Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bertemu untuk Berpisah

30 Mei 2024   12:34 Diperbarui: 30 Mei 2024   12:50 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BERTEMU UNTUK BERPISAH
Ninik Sirtufi Rahayu

Gerimis rinai membasahi tanah pekuburan saat itu. Guguran kelopak bunga flamboyant jingga melumuri jalanan seolah red carpet yang sengaja digelar untuk menyambut kehadiranku.

Dengan berjalan tertatih dan masih menggunakan kruk, aku dan mama mengunjungi tempat persemayaman terakhir papa. Kubawakan seikat arumdalu agar wanginya semerbak memenuhi ruang terbuka itu. Meskipun ada penyesalan karena terlambat mengetahuinya, aku bangga bisa melihat nisan papa. Nisan yang sudah dua tahun teronggok di situ tanpa kuketahui, bahkan masih kuharapkan kehadiran sosoknya! Aku berdoa di dalam hati, biarlah Tuhan yang memberikan tempat terindah buat papaku.

Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Hanya air mata hangat yang menganak sungai di pipi mewakili kata-kataku. Demikian juga aku sempatkan mengunjungi persemayaman Bagus yang tidak jauh dari persemayaman papa. Gundukan tanah merah dengan nisan sederhana itu membuatku terpana. Aku juga terdiam. Tak bisa kukatakan apa pun. Namun, aku berkata-kata kepada Tuhan di dalam hatiku. Aku bersyukur memiliki mama hebat seperti mamaku. Aku yakin, Tuhan menempatkan kedua lelaki yang aku sayangi ini di tempat terbaik-Nya.

***

Siang itu aku begitu kesalnya. Tak tertumpahkan rasanya!

"Siapa bilang Tuhan itu baik?" rutukku di dalam hati. "Selama dua tahun aku berdoa dan memohon kepada Tuhan, tetapi apa hasilnya? Tidak ada satu pun permohonanku yang dikabulkan-Nya!"

"Saat aku kecil dulu, Mama selalu mengatakan bahwa jika aku punya permohonan, Tuhan pasti mengabulkannya. Tetapi, mana buktinya? Tuhan tidak mengabulkan permohonanku. Padahal, apa sih sulitnya mengabulkan permohonanku? Apalagi permohonanku hanya satu saja, tidak banyak. Aku ingin bertemu Papa! Itu saja! Simple banget, bukan?" itu yang kuucapkan sebagai senandikaku sambil membanting boneka beruang besar milikku ke kasur.

Aku mangkel, entah dengan siapa. Sebenarnya, awalnya kesal karena doaku tidak dikabulkan-Nya, tetapi akhirnya boneka tedy bear cokelatlah yang menjadi sasaran amukanku. Untunglah dia baik-baik saja. Tidak berubah sedikit pun walau kubanting, kulempar, dan kugemasi sedemikian rupa.

Pagi itu, aku dikagetkan oleh bunyi alarm yang sudah kusetel. Tandanya aku harus memulai hari-hari yang pastinya tidak akan indah. Pasti omelan demi omelan akan kudapatkan hari ini seperti hari-hari kemarin. Benar-benar kurasakan seperti di neraka!

Diawali seruan Mama yang menjengkelkan. Karena itu di dalam hatiku ini Mamaku seringkali kupanggil dengan Momok! Ya, momok yang menghantui hidupku sehari-hari!

"Vioooo ... cepat mandiiii!" hmmm teriakan apa lagi sebentar lagi. Seolah kebal kupingku mendengarnya. Benar-benar momok yang tak mengizinkanku bersantai barang sejenak!

 "Apaan siihhh, Maaakkk! Teriak mulu, malu didengar tetangga, tahuuuu ...!" seruku takkalah nyaring. Setiap pagi seolah perang dunia kedua di rumahku!

"Habisnya kamunya suka molor kalau tidak diteriaki. Cepat sedikit, kenapa?"

Segera kusambar handuk dan menikmati guyuran air hangat lewat semburan keran dari water hitter dengan  nyamannya. Air hangat ini benar-benar menjadi inspirasi pagiku. Puji Tuhan banget. Apalagi saat duduk di closet sambil melamunkan sebuah cerita pendek yang tidak pernah kutuliskan. Benar-benar asyik sehingga satu jam pun merasa kurang berada di sini. Lalu, lagi-lagi teriakan dan gedoran pintu dari si momok menyerbu dan membuyarkan lamunan indahku.

 "Busyeeett!" rutukku.

"Viooolllaaaaa ... bisa cepat enggak sih! Sudah setahun mandi belum kelar juga!" teriaknya di luar pintu kamar mandi.

"Tidur sekalian di situ, jangan pernah keluar lagi. Mandi macam apaan, satu jam belum kelar!"  suara lantang momok terdengar nyaring.

"Hhhuuhhh!"  desahku sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Keluar dari kamar mandi, belum beberapa saat terdengar pula teriakan si momok.

 "Vioooo ... cepaat makan, nasi gorengnya keburu dingin!" hmmm lagi dan lagi. Barangkali para tetanggaku sudah kebal mendengar teriakan lantangnya.

"Oohh, ... nggak usah teriak kenapa sih. Aku enggak budheg!" sungutku sambil mulai duduk di meja makan. Kunikmati nasi goreng spesial yang sungguh sangat enak dengan muka cemberut. Dalam hatiku, omelan apa lagi setelah ini yang akal kuterima. Seperti yang kuduga, pasti begini nih pesannya, "Cepat pulang, nggak usah mampir-mampir ke mana-mana!" kayaknya kalimat-kalimat tersebut sudah terjadwal dengan rapi kupikir-pikir. Si momok ini sudah seperti robot hidup yang menghantuiku saja! Huff....!

Dengan menyambar tas di sebelahku, aku segera hendak pergi ke garasi.

"Eitss ... susunya diminum dulu, Viooo! Dibuatkan susah-susah, kok. Habiskan supaya bisa berpikir dengan baik!" kata momok sambil menyodorkan segelas susu buatku.

Terpaksa kuminum juga susu coklat hangat buatannya.

"Ok, thanks!"  kataku lanjut bergegas menuju garasi hendak mengambil motor maticku.

Perjalananku hampir setengah jam melawan macetnya jalanan di pagi hari. Sesampai di sekolah segera aku berlari menuju kelasku yang berada cukup jauh dari tempat parkir. Belum sampai di kelas, bel masuk pun berdentang dengan nyaringnya.

Teman sebangkuku sedang duduk dengan asyik. Setelah kuperhatikan, ternyata dia sedang menggambar. "Wuahhh ... cantik benar, Vella!"  seruku mengagumi kepiawaiannya menggambar.

"He he, terima kasih Vio manis!"  katanya dengan kalem sambil menatap netraku. 

Dia ini benar-benar anak manis yang supersempurna. Sangat jauh berbeda denganku. Makanya aku senang  berteman dengannya berharap ketularan kalemnya. Ahh, tapi mana bisa aku sekalem dia kalau setiap hari yang kuhadapi si momok yang garang seperti itu? Yang ada aku malah semakin beringas ...!

"Ada PR apa, Vell?" tanyaku agak ketakutan karena aku belum mengerjakan apa-apa sejak kemarin.

"Nggak ada, kok. Hanya proposal penelitian yang harus segera masuk ke tangan Bu Yuyus dalam minggu ini. Tapi itu pun kerja kelompok!"

"Ya, ampun! Aku belum menyentuhnya sama sekali!" sergahku.

"Kamu emang kelompoknya siapa?"

"Waduuhh, ... aku lupa pula!"

"Ya, ampun Vioooo ... ! jangan lanjutkan deh, cerobohmu itu! Bisa kelabakan nantinya!" katanya sambil melotot.

"Ohhh ...!" tiba-tiba aku ingat si momok di rumah. Benar juga, ya. Aku bisa kelabakan jika tidak diingatkannya!

Hari itu tidak ada yang istimewa. Aku menjalani hari sekolahku dengan biasa-biasa saja. Hanya Vella yang mengingatkan untuk segera mencari catatan dengan siapa aku berkelompok sebab minggu depan proposal sudah harus dipresentasikan di depan kelas.

Pulang sekolah adalah saat-saat paling nyaman buatku setelah setengah hari berkutat dengan pelajaran dan buku. Aku menyempatkan mandi sesegera mungkin agar terasa segar dan nyaman, makan siang, lalu istirahat di kamar dengan nyaman.

Langsung kusambar handphone-ku yang tidak sempat kusentuh selama di sekolah. Kubuka WA, IG, dan terakhir facebook. Ya ampun, ada sekian puluh pesan di WA, beberapa di IG, dan puluhan permintaan pertemanan yang harus kukonfirmasi. Aku sih terlalu pilih-pilih dalam berteman. Lalu kulihatlah sebuah profil sederhana dan segera kuklik konfirmasi.

Namanya Bagus Priambodo. "Pasti asli orang Jawa, nih!" batinku. Fotonya cakep pula. Sorot matanya sendu seolah menyembunyikan kedukaan mahahebat yang tak terkatakan.

Tidak berselang lama, dia mengirim inbox yang menyatakan terima kasih atas konfirmasi yang kuberikan.

"Terima kasih, ya, ...  telah mau berteman denganku!"

"Iya, sama-sama!"

Setelah meminta nomor teleponku, kami pun chatting via Whatsapp. Semula bercerita biasa saja, akhirnya kuketahui bahwa dia anak tunggal, ayahnya sedang bekerja di luar pulau, sementara ibunya sudah meninggal dunia. Dia selalu kesepian katanya.

Ketika kuceritakan bahwa mamaku terlalu protektif, dia malah menginginkan hal semacam itu karena selama ini tidak seorang pun yang peduli padanya.

Bagus menceritakan lewat chatt bahwa mamanya telah berpulang tujuh tahun silam. Dikatakannya bahwa dia sangat merindukan mamanya itu. Sosok yang begitu dikagumi.

Diingatnya dengan jelas saat berusia sepuluh tahun, saat dia dan mamanya menunggu kepulangan ayahnya dari luar kota. Berkat keberanian mamanya menembus panasnya kobaran api, Bagus selamat. Namun, tidak demikian untuk mamanya. Luka bakar serius lebih dari 90 persen membuatnya tidak mampu bertahan sehingga dua hari setelah peristiwa tersebut mamanya berpulang.

"Kamu beruntung masih memiliki seorang mama yang luar biasa, Viooo!" tulis Bagus dengan emot peduli.

Semakin sering chatting dengannya, aku makin paham akan sosok mamaku yang selama ini sangat overprotective setelah papa pergi ke Singapura hingga saat ini belum sekali pun kembali. Aku juga menceritakan betapa kangennya aku kepada papaku yang selama dua tahun terakhir tinggal di negeri jiran itu.

"Menurutku, mestinya, zaman secanggih ini tidak ada lagi halangan untuk berhubungan. Misalnya dengan video call untuk menghilangkan rasa rindu yang menggebu. Namun, tidak dengan papa. Telepon tidak, surel tidak, lalu apa gunanya teknologi canggih?" keluhku di dalam chatting  itu.

"Atau, jangan-jangan papamu sudah memiliki keluarga baru? Jangan-jangan ada wanita lain yang menggantikan posisi mamamu?" tulisnya yang jujur membuatku semakin berurai air mata.

"Heiii ... jangan sembarangan menuduh!" protesku berang.

"Ya, sudah. Maaf, ya! Jika begitu, tunggu sajalah! Pasti Tuhan memberikan waktu terbaik untuk kalian bertemu!"  pungkas Bagus.

Setelah hampir sebulanan berteman dengan Bagus di dunia maya, aku sudah sedikit bisa menghilangkan kebencianku kepada mama. 

Sedikit demi sedikit aku sudah memahami bahwa mama sebenarnya sangat sayang kepadaku. Aku tidak lagi menyebutnya dengan sebutan momok seperti sebelum-sebelumnya.

Namun, kali ini aku kembali kesal kepada mamaku. Seperti anak muda lainnya, aku pasti menginginkan berkumpul bersama teman sebaya. Saat kukemukakan bahwa aku ingin menghadiri pesta ulang tahun Rita Edelweis, teman sekelasku yang digelar hingga pukul 21.00 mama menentangku. Mama tidak mengizinkanku untuk pergi ke pesta itu.

Untuk menghindari kesuntukan, pukul 19.00 yang harusnya sudah berangkat bersama kawan-kawan, akhirnya acaraku harus gagal. Maka aku menghibur diri dengan pergi ke swalayan tak jauh dari rumahku. Aku hendak membeli cokelat!

Dengan mata sembab dan pikiran kacau, aku berjalan bergegas di malam itu. Tiba-tiba sebuah truk dengan sorot lampu menyilaukan menuju tepat ke  arah berdiriku. Sekejap aku  merasa didorong, dan setelah itu semuanya menjadi gelap.

Entah berapa lama aku pingsan. Saat terbangun kulihat serbaputih di sekelilingku. Rasa nyeri bukan main menusuk-nusuk kepala dan kakiku. Ternyata, ada perban yang meliliti kepala dan kakiku.

"Syukurlah kamu sudah siuman! Semalam mamamu mengikuti dan mendorongmu saat sebuah kendaraan yang blong remnya hendak melindasmu!" kata seorang perawat yang berada di dekatku.

"Ohh, ... siapa yang telah mendorongku, Suster?" tanyaku menyelidik.

Lalu, seorang dokter datang tepat saat aku bertanya dan langsung menjawab pertanyaanku, "Orang itu adalah mamamu sendiri!"

"Ohh ...!"

"Iya. Kata saksi mata, mamamu itu sengaja mengikutimu. Untunglah! Seandainya tidak ada mamamu, pastilah lebih parah yang kauderita!" ujar dokter sambil memperhatikan manik netraku.

"Ya, Tuhaaaan ...! Lalu sekarang mamaku di mana, Dokter?"

"Beliau juga dirawat. Tetapi masih di ruang gawat darurat!"

Tiba-tiba air mataku membanjir tak terbendung.

Saat jam tidur siang tiba, kantuk menyerangku dengan hebatnya. Kukira itu pengaruh obat yang sudah diberikan padaku lewat infus. 

Tiba-tiba kulihat Bagus datang mengunjungiku dengan membawakan sebuket bunga.

"Ohhh ... siapa yang memberitahumu bahwa aku di sini?"  tanyaku. Bagus hanya tersenyum sambil menunjuk-nunjuk ke atas. Kulihat seberkas sorot duka di matanya.

"Nah, kamu yakin 'kan kalau mamamu itu sangat menyayangimu?" tanyanya pelan. Aku hanya mengangguk. Butiran air bening pun kembali menyeruak membasahi pipiku. Bagus memelukku dengan erat.

"Terima kasih, ya ... kamu telah menyadarkanku betapa mama sangat menyayangiku!"  isakku.

Bagus cuma mengangguk perlahan sambil berbisik, "Kamu cepat sembuh, ya! Aku sayang kamu!" katanya sambil merenggangkan pelukannya. "Tetapi ... sekarang aku harus segera pergi!"

"Loh ... kok! Kenapa tidak menemaniku di sini sebentar saja?"

Bagus menggeleng.

"Sebenarnya ...," katanya terbata-bata, "dua hari lalu aku mengalami kecelakaan. Sepeda motorku rusak parah!"

"Loohh ... trus?" kejarku penasaran. Sambil melotot kutanya serius ....

 "Ketika hendak dibawa ke rumah sakit, aku sudah tidak kuat lagi. Akhirnya, aku tidak tertolong karena kehabisan darah!"  katanya sambil menunduk.

"Terima kasih, kau telah menjadi temanku di hari-hari terakhirku!" lanjutnya sangat pelan dan begitu lirihnya. Sambil diberikannya 

Tiramissu, diusapnya mukaku perlahan lalu mundur, memudar, dan akhirnya menghilang. Sayup-sayup masih kudengar kata-kata terakhirnya sebelum pergi, "Aku sayang kamu, Vioooo!"

Aku terperanjat. Ternyata aku bermimpi.

Dua hari di kamar rawat inap, dikabarkan oleh seorang suster bahwa mamaku telah siuman. Jika mau, aku bisa didorongnya dengan kursi roda menuju ruang gawat darurat. Aku pun setuju. Air mataku merebak tak terkendali.

Aku langsung memeluk mama, "Terima kasih, Ma!" kataku berulang-ulang sambil menciumi mama. "Maafkan Vio, Ma!" kataku terisak.

Mama menjawab pelan, "Maafkan Mama, juga Vio. Mama terlalu protektif kepadamu karena mama tidak ingin kehilangan kamu!" kami berpelukan dan bertangis-tangisan.

Dua hari kemudian, mama dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku meminta kami bisa sekamar. Beruntunglah kami dirawat seminggu saja dan diizinkan pulang dengan pengawasan dokter.

Saat di rumah, mama mengatakan bahwa saatnya sudah sampai. Aku harus mengetahui suatu fakta. Aku penasaran sekali.

"Ada apa sih, Ma?" kami berdua sama-sama masih menggunakan kursi roda. Ada perawat yang merawat dan mengawasi kami selama di rumah.

"Vioo ... , maafkan Mama, ya! Sebenarnya .... ," seolah mama tidak tega mengemukakannya.

"Sebenarnya ada apa, Ma?" tanyaku memburu.

"Papamu sudah meninggal dunia sejak dua tahun lalu, Vio!"  kata mama menunduk dan terisak.

Tiba-tiba tubuhku lemas. Sendi-sendiku lunglai. Gelap..

***

Kini aku tahu, mengapa saat terakhir pertemuanku dengan Bagus, tepatnya di dalam mimpiku, Bagus membawakanku teramissu. Ternyata, di dalam bahasa Italia teramissu memiliki arti, "Izinkan aku ke surga!"

Maka, saat berkesempatan berada di peristirahatan terakhirnya itu kukatakan perlahan, "Iya. Aku mengizinkanmu untuk pergi ke surga!" Kami memang belum pernah bertemu, tetapi saat itu sekali bertemu ternyata untuk berpisah.  

Aku masih sering tersedu-sedu mengingat betapa bodohnya aku memarahi dan kesal kepada Tuhan saat itu! Aku memohon ampun sebab aku memang tidak mengetahuinya! Aku tidak mengetahui bahwa sebenarnya papa telah berada di pangkuan Tuhan. Maka, kupikir, sebenarnya, antara pertemuan dan perpisahan memang beda tipis, bukan?
 

*** 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun