- Sejarah Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Problem Based Learning (PBL) dimulai pada tahun 1920 ketika Celestine Freinet, seorang guru SD yang baru pulang dari Perang Dunia I, kembali ke desanya di Barsur-loup, Perancis bagian tenggara. Meskipun mengalami cedera serius yang membuatnya sulit bernafas lama, Freinet berkeinginan kuat untuk mengajar kembali. Menghadapi kendala ini, dia mengadopsi metode baru yang berbeda dari pendekatan tradisional pada saat itu. Freinet mendorong murid-muridnya untuk belajar mandiri sementara dia sendiri bertindak sebagai fasilitator. Inilah permulaan dari konsep awal Problem Based Learning (PBL).
Sejarah PBL sebenarnya bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Sebelumnya, beberapa ahli telah merancang metode yang akhirnya berkembang menjadi PBL. Sebagai contoh, John Dewey pada tahun 1916 dalam peran pengajarnya, memperkenalkan mahasiswanya dengan situasi kehidupan nyata dan membantu mereka memperoleh informasi untuk memecahkan masalah, yang kemudian menjadi inspirasi bagi perkembangan PBL.
PBL modern mulai berkembang pada awal tahun 1970 di Fakultas Ilmu Kesehatan McMaster University di Kanada. Awalnya diterapkan dalam pendidikan medis, McMaster menghadapi tantangan di mana siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan pengetahuan teoritis ke dalam praktik klinis. Untuk mengatasi ini, McMaster mengembangkan program yang melibatkan siswa dalam interaksi langsung dengan simulasi pasien, menggunakan alat-alat seperti catatan medis dan wawancara untuk mencapai diagnosis yang tepat. Pada perkembangannya, PBL diadopsi oleh berbagai universitas dengan dukungan dari McMaster.
Secara kesimpulan, sejarah PBL dan teori-teori sebelumnya memiliki fokus yang sama pada proses pembelajaran. PBL pada dasarnya membantu siswa menerapkan pengetahuan dalam menghadapi masalah nyata dalam kehidupan, di mana guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing mereka mencari solusi yang tepat. Untuk memahami pentingnya PBL dalam konteks kelas kita, penting untuk memahami keterampilan yang akan diperlukan di masa depan. Dalam era perkembangan teknologi yang cepat, pendidikan harus mampu mengikuti perubahan tersebut. Namun, selain fokus pada teknologi, pendidikan juga harus menekankan pada keterampilan yang akan membawa kesuksesan bagi siswa di masa mendatang.
Thornburg (1997) menjelaskan bahwa keterampilan yang dapat diajarkan melalui PBL adalah keterampilan yang ambigu, pembelajaran sepanjang hayat, dan dinamis.
Â
- Pengertian dan Konsep Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL), yang juga dikenal sebagai Problem Based Learning dalam bahasa Inggris, adalah pendekatan pembelajaran di mana pembelajaran dimulai dengan memecahkan masalah konkret. Dalam proses ini, peserta didik harus memperoleh pengetahuan baru agar dapat menyelesaikan masalah tersebut. PBL dideskripsikan sebagai metode pembelajaran yang mengutamakan penyelesaian masalah nyata sebagai konteks untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan memecahkan masalah, serta penerimaan pengetahuan baru (Duch, 1995).
Metode ini merupakan evolusi dalam pengembangan kurikulum dan pengajaran, yang menggabungkan strategi pemecahan masalah dengan pembelajaran dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan. Peserta didik berperan aktif dalam menyelesaikan masalah sehari-hari yang kompleks dan tidak terstruktur dengan baik. PBL menciptakan lingkungan pembelajaran di mana peserta didik terlibat secara aktif dan kolaboratif, menempatkan mereka sebagai pemecah masalah yang harus menghadapi tantangan di dunia nyata.
Dengan demikian, Pembelajaran Berbasis Masalah adalah suatu pendekatan di mana pembelajaran dimulai dari suatu masalah konkret dalam kehidupan nyata, mendorong siswa untuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya untuk memahami dan menyelesaikan masalah tersebut, sehingga menghasilkan pengetahuan dan pengalaman baru.
Pembelajaran Berbasis Masalah dapat dimulai dengan peserta didik bekerja dalam kelompok untuk menyelidiki dan menemukan permasalahan yang kemudian mereka selesaikan dengan bimbingan dari fasilitator (guru). Metode ini mendorong peserta didik untuk mencari sumber pengetahuan yang relevan secara mandiri, menghadirkan tantangan bagi mereka untuk belajar sendiri. Berbeda dengan pendekatan pembelajaran tradisional yang menempatkan peserta didik sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh guru, Pembelajaran Berbasis Masalah lebih menekankan pada pembentukan pengetahuan dengan arahan minimal dari guru.
Terdapat tiga ciri utama dari Pembelajaran Berbasis Masalah. Pertama, ini melibatkan serangkaian aktivitas pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, serta menyimpulkan hasilnya. Kedua, fokus aktivitas pembelajaran adalah penyelesaian masalah, di mana masalah menjadi titik tolak dari proses pembelajaran. Ketiga, proses pemecahan masalah dilakukan dengan pendekatan berpikir ilmiah, yang melibatkan berpikir deduktif dan induktif secara sistematis dan berdasarkan fakta empiris.
Untuk menerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah, seorang guru harus memilih bahan pelajaran yang menghadirkan permasalahan yang dapat dipecahkan. Bahan tersebut dapat berasal dari berbagai sumber seperti buku teks, peristiwa lingkungan sekitar, peristiwa keluarga, atau isu-isu kemasyarakatan, yang relevan dengan kurikulum yang berlaku. Ada beberapa kriteria dalam memilih bahan pelajaran untuk Pembelajaran Berbasis Masalah: harus mengandung isu konflik yang dapat diambil dari berita atau rekaman video, familiar bagi siswa, berkaitan dengan kepentingan umum, mendukung tujuan kompetensi sesuai kurikulum, dan menarik bagi minat siswa.
Problem Based Learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai insentif untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan agar dapat memahami dan menemukan solusi atas masalah tersebut. Masalah yang digunakan dalam PBL adalah masalah nyata yang tidak terstruktur dan bersifat terbuka, yang menjadi konteks bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah, berpikir kritis, dan membangun pengetahuan baru.
Salah satu model pembelajaran yang sedang menarik perhatian dalam kalangan pendidik adalah Problem Based Learning (PBL). PBL melibatkan siswa dalam usaha untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan metode ilmiah, yang memungkinkan mereka untuk mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan masalah tersebut dan mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah. Model ini bertujuan agar siswa dapat berpikir kritis dan mandiri, serta terampil dalam mengambil inisiatif dalam menyelesaikan masalah dunia nyata.
PBL melibatkan siswa dalam pemecahan masalah melalui tahapan metode ilmiah, yang memungkinkan mereka untuk mempelajari pengetahuan yang relevan dengan masalah yang dihadapi dan mengembangkan keterampilan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang konsisten, masalah yang diberikan harus sesuai dengan kurikulum, relevan dengan konteks pembelajaran, dan muncul dari lingkungan yang dikenal peserta didik, sesuai dengan fakta empiris yang ada. Semakin dekat masalah tersebut dengan lingkungan siswa, semakin mudah bagi mereka untuk memahami masalah dan menemukan solusinya.
- Urgensi Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Â
Problem based learning dianggap sangat penting untuk mendukung implementasi Kurikulum 2013 yang sedang berlangsung. Beberapa alasan mengapa problem based learning dinilai krusial adalah sebagai berikut:
1. Seorang lulusan tidak dapat menyelesaikan masalah hanya dengan satu disiplin ilmu saja. Mereka perlu mampu menggunakan dan mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, serta mencari pengetahuan baru yang diperlukan untuk menangani masalah yang dihadapi. Melalui PBL yang dimulai dengan pemberian masalah sebagai pemicu kepada siswa, pembelajaran dapat diterapkan secara spiral dengan memilih konsep dan prinsip dari berbagai cabang ilmu yang relevan sesuai dengan kebutuhan masalah. Ini memastikan bahwa sebagian besar atau seluruh materi dari berbagai cabang ilmu tersentuh dalam proses pembelajaran.
2. Integrasi antara berbagai konsep, prinsip, dan informasi dari berbagai cabang ilmu dapat terjadi secara alami dalam PBL. Hal ini memungkinkan siswa untuk melihat dan memahami hubungan antar disiplin ilmu dalam konteks pemecahan masalah konkret.
3. PBL mendukung pengembangan kemampuan siswa untuk terus-menerus melakukan pembaruan dan pengembangan pengetahuannya (up-dating), sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berubah.
4. Model ini juga mendorong siswa untuk mengembangkan perilaku sebagai seorang pembelajar sepanjang hayat (life-long learner), di mana mereka terbiasa untuk terus belajar dan mengembangkan diri sepanjang karier mereka.
5. Melalui langkah-langkah PBL, seperti diskusi kelompok, siswa dapat mengembangkan berbagai keterampilan penting, seperti: penelusuran kepustakaan, keterampilan membaca, kemampuan membuat catatan, kemampuan bekerja sama dalam kelompok, keterampilan berkomunikasi, keterbukaan, berpikir analitis, kemandirian dalam belajar, dan keaktifan dalam proses pembelajaran. Semua keterampilan ini sangat berharga dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karier mereka.
6. PBL juga dapat membantu siswa mengimbangi kecepatan perkembangan informasi dan ilmu pengetahuan yang sangat cepat di era digital saat ini, dengan memungkinkan mereka untuk belajar secara mendalam dan kontekstual.
Dengan demikian, PBL tidak hanya mendukung pendidikan yang berpusat pada siswa dan relevan dengan konteks nyata, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang adaptif dan mandiri dalam menghadapi berbagai perubahan dan kompleksitas dunia modern..[7]
Â
- Tujuan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Â
Tujuan utama dari problem based learning bukanlah untuk sekadar menyampaikan banyaknya pengetahuan kepada peserta didik, tetapi lebih pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk mendorong peserta didik agar aktif dalam membangun pengetahuan mereka sendiri. PBL juga bertujuan untuk mengembangkan kemandirian belajar dan keterampilan sosial peserta didik. Kemandirian belajar dan keterampilan sosial ini dapat berkembang ketika peserta didik bekerja sama dalam mengidentifikasi informasi, strategi, dan sumber belajar yang relevan untuk menyelesaikan masalah.
Secara rinci, problem based learning bertujuan untuk membangun dan mengembangkan pembelajaran yang mencakup tiga ranah pembelajaran (taxonomy of learning domains). Pertama, dalam bidang kognitif (knowledges), PBL mengintegrasikan ilmu dasar dan terapan. Melalui pemecahan masalah langsung terhadap masalah yang nyata, siswa didorong untuk menerapkan pengetahuan dasar yang mereka miliki. Kedua, dalam bidang psikomotorik (skills), PBL melatih siswa dalam pemecahan masalah secara saintifik, berpikir kritis, pembelajaran mandiri, dan pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Ketiga, dalam bidang afektif (attitudes), PBL bertujuan untuk mengembangkan karakter pribadi, hubungan antar manusia, dan perkembangan diri secara psikologis.
Ciri khas dari pembelajaran berbasis masalah meliputi pengajuan pertanyaan atau masalah sebagai titik awal, dengan fokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu. Pendekatan ini mengutamakan penyelidikan yang autentik, kerja sama, serta menghasilkan produk atau demonstrasi. PBL tidak dimaksudkan untuk membantu guru menyampaikan informasi sebanyak mungkin kepada siswa. Menurut Trianto (2011: 94-95), tujuan dari PBL adalah:
Â
1. Membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah
Terdapat berbagai cara untuk mengajarkan cara berpikir kepada seseorang, namun konsep berpikir sebenarnya dapat dijelaskan sebagai proses yang melibatkan operasi mental seperti penalaran. Berpikir juga mencakup kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan pada inferensi atau pertimbangan yang cermat. Pembelajaran berbasis masalah mendorong peserta didik untuk tidak hanya berpikir secara konkrit, tetapi juga untuk mengembangkan ide-ide yang abstrak dan kompleks. Melalui pendekatan ini, peserta didik dilatih untuk memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi. Esensi dari keterampilan berpikir tingkat tinggi, yang melibatkan koherensi dan konteks, tidak dapat diberikan melalui pendekatan yang hanya mengajarkan ide dan keterampilan yang lebih konkret. Hal ini hanya dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah oleh peserta didik sendiri.
2. Belajar peranan orang dewasa yang autentik
Menurut Resnick, pembelajaran berbasis masalah penting untuk menghubungkan pembelajaran di sekolah dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang terjadi di luar sekolah. Implikasi dari pandangan Resnick ini adalah:
a. Mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tugas.
b. Mengandung elemen-elemen pembelajaran melalui magang, yang mendorong observasi dan dialog dengan orang lain, sehingga siswa dapat secara bertahap memahami peran orang yang mereka amati atau dialog dengan mereka (seperti ilmuwan, guru, dokter, dll.).
c. Melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan mereka sendiri, memungkinkan mereka untuk menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata serta membangun pemahaman mereka sendiri terhadap fenomena tersebut.
3. Menjadi pembelajar yang mandiri
Pembelajaran berbasis masalah membantu siswa untuk menjadi mandiri dan otonom dalam pembelajaran. Melalui bimbingan yang terus-menerus dari guru, mereka didorong dan dibimbing untuk mengajukan pertanyaan dan mencari solusi terhadap masalah yang nyata. Siswa belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas ini secara mandiri, mempersiapkan mereka untuk tantangan mandiri dalam kehidupan mereka nanti.
Pembelajaran dengan model masalah dimulai dengan identifikasi masalah yang dapat muncul baik oleh siswa maupun guru. Selanjutnya, siswa mendalami pengetahuannya tentang apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan memilih masalah yang menarik bagi mereka, siswa didorong untuk aktif dalam proses belajar.
Ngalimun (2014: 94) menyatakan bahwa masalah yang menjadi fokus pembelajaran dapat diselesaikan oleh siswa melalui kerja kelompok, memberikan pengalaman belajar yang beragam seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, serta pengalaman terkait pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Ini menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah memberikan pengalaman belajar yang kaya kepada siswa. Dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah, diharapkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dapat ditingkatkan, memungkinkan mereka untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari berbagai pandangan tentang langkah-langkah dalam melakukan PBM, dapat disimpulkan bahwa tidak ada urutan langkah PBM yang tetap harus diikuti sesuai dengan urutan yang disarankan oleh para ahli pembelajaran. Yang terpenting adalah bahwa langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah harus disesuaikan oleh guru yang menerapkannya, terutama saat diterapkan dalam program pendidikan dasar dan menengah. Hal ini penting mengingat bahwa model pembelajaran ini awalnya dikembangkan dalam konteks program studi kedokteran, di mana mahasiswa dihadapkan pada berbagai kasus atau masalah.
- Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Â
Problem based learning merupakan suatu metode pembelajaran di mana peserta didik tidak hanya duduk diam sambil mendengarkan atau menghapal materi, tetapi aktif terlibat dalam berpikir, berkomunikasi, mencari, mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan. Fokus utama pembelajaran ini adalah menyelesaikan masalah yang diberikan. Problem based learning menganggap masalah sebagai titik sentral pembelajaran; tanpa adanya masalah, pembelajaran tidak akan berlangsung. Proses pemecahan masalah dalam PBL menggunakan pendekatan berpikir ilmiah, yang dapat berupa deduktif-induktif atau sistematik-empirik.
Menurut Herminarto Sofyan (2015: 121), karakteristik utama dari problem based learning dapat dirangkum sebagai berikut:
Â
1. Aktivitas didasarkan pada pernyataan umum: Setiap masalah diawali dengan pertanyaan umum, diikuti oleh masalah yang sering kali bersifat ill-structured atau kompleks, yang muncul selama proses pemecahan masalah. Untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar, peserta didik perlu menurunkan dan mengeksplorasi masalah-masalah yang lebih kecil, yang sering kali baru bagi mereka.
2. Belajar berpusat pada peserta didik, dengan guru sebagai fasilitator: PBL menekankan lingkungan belajar di mana peserta didik memiliki kebebasan untuk menentukan arah dan isi pembelajaran mereka sendiri. Mereka mengembangkan sub-pertanyaan, menetapkan metode pengumpulan data, dan merancang format untuk menyajikan hasil temuan mereka. Peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu dan mengarahkan proses belajar.
3. Kolaborasi dalam pembelajaran: Dalam PBL, peserta didik umumnya bekerja secara kolaboratif dalam kelompok. Model ini membantu mereka membangun keterampilan bekerja tim, yang menjadi penting karena PBL sering diterapkan di kelas-kelas dengan variasi kemampuan akademik yang beragam. Tiap kelompok peserta didik dapat fokus pada aspek yang berbeda dari masalah yang dihadapi.
4. Belajar terdorong oleh konteks masalah: Lingkungan PBL memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan seberapa banyak mereka perlu belajar untuk mencapai kompetensi tertentu yang ditetapkan. Hal ini mendorong penggunaan informasi dan konsep secara langsung dalam konteks situasi belajar. Guru bertindak bukan hanya sebagai sumber belajar utama, tetapi juga sebagai fasilitator, manajer, dan ahli strategi yang mendukung peserta didik dengan konsultasi dan akses ke sumber daya.
5. Pendekatan interdisipliner: PBL mendorong pendekatan lintas disiplin, di mana peserta didik ditantang untuk membaca, menulis, mengumpulkan dan menganalisis data, serta berpikir kritis dalam konteks yang lintas disiplin. Masalah yang diberikan sering kali melintasi batas-batas disiplin ilmu dan mendorong pembelajaran yang komprehensif.
Dengan demikian, problem based learning tidak hanya memfasilitasi pemahaman konsep, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kerja sama, dan pemecahan masalah yang esensial bagi peserta didik dalam menghadapi tantangan dunia nyata.
Pembelajaran problem based learning melibatkan beberapa tahapan dan tidak hanya terbatas pada serangkaian pertemuan kelas serta kerja tim kolaboratif. Kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik dalam PBL termasuk: (1) mengatur kegiatan kelompok; (2) melakukan pengkajian dan penelitian; (3) menyelesaikan masalah; dan (4) mensintesis informasi. Pemecahan masalah dalam konteks PBL tidak hanya melibatkan kerja sama antar peserta didik tetapi juga harus inovatif, unik, dan terfokus pada penyelesaian masalah yang relevan dengan kehidupan mereka, serta kebutuhan dan industri yang ada.
Pembelajaran berbasis masalah memiliki ciri-ciri yang mencakup dimulainya pembelajaran dengan pemberian masalah yang relevan dengan dunia nyata, di mana siswa secara berkelompok merumuskan masalah dan mengidentifikasi kekurangan pengetahuan mereka. Mereka mempelajari materi yang relevan dengan masalah tersebut secara mandiri dan menyajikan solusi dari masalah tersebut. Dalam konteks ini, peran pendidik lebih sebagai fasilitator daripada penyaji materi. Pendekatan ini melibatkan rancangan skenario masalah oleh pendidik, memberikan petunjuk tentang sumber bacaan tambahan, serta memberikan arahan dan saran saat siswa menjalankan proses pembelajaran.
Menurut Rusman (2017: 234), karakteristik pembelajaran berbasis masalah mencakup:
1. Masalah sebagai titik awal dalam pembelajaran.
2. Masalah yang diangkat bersifat nyata dan tidak terstruktur.
3. Memerlukan perspektif ganda dalam memahami masalah.
4. Menantang pengetahuan, sikap, dan kompetensi siswa, yang memerlukan identifikasi kebutuhan belajar baru.
5. Mengutamakan pengarahan diri dalam pembelajaran.
6. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam serta evaluasi informasi sebagai proses esensial.
Mudlofir Ali dan Evi Fatimur Rusydiyah (2011: 74) mengidentifikasi ciri utama strategi pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran dimulai dengan masalah yang relevan dengan dunia nyata siswa.
2. Organisasi pembelajaran berpusat pada masalah, bukan pada disiplin ilmu.
3. Memberikan tanggung jawab besar kepada siswa dalam mengelola proses belajar mereka sendiri dengan kerangka berpikir ilmiah.
4. Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang mereka pelajari melalui produk atau kinerja.
Â
Menurut Rideout dalam Yatim Riyanto (2011: 287), karakteristik esensial dari pembelajaran berbasis masalah meliputi:
1. Penyusunan kurikulum berdasarkan masalah yang relevan dengan hasil akhir pembelajaran yang diharapkan, bukan berdasarkan topik atau bidang ilmu.
2. Menciptakan kondisi yang mendukung kerja kelompok atau belajar mandiri serta kolaboratif dengan menggunakan pemikiran kritis dan membangun semangat untuk belajar sepanjang hidup.
Sovoie dan Hughes (dalam Made Warna, 2013: 91-92) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa ciri khas, antara lain:
1. Pembelajaran dimulai dengan sebuah permasalahan.
2. Permasalahan yang diberikan harus relevan dengan kehidupan nyata siswa.
3. Organisasi pembelajaran berpusat pada permasalahan daripada pada disiplin ilmu.
4. Memberikan tanggung jawab besar kepada siswa untuk aktif membentuk dan mengelola proses belajar mereka sendiri.
5. Menggunakan kelompok kecil dalam proses pembelajaran.
6. Menuntut siswa untuk menghasilkan produk atau kinerja yang menunjukkan pemahaman mereka terhadap materi yang dipelajari.
Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya menekankan pada pemecahan masalah secara akademis tetapi juga pada penerapan konsep-konsep dalam konteks yang relevan dengan kehidupan siswa.
Â
- Prinsip Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Â
Problem based learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang memiliki prinsip-prinsip khusus yang diterapkan saat diimplementasikan. Menurut Barrows (1985), "The basic outline of the PBL process is encountering the problem first, problem-solving with clinical skills and identifying learning needs in an interactive process, self-study, applying newly gained knowledge to the problem and summarizing what has been learned."
Prinsip utama PBL adalah menggunakan masalah nyata sebagai sarana untuk mengembangkan pengetahuan siswa serta kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Masalah nyata ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dipilih oleh guru atau peserta didik berdasarkan pada kompetensi dasar tertentu. Masalah tersebut bersifat terbuka (open-ended problem), yang berarti memiliki banyak jawaban atau strategi penyelesaian, mendorong peserta didik untuk mengidentifikasi berbagai strategi dan solusi. Masalah juga bersifat tidak terstruktur dengan baik (ill-structured), yang berarti tidak dapat dipecahkan langsung menggunakan formula atau strategi yang ada, tetapi memerlukan informasi tambahan dan kombinasi strategi untuk menyelesaikannya.
Kurikulum 2013 mengakui bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara pasif dari guru ke peserta didik. Dalam PBL, peserta didik ditempatkan sebagai pusat pembelajaran (student-centered), sementara guru berperan sebagai fasilitator yang membantu mereka aktif dalam menyelesaikan masalah dan membangun pengetahuan mereka melalui kerja sama dalam kelompok atau berpasangan.
Berikut adalah prinsip dasar implementasi PBL yang dapat disimpulkan dari uraian di atas:
1. Pembelajaran berorientasi pada siswa dan aktif.
2. Pembelajaran dilakukan melalui diskusi dalam kelompok kecil di mana semua anggota berkontribusi secara aktif.
3. Diskusi dimulai dengan masalah yang bersifat interdisipliner dan relevan dengan kehidupan nyata.
4. Diskusi aktif merangsang siswa untuk menggunakan pengetahuan sebelumnya (prior knowledge).
5. Siswa dilatih untuk belajar mandiri, menjadi dasar bagi pembelajaran seumur hidup mereka.
6. Pembelajaran berjalan efisien karena siswa mengumpulkan informasi sesuai dengan kebutuhan mereka (need to know basis).
7. Feedback diberikan selama tutorial untuk mendorong siswa meningkatkan upaya pembelajaran mereka.
8. Latihan keterampilan diberikan secara simultan dengan pembelajaran konsep.[11]
Â
- Langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Â
Berdasarkan prinsip dasar di atas, terdapat lima langkah utama dalam penerapan problem based learning (PBL). Langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemberian Masalah: Proses pembelajaran dimulai dengan memperkenalkan masalah atau situasi yang kompleks dan relevan dengan kehidupan siswa. Masalah ini tidak memiliki solusi yang jelas atau langsung, sehingga memerlukan analisis mendalam dan pemikiran kreatif untuk menemukan solusinya.
2. Penyelidikan dan Perencanaan: Siswa melakukan penyelidikan terhadap masalah yang diberikan. Mereka mengidentifikasi kebutuhan belajar mereka sendiri dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dipelajari lebih lanjut. Selain itu, mereka merencanakan strategi dan metode pengumpulan informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut.
3. Pemecahan Masalah: Langkah ini melibatkan proses aktif siswa dalam mencari solusi untuk masalah yang ada. Siswa menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh dari penyelidikan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah yang efektif. Mereka dapat bekerja secara individu atau dalam kelompok untuk mendiskusikan ide-ide dan mencoba berbagai pendekatan.
4. Presentasi dan Diskusi: Setelah mencapai solusi atau jawaban awal, siswa mempresentasikan temuan mereka kepada kelompok atau kelas. Presentasi ini tidak hanya menunjukkan solusi yang diusulkan, tetapi juga menjelaskan proses berpikir dan alasan di balik solusi tersebut. Diskusi yang berikutnya memungkinkan siswa untuk mempertimbangkan perspektif-perspektif berbeda, menerima umpan balik dari guru dan teman-teman mereka, serta memperbaiki atau mengembangkan solusi mereka lebih lanjut.
5. Evaluasi dan Refleksi: Langkah terakhir melibatkan evaluasi terhadap keseluruhan proses pembelajaran. Siswa tidak hanya mengevaluasi solusi yang mereka ajukan, tetapi juga merefleksikan proses belajar mereka sendiri. Mereka mempertimbangkan bagaimana pengalaman ini meningkatkan pemahaman mereka tentang materi, mengasah keterampilan berpikir kritis, dan meningkatkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah secara umum.
Â
Dengan mengikuti langkah-langkah ini, problem based learning (PBL) tidak hanya memberikan pemahaman tentang materi pelajaran, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemampuan bekerja secara kolaboratif, dan meningkatkan kemandirian belajar siswa yang esensial untuk persiapan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan di masa depan.
Secara mendasar, PBM dimulai dengan peserta didik aktif menyelesaikan masalah nyata yang telah ditetapkan atau disepakati. Proses penyelesaian masalah ini berdampak pada pengembangan keterampilan peserta didik dalam pemecahan masalah dan berpikir kritis, sambil juga membentuk pengetahuan baru.[12]
Â
- Keuntungan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Â
Model pembelajaran berbasis masalah (PBL) memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Ketika mereka menghadapi masalah dan mencari solusinya, mereka aktif menerapkan pengetahuan yang mereka miliki atau bahkan mencari pengetahuan baru yang diperlukan. Pembelajaran semakin bermakna ketika siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan, mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan dengan kehidupan nyata.
PBL memiliki beberapa keuntungan yang signifikan, seperti yang diuraikan oleh Johnson & Johnson (1984). Pertama, PBL meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah dengan melibatkan mereka dalam tugas-tugas kompleks yang mendorong mereka untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah yang efektif. Kedua, PBL meningkatkan kemampuan kolaboratif siswa melalui kerja tim, di mana mereka dapat mengasah keterampilan perencanaan, organisasi, negosiasi, dan pembuatan keputusan bersama untuk menyelesaikan tugas. Ketiga, PBL juga membantu siswa mengelola sumber daya dengan lebih efektif, termasuk mengorganisir waktu dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran mereka.
Namun, terdapat beberapa kekurangan dalam implementasi PBL, terutama di Indonesia di mana pendekatan ini masih baru. Salah satu tantangan utama adalah perlunya pelatihan dan pengembangan kemampuan bagi guru sebelum menerapkan PBL, agar mereka dapat memahami proses dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Wina Sanjaya (2012) juga mengidentifikasi beberapa kelebihan PBL, antara lain:
1. PBL membantu siswa untuk memahami materi pelajaran secara lebih mendalam melalui teknik pemecahan masalah.
2. PBL memberikan tantangan yang menantang untuk siswa, yang pada gilirannya memberikan kepuasan saat mereka berhasil menemukan pengetahuan baru.
3. PBL meningkatkan aktivitas belajar siswa dengan mendorong keterlibatan aktif dalam proses belajar.
4. PBL memfasilitasi transfer pengetahuan siswa untuk memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupan nyata.
5. PBL membantu siswa mengembangkan pengetahuan baru dan bertanggung jawab terhadap pembelajaran mereka sendiri, serta mendorong mereka untuk melakukan evaluasi diri terhadap hasil dan proses pembelajaran mereka.
6. PBL mengilustrasikan bahwa setiap mata pelajaran melibatkan cara berpikir yang penting dipahami siswa, bukan hanya sebagai materi yang diberikan oleh guru atau dari buku pelajaran.
7. Siswa cenderung menikmati proses pemecahan masalah dalam PBL.
8. PBL mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dan membantu mereka untuk menyesuaikan diri dengan pengetahuan baru yang mereka peroleh.
9. PBL memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan dalam konteks nyata.
10. PBL dapat meningkatkan minat siswa untuk terus belajar meskipun masa pendidikan formal mereka telah berakhir.
Dengan memanfaatkan kelebihan PBL ini, pendidikan dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih berarti dan relevan bagi siswa, mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan dunia nyata dengan lebih siap.
 Selain keunggulannya, pembelajaran berbasis masalah juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Jika siswa kurang minat atau tidak yakin bahwa masalah yang dipelajari dapat dipecahkan, mereka mungkin merasa enggan untuk mencoba memecahkan masalah tersebut.
2. Strategi pembelajaran melalui pemecahan masalah memerlukan waktu yang cukup untuk persiapan yang matang agar berhasil dilaksanakan.
3. Tanpa pemahaman yang jelas mengenai tujuan dari usaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, siswa mungkin tidak akan belajar dengan efektif atau tidak akan memiliki motivasi yang kuat untuk memahami materi yang ingin mereka pelajari.[13]
Â
- Implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Â
Pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan yang menggunakan masalah sebagai sumber motivasi untuk belajar. Keberhasilan penerapan pembelajaran ini sangat bergantung pada seleksi, desain, dan pengembangan masalah yang dipilih. Pentingnya memperkenalkan pembelajaran berbasis masalah dalam kurikulum adalah untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai, seperti penguasaan isi belajar dari perspektif heuristik dan pengembangan keterampilan pemecahan masalah.
Pembelajaran berbasis masalah juga melibatkan integrasi pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang relevan, seperti belajar kolaboratif, pemaknaan informasi, dan keterampilan berpikir reflektif serta evaluatif. Guru dalam metode ini lebih berperan sebagai fasilitator daripada pengajar langsung, dengan merancang skenario masalah, memberikan petunjuk dan saran kepada siswa, serta mengarahkan mereka saat menjalankan proses pembelajaran.
Meskipun bukan pendekatan yang baru, penerapan pembelajaran berbasis masalah mengalami perkembangan pesat terutama di perguruan tinggi di berbagai negara maju. Pendidikan tinggi diarahkan untuk membekali siswa dengan keterampilan yang relevan untuk kehidupan masa depan, seperti kemampuan pemecahan masalah, kerja dalam tim, dan keterampilan komunikasi.Â
Prinsip-prinsip pembelajaran berbasis masalah juga mendukung gagasan bahwa pentingnya bukan hanya pengetahuan yang dimiliki siswa, tetapi juga kecakapan yang diperoleh dari proses pembelajaran itu sendiri. Donaldson Woods menekankan bahwa pembelajaran berbasis masalah membantu siswa mengembangkan kecakapan sepanjang hidup mereka dalam memecahkan masalah, berkolaborasi, dan berkomunikasi.
Â
Menurut Lynda Wee, ciri khas proses pembelajaran berbasis masalah meliputi penggunaan kecakapan mengatur diri sendiri, kolaboratif, berpikir metakognitif, dan menggali informasi, yang semuanya relevan untuk persiapan dunia kerja. Dengan demikian, pembelajaran berbasis masalah mendorong partisipasi aktif siswa, berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih menitikberatkan pada transfer pengetahuan dari dosen ke siswa dengan cara penyampaian lisan dan ujian tertulis.
Secara keseluruhan, pembelajaran berbasis masalah adalah metode instruksional yang menantang siswa untuk belajar secara aktif, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi atas masalah yang nyata, dan mempersiapkan mereka untuk berpikir kritis, analitis, serta menggunakan sumber belajar yang relevan. Pembelajaran berbasis masalah yang efektif membutuhkan pemahaman dan kemampuan fasilitasi yang kuat dari pendidik. Meskipun menekankan kemandirian siswa dalam berdiskusi, mencari sumber belajar, membuat laporan, dan mempresentasikan hasil, pendidikan berbasis masalah yang sukses tetap memerlukan dukungan dari pendidik. Bahkan, peran pendidik dalam memfasilitasi sesi pembelajaran berbasis masalah dianggap sebagai salah satu faktor kunci dalam keberhasilan metode pembelajaran ini.
Hasil belajar yang dicapai dari pembelajaran berbasis masalah mencakup berbagai keterampilan penting bagi peserta didik. Mereka mengembangkan keterampilan penyelidikan, mampu mengatasi masalah, mempelajari peran orang dewasa melalui pengalaman langsung atau simulasi, serta menjadi pembelajar yang mandiri dan otonom.
Â
Agus Supriyono (2013: 92) mengemukakan bahwa salah satu hasil esensial dari pembelajaran berbasis masalah adalah pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Menurut Resnick, berpikir tingkat tinggi mencakup kemampuan untuk berpikir non algoritmik, kompleks, menghasilkan banyak solusi dengan pertimbangan yang cermat, melibatkan interpretasi, menggunakan berbagai kriteria, menghadapi ketidakpastian, mengatur proses berpikir, menemukan makna, mengidentifikasi pola pengetahuan, dan membutuhkan berbagai masalah. Pembelajaran berbasis masalah bukanlah tentang guru menyampaikan informasi sebanyak mungkin kepada siswa, tetapi lebih pada pengembangan kemampuan siswa dalam berpikir, memecahkan masalah, dan meningkatkan keterampilan intelektual mereka. Siswa terlibat dalam pengalaman nyata atau simulasi yang memungkinkan mereka memainkan peran orang dewasa dan menjadi pembelajar yang lebih otonom.
Menurut Sudjana dalam Trianto (2011: 96), manfaat khusus dari metode ini adalah pengembangan kemampuan pemecahan masalah, di mana guru membantu siswa merumuskan tugas-tugas daripada menyediakan jawaban langsung dari buku. Di lingkungan pembelajaran berbasis masalah, guru berperan sebagai fasilitator dan mentor, bukan sebagai sumber tunggal jawaban atas masalah yang diberikan.
Wahidmurni (2017: 186) menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji dan mengaplikasikan pengetahuan mereka, mengidentifikasi kebutuhan belajar mereka, mengembangkan keterampilan kerja kelompok, meningkatkan keterampilan komunikasi, menyatakan pendapat berdasarkan bukti yang diperoleh, meningkatkan fleksibilitas dalam mengolah informasi, dan mengembangkan keterampilan praktis yang berguna setelah menyelesaikan pendidikan formal. Secara keseluruhan, pembelajaran berbasis masalah memberikan siswa pengalaman belajar yang mendalam dan relevan, serta mendorong mereka untuk mengembangkan berbagai keterampilan esensial yang diperlukan dalam kehidupan dan karier mereka.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H