Mohon tunggu...
Nidiyah Aini
Nidiyah Aini Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA I PRODI S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS I NIM 43223010002

Mata kuliah: Pendidikan Anti Korupsi Dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito S.E.,AK.,M.SI., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan penyebab kasus korupsi di indonesia pendekatan Robert klitgaard, dan Jack bologna

15 November 2024   19:30 Diperbarui: 21 November 2024   13:31 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri Prof, Apollo
Dokpri Prof, Apollo

Pendahulu

Korupsi merupakan masalah yang telah lama menjadi perhatian di Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menanggulangi korupsi yang merajalela di berbagai sektor. Korupsi tidak hanya merugikan ekonomi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan instansi negara.

Beberapa teori dan model telah dikembangkan untuk menganalisis penyebab korupsi, salah satunya adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna. Pendekatan ini berfokus pada pemahaman akar penyebab korupsi dengan mempertimbangkan faktor-faktor struktural, ekonomi, dan sosial yang ada dalam masyarakat. Artikel ini akan membahas penerapan penyebab kasus korupsi di Indonesia melalui pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna serta relevansinya dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.

Korupsi di Indonesia: Sebuah Fenomena yang Kompleks

Indonesia sejak lama telah dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat korupsi yang cukup tinggi. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia seringkali berada di posisi yang kurang menggembirakan. Korupsi terjadi di berbagai tingkat pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, serta di sektor swasta.

Korupsi di Indonesia tidak hanya terjadi di level birokrasi, tetapi juga melibatkan sektor swasta, lembaga penegak hukum, serta lembaga legislatif. Kasus-kasus besar seperti suap, gratifikasi, penggelapan anggaran, dan penyalahgunaan kekuasaan menunjukkan betapa sistemik dan strukturalnya permasalahan ini. Salah satu contoh nyata dari praktek korupsi adalah kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik dan pengusaha dalam proyek-proyek besar yang menggunakan dana negara.

Korupsi di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu dari sisi kelembagaan, sosial, maupun ekonomi. Oleh karena itu, analisis penyebab dan penanggulangan korupsi membutuhkan pendekatan yang holistik dan mendalam. Robert Klitgaard dan Jack Bologna menawarkan perspektif yang berguna untuk memahami kompleksitas ini. 

1. Pendekatan Robert Klitgaard

Robert Klitgaard, seorang pakar ekonomi, mengemukakan rumus korupsi yang menggambarkan situasi yang dapat mendorong tindakan korupsi. Rumus ini adalah:

Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas (C = M + D - A)

Dimana:

  • C adalah tingkat korupsi
  • M adalah monopoli, yaitu ketika seseorang atau sekelompok orang memiliki kontrol atas suatu sumber daya atau keputusan penting tanpa adanya alternatif atau kompetisi.
  • D adalah diskresi, yaitu kebebasan untuk membuat keputusan secara subjektif, yang membuka peluang bagi individu untuk menyalahgunakan wewenangnya.
  • A adalah akuntabilitas, yaitu seberapa besar tingkat pengawasan terhadap perilaku individu dan organisasi dalam menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan.

Monopoli (M) 

Di Indonesia, banyak sektor ekonomi yang dikuasai oleh sedikit orang atau bahkan oleh negara dalam bentuk perusahaan negara. Monopoli dalam hal kontrol sumber daya dan keputusan ini memberikan peluang besar bagi individu atau kelompok tertentu untuk melakukan korupsi. Misalnya, dalam proyek-proyek infrastruktur besar yang dibiayai oleh anggaran negara, hanya beberapa perusahaan besar yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan kontrak. Hal ini membuka ruang bagi praktek kolusi antara pengusaha dan pejabat pemerintah.

Diskresi (D)

Diskresi merujuk pada kewenangan yang dimiliki oleh pejabat atau individu dalam membuat keputusan berdasarkan pertimbangan pribadi mereka. Dalam banyak kasus di Indonesia, pejabat publik memiliki kebebasan yang sangat besar dalam membuat keputusan yang mempengaruhi kebijakan dan alokasi anggaran. Tanpa adanya pengawasan yang ketat, diskresi ini sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Akuntabilitas (A)

Akuntabilitas yang rendah di Indonesia juga merupakan faktor yang mendukung terjadinya korupsi. Meskipun terdapat berbagai lembaga yang berfungsi untuk mengawasi kinerja pemerintah dan sektor swasta, namun dalam praktiknya, pengawasan tersebut seringkali lemah dan tidak efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keterbatasan sumber daya, pengaruh politik, serta ketidakberdayaan masyarakat dalam memantau jalannya pemerintahan. 

2. Pendekatan Jack Bologna

Selain Klitgaard, Jack Bologna juga mengemukakan pendekatan dalam menganalisis penyebab korupsi. Dalam bukunya Political Corruption (1974), Bologna menyoroti dua faktor utama yang berkontribusi terhadap terjadinya korupsi, yaitu faktor struktural dan kultural. Pendekatan Bologna lebih berfokus pada bagaimana struktur sosial dan budaya suatu negara mempengaruhi perilaku korupsi.

Faktor Struktural

Faktor struktural merujuk pada bagaimana struktur kekuasaan, sistem pemerintahan, dan birokrasi di negara tersebut mendukung atau memungkinkan terjadinya korupsi. Di Indonesia, struktur birokrasi yang besar dan kompleks, yang terdiri dari berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, memunculkan peluang untuk korupsi. Terlebih lagi, sistem perizinan dan pengawasan yang kabur sering kali memperburuk situasi.

 Faktor Kultural

Faktor kultural berhubungan dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Di Indonesia, korupsi sering kali dipandang sebagai sesuatu yang "wajar" dalam banyak kalangan. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya patronase yang mengakar kuat di masyarakat, di mana individu atau kelompok yang memiliki kedudukan atau kekuasaan cenderung menggunakan posisinya untuk memanfaatkan sumber daya yang ada demi keuntungan pribadi. Budaya seperti ini memperkuat kecenderungan untuk melakukan tindakan korupsi, karena ada norma sosial yang membenarkan atau bahkan mendorongnya.

Budaya "balas budi" atau saling memberi hadiah dalam konteks politik dan bisnis sering kali mendorong terjadinya suap atau gratifikasi. Oleh karena itu, pengurangan tingkat korupsi di Indonesia tidak hanya membutuhkan perubahan pada struktur pemerintahan, tetapi juga pada perubahan pola pikir dan sikap masyarakat terhadap korupsi.

Jack Bologna, seorang ahli dalam bidang antifraud, mengembangkan model yang dikenal sebagai Fraud Triangle, yang terdiri dari tiga elemen:

1. Tekanan (Pressure)  

Tekanan di sini bisa berupa kebutuhan keuangan, gaya hidup, atau tuntutan politik. Di Indonesia, tekanan keuangan atau sosial sering kali mendorong pejabat publik untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara yang ilegal, terutama karena adanya biaya politik yang tinggi.

2. Kesempatan (Opportunity)  

Adanya peluang untuk melakukan korupsi tanpa mudah diketahui. Misalnya, celah dalam sistem pengawasan anggaran atau prosedur pengadaan memberikan kesempatan besar bagi pelaku untuk menyalahgunakan dana atau menerima suap.

3. Rasionalisasi (Rationalization)

Ini adalah justifikasi pribadi yang digunakan untuk membenarkan tindakan korupsi, seperti pemikiran bahwa "semua orang melakukannya," atau "saya pantas mendapat lebih." Di Indonesia, ada banyak kasus di mana pelaku merasa berhak untuk menyalahgunakan dana publik, apalagi jika ada pandangan bahwa gaji yang diterima tidak sepadan dengan tugas yang diemban.

Penerapan Pendekatan Klitgaard dan Bologna di Indonesia

Pendekatan Klitgaard dan Bologna memberikan wawasan yang penting dalam memahami penyebab korupsi di Indonesia. Untuk menangani korupsi, kedua pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam tiga area utama: pengurangan monopoli, pembatasan diskresi, dan peningkatan akuntabilitas, serta perbaikan dalam struktur pemerintahan dan perubahan budaya masyarakat.

  1. Pengurangan Monopoli
    Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah dengan mendorong adanya persaingan yang sehat dalam berbagai sektor, terutama dalam pengadaan barang dan jasa. Pemerintah harus memastikan bahwa ada transparansi dalam proses tender dan memperkenalkan sistem yang lebih terbuka dan berbasis pada hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, privatisasi beberapa sektor yang dikuasai negara juga dapat membantu mengurangi monopoli dan membuka ruang bagi pasar yang lebih kompetitif.

  2. Pembatasan Diskresi
    Pembatasan diskresi dapat dilakukan dengan memperkenalkan sistem yang lebih ketat dalam pengambilan keputusan. Pengawasan yang lebih baik melalui lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Inspektorat Jenderal bisa meningkatkan transparansi dan mencegah penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, pemberlakuan sistem yang berbasis pada bukti (evidence-based decision making) juga bisa mengurangi ruang untuk manipulasi dan penyalahgunaan wewenang.
  3. Peningkatan Akuntabilitas
    Peningkatan akuntabilitas tidak hanya membutuhkan sistem pengawasan yang efektif, tetapi juga partisipasi aktif dari masyarakat. Masyarakat harus diberdayakan untuk dapat mengawasi jalannya pemerintahan, melalui media massa, organisasi masyarakat sipil, dan mekanisme pengaduan. Pemerintah juga perlu meningkatkan sistem pelaporan dan transparansi anggaran agar masyarakat dapat mengetahui dengan jelas penggunaan dana publik.
  4. Reformasi Struktur Pemerintahan dan Birokrasi
    Pemerintah Indonesia perlu melakukan reformasi birokrasi untuk memastikan bahwa aparat pemerintah memiliki kapasitas dan integritas yang memadai dalam menjalankan tugasnya. Hal ini termasuk pelatihan etika dan profesionalisme bagi pejabat publik serta penguatan lembaga-lembaga pengawasan internal yang ada di setiap instansi.

  5. Perubahan Budaya Korupsi
    Untuk mengurangi budaya korupsi yang sudah mengakar, dibutuhkan pendekatan yang lebih holistik yang melibatkan pendidikan, kampanye kesadaran, dan penguatan nilai-nilai integritas di masyarakat. Pemerintah dapat bekerja sama dengan berbagai organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil untuk membangun gerakan anti-korupsi yang melibatkan semua lapisan masyarakat.

1. Bagaimana monopoli kekuasaan memengaruhi tingkat korupsi di sektor pelayanan publik di Indonesia?

Monopoli kekuasaan dalam sektor pelayanan publik di Indonesia dapat secara signifikan memengaruhi tingkat korupsi, karena sistem yang kurang kompetitif sering kali memberikan peluang bagi pelaku korupsi untuk menyalahgunakan wewenang. Berikut adalah beberapa cara monopoli kekuasaan memengaruhi tingkat korupsi:

1. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas 

   Ketika satu entitas atau individu memiliki kekuasaan penuh atas suatu layanan, proses pengambilan keputusan cenderung tertutup. Kurangnya pengawasan yang memadai dapat menciptakan ruang untuk praktik korupsi seperti suap, gratifikasi, atau nepotisme.

2. Penyalahgunaan Wewenang

   Monopoli memberikan peluang bagi pejabat untuk menetapkan aturan dan tarif pelayanan secara sepihak, sering kali dengan memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

3. Peningkatan Biaya Transaksi

   Dalam sistem yang didominasi monopoli, masyarakat yang membutuhkan layanan sering kali dipaksa untuk membayar biaya tambahan yang tidak resmi (pungli), karena mereka tidak memiliki alternatif lain.

4. Minimnya Insentif untuk Perbaikan Kualitas Layanan 

   Dengan tidak adanya kompetisi, penyedia layanan tidak terdorong untuk meningkatkan efisiensi atau kualitas pelayanan. Hal ini dapat memperburuk praktik korupsi karena fokus lebih diarahkan pada keuntungan pribadi daripada kepuasan publik.

5. Budaya Korupsi yang Sistemik

   Dalam monopoli yang berlangsung lama, korupsi dapat menjadi norma yang sulit diberantas. Pelaku merasa aman karena sering kali ada jaringan perlindungan dari rekan kerja atau atasan.

Studi Kasus di Indonesia

- Sektor Perizinan: Beberapa studi menunjukkan bahwa sektor perizinan, seperti izin usaha atau pembangunan, sering kali terhambat oleh monopoli kekuasaan, di mana pejabat tertentu memiliki kendali penuh. Hal ini mendorong pengusaha untuk memberikan suap guna mempercepat proses. 

- Pelayanan Publik Dasar: Dalam layanan seperti kesehatan atau pendidikan, monopoli kekuasaan pada tingkat tertentu telah menciptakan ketergantungan masyarakat pada penyedia layanan tertentu, meningkatkan risiko pungli dan pengabaian terhadap standar pelayanan minimum.

Solusi untuk Mengurangi Korupsi akibat Monopoli Kekuasaan:  

1. Penguatan Sistem Pengawasan  

   Membentuk lembaga independen untuk mengawasi pelaksanaan pelayanan publik dan memastikan transparansi.

2. Peningkatan Kompetisi

   Melibatkan sektor swasta atau BUMN lain untuk menciptakan alternatif layanan yang kompetitif.

3. Digitalisasi Pelayanan

   Mengurangi interaksi langsung antara masyarakat dan penyedia layanan melalui sistem daring untuk meminimalkan peluang korupsi.

4. Penerapan Hukuman yang Tegas  

   Memberikan sanksi tegas kepada pelaku korupsi sebagai efek jera. Monopoli kekuasaan yang tidak terkontrol jelas meningkatkan potensi korupsi. Oleh karena itu, pembenahan sistem tata kelola dan pengurangan monopoli menjadi langkah penting dalam memberantas korupsi di sektor pelayanan publik.

2. Apakah kebijakan desentralisasi di Indonesia membantu mengurangi monopoli, atau justru memperburuk korupsi karena monopoli baru di tingkat daerah?

Kebijakan desentralisasi di Indonesia, yang dimulai sejak 2001 melalui penerapan otonomi daerah, memiliki dampak yang kompleks terhadap monopoli dan korupsi. Meskipun tujuan utama desentralisasi adalah mendekatkan pengambilan keputusan kepada masyarakat lokal dan meningkatkan akuntabilitas, implementasinya telah menghasilkan efek campuran:

Potensi Positif Desentralisasi dalam Mengurangi Monopoli:

1. Meningkatkan Kompetisi Antar Daerah

Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah berlomba menarik investasi dan meningkatkan pelayanan publik. Hal ini dapat memicu kompetisi sehat, mengurangi monopoli yang sebelumnya terkonsentrasi di pusat.

- Contoh: Beberapa daerah berhasil menciptakan iklim usaha yang lebih terbuka, mendorong transparansi dalam pelayanan publik.

2. Dekat dengan Masyarakat Lokal

Pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan warganya, sehingga pengambilan keputusan menjadi lebih relevan dan responsif. Ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih mengawasi kinerja pemerintah daerah.

3. Diversifikasi Sumber Daya 

Desentralisasi memecah kekuasaan dari pemerintah pusat, yang sebelumnya mendominasi sumber daya dan kebijakan. Ini berpotensi mengurangi konsentrasi monopoli pada satu entitas saja.

Efek Negatif: Monopoli Baru dan Korupsi di Tingkat Daerah:

1. Penciptaan "Little Kings" 

Desentralisasi sering kali melahirkan "raja-raja kecil" di tingkat daerah, di mana kepala daerah memiliki kekuasaan besar atas sumber daya lokal tanpa pengawasan yang memadai. Hal ini menciptakan monopoli baru dan membuka peluang untuk korupsi.

- Contoh: Banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terkait anggaran daerah dan perizinan.

2. Korupsi yang Lebih Terfragmentasi 

Sebelum desentralisasi, korupsi cenderung terpusat di pemerintah pusat. Namun, setelah desentralisasi, korupsi menjadi lebih tersebar di tingkat daerah. Hal ini membuat pengawasan lebih sulit karena ada banyak aktor terlibat di berbagai wilayah.

3. Kurangnya Kapasitas dan Transparansi Lokal

Banyak pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas teknis atau sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola anggaran dan kebijakan secara efisien. Akibatnya, celah untuk korupsi semakin besar.

- Contoh: Praktik pungutan liar (pungli) sering terjadi dalam layanan publik di daerah karena minimnya pengawasan.

4. Ketergantungan pada PAD dan Potensi Penyalahgunaan

Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah cenderung memaksimalkan pungutan melalui pajak atau retribusi, yang sering kali disalahgunakan oleh pejabat daerah.

Keseimbangan: Desentralisasi yang Efektif

Untuk menghindari efek negatif dan memanfaatkan potensi positif desentralisasi, kebijakan perlu diarahkan pada: 

1. Penguatan Pengawasan oleh Pemerintah Pusat

Memastikan pemerintah daerah diawasi oleh lembaga pusat seperti KPK, BPK, atau Kemendagri, terutama terkait pengelolaan anggaran dan perizinan.

2. Digitalisasi dan Transparansi di Tingkat Daerah

Meningkatkan penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan publik untuk mengurangi peluang korupsi. 

- Contoh: Sistem Online Single Submission (OSS) untuk perizinan usaha.

3. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah

Memberikan pelatihan kepada pejabat daerah terkait tata kelola pemerintahan yang baik, pengelolaan keuangan, dan etika publik.

4. Pemberdayaan Masyarakat Lokal

 Memperkuat kontrol sosial melalui partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan evaluasi kebijakan daerah.

3. Mengapa kebijakan antikorupsi yang diterapkan selama ini belum mampu membangun akuntabilitas yang kuat?

Kebijakan antikorupsi di Indonesia, meskipun telah diterapkan melalui berbagai instrumen hukum dan lembaga, sering kali belum mampu membangun akuntabilitas yang kuat. Hal ini terjadi karena adanya hambatan struktural, kelembagaan, dan budaya yang masih mengakar. Berikut adalah beberapa alasan utama:

1. Lemahnya Penegakan Hukum

-Inkonsistensi Penegakan: Meski hukum antikorupsi sudah jelas, penerapannya sering kali tidak konsisten. Kasus-kasus besar sering terhambat oleh tekanan politik atau intervensi pihak berkepentingan.

- Hukuman yang Tidak Menimbulkan Efek Jera: Banyak pelaku korupsi yang menerima hukuman ringan, dan sebagian bahkan mendapat fasilitas istimewa selama di penjara. Hal ini melemahkan pesan moral kebijakan antikorupsi.

2. Korupsi yang Sistemik dan Terintegrasi

- Korupsi di Indonesia sering kali melibatkan jaringan yang luas dan terorganisasi, mencakup pejabat, swasta, dan oknum penegak hukum. Hal ini membuat pemberantasan korupsi menjadi lebih kompleks.

- Contoh: Kasus mafia peradilan menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di birokrasi, tetapi juga dalam sistem hukum itu sendiri.

3. Kurangnya Transparansi dan Akses Informasi

- Minimnya Pengawasan Publik: Masyarakat sering tidak memiliki akses yang cukup terhadap informasi terkait pengelolaan anggaran dan proses pengambilan keputusan. Ini mempersulit upaya untuk meminta pertanggungjawaban.

4. Ketergantungan pada Figur daripada Sistem

- Penegakan kebijakan antikorupsi sering kali bergantung pada individu atau lembaga tertentu (misalnya, KPK), bukan pada sistem yang berkelanjutan. Ketika figur atau lembaga ini dilemahkan, kebijakan antikorupsi ikut terpengaruh.

5. Kurangnya Komitmen Politik

- Dualitas Kepentingan: Banyak pejabat yang seolah mendukung pemberantasan korupsi di depan publik, tetapi sebenarnya melindungi kelompok atau jaringan yang diuntungkan oleh korupsi.

6. Budaya Toleransi terhadap Korupsi

- Norma Sosial yang Membiarkan Korupsi: Dalam beberapa kasus, masyarakat cenderung menganggap korupsi sebagai bagian dari "kehidupan sehari-hari," terutama dalam bentuk kecil seperti pungutan liar (pungli).

- Keterlibatan Publik yang Rendah: Masyarakat sering kali tidak memiliki kepercayaan pada sistem, sehingga enggan melaporkan kasus korupsi atau berpartisipasi aktif dalam pengawasan.

7. Kelemahan dalam Pendidikan Antikorupsi

Fokus yang Kurang pada Pencegahan: Pendidikan antikorupsi sering kali hanya bersifat teoritis dan tidak menyentuh akar masalah budaya atau etika di lingkungan kerja.

Solusi untuk Membangun Akuntabilitas yang Kuat

1. Reformasi Sistem Hukum dan Pengawasan 

   - Meningkatkan integritas penegak hukum dengan pengawasan independen. 

   - Memastikan hukuman yang berat dan setara untuk semua pelaku korupsi.

2. Peningkatan Transparansi dan Digitalisasi

   - Mengimplementasikan teknologi dalam pengelolaan anggaran, pengadaan barang, dan layanan publik (seperti e-procurement dan e-audit). 

   - Memastikan akses informasi publik secara terbuka.

3. Peningkatan Partisipasi Publik

   - Memperkuat peran masyarakat sipil dan media dalam mengawasi pengelolaan pemerintahan. 

   - Membuat mekanisme pelaporan yang aman dan efektif untuk pelapor (whistleblower).

4. Pendidikan Antikorupsi yang Holistik

   - Memasukkan nilai-nilai antikorupsi dalam kurikulum sejak usia dini hingga tingkat profesional. 

   - Memberikan pelatihan berbasis praktik kepada pegawai negeri untuk mencegah perilaku korupsi.

5. Komitmen Politik yang Konsisten 

Membuat kebijakan antikorupsi sebagai prioritas nasional yang berkesinambungan, melibatkan semua elemen pemerintah tanpa pengecualian.

Kasus Korupsi e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik)

Tahun Terjadi: 2017-2018
Tokoh Terlibat: Setya Novanto (Ketua DPR), Andi Agustinus (Pengusaha), beberapa anggota DPR, pejabat pemerintah, dan pengusaha.

Deskripsi Kasus: Proyek e-KTP senilai sekitar Rp 5,9 triliun yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri pada 2011 untuk menggantikan sistem manual KTP ke sistem elektronik ternyata menjadi ajang korupsi besar. KPK mengungkap bahwa proyek ini melibatkan sejumlah pejabat tinggi, anggota DPR, serta pengusaha yang berperan dalam pengadaan barang dan jasa untuk proyek ini.

Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR, diduga menerima suap dari pengusaha Andi Agustinus, yang memenangkan tender untuk pengadaan e-KTP. Korupsi dalam proyek ini menyebabkan kerugian negara yang sangat besar. KPK berhasil menangkap dan mengadili sejumlah tokoh penting dalam kasus ini.

Penyelesaian Kasus:
Setya Novanto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara setelah terbukti menerima suap terkait pengadaan e-KTP. Andi Agustinus, pengusaha yang terlibat dalam kasus ini, dihukum 6 tahun penjara. Kasus ini melibatkan banyak pejabat di Kementerian Dalam Negeri dan anggota DPR lainnya, dengan total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun.

Kesimpulan

Korupsi di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks dan multidimensional. Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna memberikan kerangka teoritis yang berguna dalam memahami penyebab utama korupsi dan cara-cara untuk menanggulanginya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh kedua ahli tersebut pengurangan monopoli, pembatasan diskresi, peningkatan akuntabilitas, serta perubahan struktur dan budaya Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang lebih efektif dalam memerangi korupsi dan memperbaiki sistem pemerintahan.

Namun, untuk mencapai hasil yang maksimal, dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta. Proses pemberantasan korupsi memerlukan waktu dan usaha yang konsisten, serta dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan sistem yang transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.

 Daftar Pustaka  

  • Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.
  • Bologna, J. (1974). Political Corruption. Transaction Publishers.
  • Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index. Diakses dari: https://www.transparency.org/en/cpi
  • Indonesia Corruption Watch (ICW). (2023). Laporan Tahunan ICW. Diakses dari: https://www.icw.or.id
  • Sutherland, E. H. (1949). Principles of Criminology. J.B. Lippincott Company.
  • Indonesia, KPK. (2023). Laporan Kinerja KPK 2023. Komisi Pemberantasan Korupsi.
  • Berg, L., & Hafid, M. (2018). Kasus e-KTP dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Masyarakat Adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun