"Lima belasan kalau gak salah, masih kecil! Belum layak bawa motor! Mana gak pake helm lagi!"
"Hebat ya orang tuanya, bisa kasih anaknya motor", sarkas temannya yang turut mendengarkan.
Rasa emosi menjalar dihatiku.
Terkadang aku miris pada kenyataan hidup. Yang jelas salah hanya luka, dan dibela mati-matian pula oleh orang tuanya yang pastinya sadar anaknya telah melakukan kesalahan.
Tidak mau larut dalam emosi, karena aku tahu keluarga Jordi tidak butuh dibuat emosi lebih lanjut, maka aku pun pamit dari grup obrolan, dan mendekati Kayla yang masih sendirian.
Aku sodorkan Brown Latte, minuman kesukaan mereka berdua.
"Minum dikit, Kay. Lu pasti gak selera makan. Seengganya lu mesti ada tenaga", kataku sembari memberi botol berbentuk bohlam padanya.
"Makasih banyak, Kak", ia meneguknya sekali.
"Kalau mau cerita, dateng aja ke cafe, atau WhatsApp aja, jam berapa pun", hiburku.
Kayla menatapku, kemudian memperlihatkan sekotak cincin.
"Ada dikantong jaketnya, Kak", Kayla berucap dengan lemah, nadanya setengah bertanya.