mundur, memudar, dan akhirnya menghilang. Sayup-sayup masih kudengar kata-kata terakhirnya sebelum pergi, "Aku sayang kamu, Vioooo!"
Aku terperanjat. Ternyata aku bermimpi.
Dua hari di kamar rawat inap, dikabarkan oleh seorang suster bahwa mamaku telah siuman. Jika mau, aku bisa didorongnya dengan kursi roda menuju ruang gawat darurat. Aku pun setuju. Air mataku merebak tak terkendali.
Aku langsung memeluk mama, "Terima kasih, Ma!" kataku berulang-ulang sambil menciumi mama. "Maafkan Vio, Ma!" kataku terisak.
Mama menjawab pelan, "Maafkan Mama, juga Vio. Mama terlalu protektif kepadamu karena mama tidak ingin kehilangan kamu!" kami berpelukan dan bertangis-tangisan.
Dua hari kemudian, mama dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku meminta kami bisa sekamar. Beruntunglah kami dirawat seminggu saja dan diizinkan pulang dengan pengawasan dokter.
Saat di rumah, mama mengatakan bahwa saatnya sudah sampai. Aku harus mengetahui suatu fakta. Aku penasaran sekali.
"Ada apa sih, Ma?" kami berdua sama-sama masih menggunakan kursi roda. Ada perawat yang merawat dan mengawasi kami selama di rumah.
"Vioo ... , maafkan Mama, ya! Sebenarnya .... ," seolah mama tidak tega mengemukakannya.