- Korupsi di Indonesia sering kali melibatkan jaringan yang luas dan terorganisasi, mencakup pejabat, swasta, dan oknum penegak hukum. Hal ini membuat pemberantasan korupsi menjadi lebih kompleks.
- Contoh: Kasus mafia peradilan menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di birokrasi, tetapi juga dalam sistem hukum itu sendiri.
3. Kurangnya Transparansi dan Akses Informasi
- Minimnya Pengawasan Publik: Masyarakat sering tidak memiliki akses yang cukup terhadap informasi terkait pengelolaan anggaran dan proses pengambilan keputusan. Ini mempersulit upaya untuk meminta pertanggungjawaban.
4. Ketergantungan pada Figur daripada Sistem
- Penegakan kebijakan antikorupsi sering kali bergantung pada individu atau lembaga tertentu (misalnya, KPK), bukan pada sistem yang berkelanjutan. Ketika figur atau lembaga ini dilemahkan, kebijakan antikorupsi ikut terpengaruh.
5. Kurangnya Komitmen Politik
- Dualitas Kepentingan: Banyak pejabat yang seolah mendukung pemberantasan korupsi di depan publik, tetapi sebenarnya melindungi kelompok atau jaringan yang diuntungkan oleh korupsi.
6. Budaya Toleransi terhadap Korupsi
- Norma Sosial yang Membiarkan Korupsi: Dalam beberapa kasus, masyarakat cenderung menganggap korupsi sebagai bagian dari "kehidupan sehari-hari," terutama dalam bentuk kecil seperti pungutan liar (pungli).
- Keterlibatan Publik yang Rendah: Masyarakat sering kali tidak memiliki kepercayaan pada sistem, sehingga enggan melaporkan kasus korupsi atau berpartisipasi aktif dalam pengawasan.