Ketika kuceritakan bahwa mamaku terlalu protektif, dia malah menginginkan hal semacam itu karena selama ini tidak seorang pun yang peduli padanya.
Bagus menceritakan lewat chatt bahwa mamanya telah berpulang tujuh tahun silam. Dikatakannya bahwa dia sangat merindukan mamanya itu. Sosok yang begitu dikagumi.
Diingatnya dengan jelas saat berusia sepuluh tahun, saat dia dan mamanya menunggu kepulangan ayahnya dari luar kota. Berkat keberanian mamanya menembus panasnya kobaran api, Bagus selamat. Namun, tidak demikian untuk mamanya. Luka bakar serius lebih dari 90 persen membuatnya tidak mampu bertahan sehingga dua hari setelah peristiwa tersebut mamanya berpulang.
"Kamu beruntung masih memiliki seorang mama yang luar biasa, Viooo!" tulis Bagus dengan emot peduli.
Semakin sering chatting dengannya, aku makin paham akan sosok mamaku yang selama ini sangat overprotective setelah papa pergi ke Singapura hingga saat ini belum sekali pun kembali. Aku juga menceritakan betapa kangennya aku kepada papaku yang selama dua tahun terakhir tinggal di negeri jiran itu.
"Menurutku, mestinya, zaman secanggih ini tidak ada lagi halangan untuk berhubungan. Misalnya dengan video call untuk menghilangkan rasa rindu yang menggebu. Namun, tidak dengan papa. Telepon tidak, surel tidak, lalu apa gunanya teknologi canggih?" keluhku di dalam chatting  itu.
"Atau, jangan-jangan papamu sudah memiliki keluarga baru? Jangan-jangan ada wanita lain yang menggantikan posisi mamamu?" tulisnya yang jujur membuatku semakin berurai air mata.
"Heiii ... jangan sembarangan menuduh!" protesku berang.
"Ya, sudah. Maaf, ya! Jika begitu, tunggu sajalah! Pasti Tuhan memberikan waktu terbaik untuk kalian bertemu!" Â pungkas Bagus.
Setelah hampir sebulanan berteman dengan Bagus di dunia maya, aku sudah sedikit bisa menghilangkan kebencianku kepada mama.Â
Sedikit demi sedikit aku sudah memahami bahwa mama sebenarnya sangat sayang kepadaku. Aku tidak lagi menyebutnya dengan sebutan momok seperti sebelum-sebelumnya.