Menurut Lynda Wee, ciri khas proses pembelajaran berbasis masalah meliputi penggunaan kecakapan mengatur diri sendiri, kolaboratif, berpikir metakognitif, dan menggali informasi, yang semuanya relevan untuk persiapan dunia kerja. Dengan demikian, pembelajaran berbasis masalah mendorong partisipasi aktif siswa, berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih menitikberatkan pada transfer pengetahuan dari dosen ke siswa dengan cara penyampaian lisan dan ujian tertulis.
Secara keseluruhan, pembelajaran berbasis masalah adalah metode instruksional yang menantang siswa untuk belajar secara aktif, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi atas masalah yang nyata, dan mempersiapkan mereka untuk berpikir kritis, analitis, serta menggunakan sumber belajar yang relevan. Pembelajaran berbasis masalah yang efektif membutuhkan pemahaman dan kemampuan fasilitasi yang kuat dari pendidik. Meskipun menekankan kemandirian siswa dalam berdiskusi, mencari sumber belajar, membuat laporan, dan mempresentasikan hasil, pendidikan berbasis masalah yang sukses tetap memerlukan dukungan dari pendidik. Bahkan, peran pendidik dalam memfasilitasi sesi pembelajaran berbasis masalah dianggap sebagai salah satu faktor kunci dalam keberhasilan metode pembelajaran ini.
Hasil belajar yang dicapai dari pembelajaran berbasis masalah mencakup berbagai keterampilan penting bagi peserta didik. Mereka mengembangkan keterampilan penyelidikan, mampu mengatasi masalah, mempelajari peran orang dewasa melalui pengalaman langsung atau simulasi, serta menjadi pembelajar yang mandiri dan otonom.
Â
Agus Supriyono (2013: 92) mengemukakan bahwa salah satu hasil esensial dari pembelajaran berbasis masalah adalah pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Menurut Resnick, berpikir tingkat tinggi mencakup kemampuan untuk berpikir non algoritmik, kompleks, menghasilkan banyak solusi dengan pertimbangan yang cermat, melibatkan interpretasi, menggunakan berbagai kriteria, menghadapi ketidakpastian, mengatur proses berpikir, menemukan makna, mengidentifikasi pola pengetahuan, dan membutuhkan berbagai masalah. Pembelajaran berbasis masalah bukanlah tentang guru menyampaikan informasi sebanyak mungkin kepada siswa, tetapi lebih pada pengembangan kemampuan siswa dalam berpikir, memecahkan masalah, dan meningkatkan keterampilan intelektual mereka. Siswa terlibat dalam pengalaman nyata atau simulasi yang memungkinkan mereka memainkan peran orang dewasa dan menjadi pembelajar yang lebih otonom.
Menurut Sudjana dalam Trianto (2011: 96), manfaat khusus dari metode ini adalah pengembangan kemampuan pemecahan masalah, di mana guru membantu siswa merumuskan tugas-tugas daripada menyediakan jawaban langsung dari buku. Di lingkungan pembelajaran berbasis masalah, guru berperan sebagai fasilitator dan mentor, bukan sebagai sumber tunggal jawaban atas masalah yang diberikan.
Wahidmurni (2017: 186) menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji dan mengaplikasikan pengetahuan mereka, mengidentifikasi kebutuhan belajar mereka, mengembangkan keterampilan kerja kelompok, meningkatkan keterampilan komunikasi, menyatakan pendapat berdasarkan bukti yang diperoleh, meningkatkan fleksibilitas dalam mengolah informasi, dan mengembangkan keterampilan praktis yang berguna setelah menyelesaikan pendidikan formal. Secara keseluruhan, pembelajaran berbasis masalah memberikan siswa pengalaman belajar yang mendalam dan relevan, serta mendorong mereka untuk mengembangkan berbagai keterampilan esensial yang diperlukan dalam kehidupan dan karier mereka.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H