Kecerdasan buatan (AI) telah digunakan secara luas pada berbagai sektor, seperti kesehatan, pendidikan, dan industri. Dalam bidang kesehatan, AI digunakan untuk mendiagnosis penyakit dengan lebih cepat dan akurat, serta memberikan perawatan yang lebih personal. Di sektor pendidikan, AI berperan penting dalam pengembangan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Selain itu, dalam industri, AI meningkatkan efisiensi melalui otomatisasi proses produksi dan pengambilan keputusan yang berbasis data.
Penggunaan AI menawarkan banyak manfaat, salah satunya adalah peningkatan efisiensi. AI mampu melakukan tugas-tugas repetitif dengan cepat dan akurat, sehingga membebaskan waktu manusia untuk fokus pada tugas yang lebih kompleks. Dalam konteks kesehatan, AI juga membantu dalam diagnosis medis dan pengembangan obat baru, yang secara keseluruhan meningkatkan kualitas perawatan kesehatan. Selain itu, dengan adanya asisten virtual dan perangkat pintar yang didukung oleh AI, kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah dan terorganisir.
Meskipun AI memiliki banyak manfaat, ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah penggantian pekerjaan; banyak pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia kini dapat digantikan oleh mesin. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan pengangguran massal di berbagai sektor. Selain itu, ketergantungan yang berlebihan pada AI dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis dan kreativitas manusia.
Kecerdasan buatan dapat menurunkan kecerdasan manusia karena memudahkan banyak tugas yang sebelumnya membutuhkan pemikiran mendalam sehingga membuat orang- orang terlalu memanjakan pikirannya dan malas berfikir. Sebagai contoh, mahasiswa dan pelajar yang bergantung pada AI untuk menyelesaikan tugas mungkin tidak lagi mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya. Penggunaan AI tanpa pengawasan juga dapat membuat individu menjadi kurang proaktif dalam mengidentifikasi suatu permasalahan yang dihadapi dan mencari solusinya.
Jika penggunaan AI tidak terkontrol, beberapa akibatnya bisa sangat merugikan. Salah satunya adalah penurunan kemampuan berpikir kritis; ketidakmampuan untuk menganalisis informasi secara mendalam dapat menyebabkan penyebaran informasi yang salah seperti berita bohong yang memicu perselisihan. Selain itu, penggunaan AI yang berlebihan dapat membuat individu terlalu bergantung pada teknologi, sehingga kemampuan berpikir kreatif mereka menurun. Ketergantungan pada AI dapat mengurangi dorongan untuk berinovasi dan menciptakan ide-ide baru. Di sisi lain, pekerja yang tidak memiliki keterampilan teknologi mungkin kesulitan bersaing di pasar kerja yang semakin didominasi oleh AI.
AI diprediksi dapat mencetak generasi yang mengalami krisis intelektual. Namun, hal ini dapat terbantahkan bagi mereka yang memiliki keterampilan berpikir kritis. Pada artikel ini, saya akan menjelaskan tentang berpikir kritis dan bagaimana cara memanfaatkan AI serta kemampuan ini agar kita tidak menjadi bodoh.
Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara rasional, sistematis, dan terlepas dari kepercayaan apapun dengan tujuan untuk memahami hubungan antara ide dan fakta. Ini melibatkan analisis dan evaluasi informasi yang diterima, sehingga individu dapat membuat keputusan yang logis dan beralasan. Menurut Robert Ennis, berpikir kritis adalah penalaran yang berfokus pada keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Proses ini mencakup penilaian terhadap argumen dan informasi, serta mempertanyakan validitas dari kesimpulan yang ada.
Orang yang berpikir kritis memiliki beberapa ciri khas, seperti kemampuan analisis, skeptisisme, dan kemandirian dalam membuat keputusan. Namun, saya ingin menyampaikan pendapat pribadi mengenai ciri-ciri mereka yang mampu berpikir kritis.
Pertama, orang yang berpikir kritis biasanya memiliki kecenderungan untuk banyak bertanya. Pertanyaan yang mereka ajukan bukan sekadar banyak, melainkan mendalam dan terarah. Mereka sering kali bertanya hingga ke inti permasalahan dan tidak jarang mengajukan pertanyaan yang tampaknya di luar topik, tetapi masih memiliki keterkaitan.
Hal ini disebabkan oleh kemampuan reflective listening yang mereka miliki, yaitu kemampuan untuk menindaklanjuti jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Proses ini terus berulang hingga mereka merasa puas atau kehabisan waktu. Terkadang, percakapan antara orang yang berpikir kritis dan lawan bicaranya terhenti ketika mendapat jawaban seperti, "Coba tanyakan kepada yang ahli."
Dalam situasi seperti ini, orang yang berpikir kritis cenderung bergantung pada mesin pencari dan kecerdasan buatan. Mereka lebih memilih mencari jawaban sendiri untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka. Akibatnya, mereka sering kali menjadi kurang tertarik atau malas berkomunikasi langsung dengan orang lain.
Kedua, orang yang berpikir kritis biasanya mampu menarik benang merah dari berbagai hal, meskipun terlihat jauh atau sederhana. Dari sinilah ide-ide brilian sering kali muncul. Saya ingin membagikan pengalaman pribadi sebagai contoh bagaimana proses berpikir kritis bekerja dalam kehidupan saya.
Universitas Airlangga baru saja menyelenggarakan kegiatan expo sebagai bagian dari media pembelajaran bagi mahasiswa baru. Dalam kegiatan tersebut, kami diminta membuat sebuah proyek yang berangkat dari permasalahan sosial atau inovasi dan mengaitkannya dengan Sustainable Development Goals. Beberapa mahasiswa menunjukkan ide-ide kreatif mereka, sementara yang lain memanfaatkan kesempatan ini untuk berjualan.
Sekitar lima pekan sebelum expo berlangsung, saya memiliki ide bisnis sederhana. Di saat banyak orang memilih membuat produk unik, saya berpikir untuk menjual air mineral dingin dengan campuran es batu. Rencananya, air mineral ini akan dijual dengan harga sangat murah. Selain dapat menyegarkan orang-orang yang kepanasan, saya juga ingin menjadikannya sebagai media berbagi. Saya berencana memberikan air mineral secara gratis dengan syarat pembeli membeli produk kelompok saya atau membawa botol minum sendiri, tanpa menggunakan kemasan plastik sekali pakai.
Namun, rencana ini akhirnya batal karena perubahan cuaca di Surabaya, yang membuat ide tersebut tidak lagi relevan. Saya sempat berpikir ide ini akan sangat menguntungkan karena memiliki target pasar yang tepat, harga yang terjangkau, bahkan gratis, serta ramah lingkungan. Dari hampir 9.000 mahasiswa baru, apakah hanya saya yang memiliki ide brilian? Tentu saja tidak. Setiap orang memiliki ide dan inovasinya sendiri. Keberhasilan ide-ide tersebut bergantung pada bagaimana mereka menindaklanjutinya.
Ketiga, orang yang mampu berpikir kritis biasanya tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan suatu kasus dan cenderung terus mencari kebenaran dari berbagai sudut pandang. Sikap ini sering kali membuat mereka merasa seolah-olah tidak memiliki pendirian yang kuat (akan dijelaskan lebih lanjut pada poin berikutnya).
Sebagai contoh, beberapa bulan lalu saya mendapati beberapa berita dari Jepang mengenai menurunnya nilai-nilai etika di sana. Dikatakan bahwa semakin banyak pendatang yang menyebabkan masalah, seperti perampokan, pembunuhan, dan kejahatan lainnya. Kasus ini khususnya melibatkan warga negara Indonesia yang tinggal di Jepang untuk kuliah, bekerja, atau berkeluarga.
Mungkin Anda berpikir bahwa solusi terbaik adalah memperketat proses pembuatan visa dan melakukan deportasi terhadap warga asing yang dianggap bermasalah. Logikanya, semakin sedikit orang asing yang masuk, semakin kecil kemungkinan budaya Jepang mengalami perubahan negatif. Namun, apakah Anda pernah mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut?
Jika Jepang mendeportasi banyak warga negara asing, terutama orang Indonesia yang tertarik dengan budaya Jepang, populasi Jepang bisa semakin menurun. Perlu diingat, Jepang adalah negara dengan angka kelahiran yang sangat rendah, yang berarti risiko tidak adanya generasi penerus menjadi semakin besar. Dalam skenario terburuk, Jepang bisa menghadapi krisis demografi yang mengancam keberlangsungan negaranya.
Saya berpikir bahwa pemerintah Jepang saat ini tengah berada di persimpangan, mempertaruhkan budayanya demi menjaga kelangsungan negara di masa depan. Oleh karena itu, kita sering melihat berbagai peluang hidup di Jepang, seperti beasiswa kuliah, tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi, dan insentif finansial bagi keluarga yang memiliki anak.
Begitulah cara berpikir kritis bekerja. Meskipun banyak orang mungkin tidak setuju dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh pendatang, pemerintah Jepang tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Mereka mempertimbangkan risiko besar, termasuk kemungkinan hilangnya generasi penerus jika jumlah pendatang berkurang drastis.
Terakhir, karena memiliki banyak sudut pandang, orang yang berpikir kritis sering merasa seolah-olah tidak memiliki pendirian yang kuat. Saya termasuk salah satunya, dan saya akan membagikan pengalaman pribadi agar lebih mudah dipahami.
Saya pernah tertarik pada perdebatan mengenai hak aborsi, sebuah isu yang telah dibahas selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian orang, khususnya kalangan feminis, berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan karena tidak merugikan orang lain --- proses ini terjadi pada tubuh mereka sendiri dan merupakan hak individu. Argumen "my body, my choice" sering kali menjadi dasar pemikiran mereka. Pandangan ini membuat sebagian orang mendukung legalisasi aborsi.
Namun, di sisi lain, ada kelompok yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, termasuk Pancasila. Mereka berpendapat bahwa aborsi sama dengan pembunuhan. Dalam pandangan ini, aborsi berarti menggugurkan janin dengan sengaja, yang dianggap sebagai tindakan menghilangkan nyawa. Alasan seperti kehamilan yang tidak direncanakan atau ketidakmampuan merawat anak karena keterbatasan ekonomi dan waktu, dianggap tidak cukup kuat untuk mengabaikan hak hidup janin. Mereka berargumen bahwa janin juga memiliki hak untuk hidup dan menentukan masa depannya, sebagaimana prinsip feminis yang menekankan hak individu. Meski demikian, ada pula pendapat bahwa janin tidak memiliki hak karena tidak pernah meminta untuk dilahirkan, sehingga haknya belum sepenuhnya ada.
Sampai saat ini, saya belum mampu menarik kesimpulan atau menemukan titik terang dari perdebatan ini. Saya menyadari bahwa isu ini sulit diselesaikan secara logis karena melibatkan dua ideologi yang saling bertentangan. Ideologi tidak selalu berakar pada logika, melainkan pada etika seperti keadilan, kemanusiaan, dan hak.
Namun, jika orang yang mampu berpikir kritis terlibat dalam forum debat dan memiliki keterampilan berbicara yang baik, mereka bisa menjadi pemain kunci --- baik sebagai pendukung maupun penentang suatu mosi. Mereka mampu memperkirakan pernyataan, argumen, bahkan fakta yang akan disampaikan lawan debat, serta mengantisipasinya dengan berbagai gagasan yang terus berputar dalam pikiran mereka. Selain itu, mereka dapat menyerang lawan debat secara logis maupun psikologis.
Kemampuan reflective listening yang mereka miliki memungkinkan mereka mendengarkan secara mendalam, terus mencari celah dan kesalahan dalam opini lawan, serta mematahkan argumen tersebut dengan tepat. Cara berpikir seperti ini benar-benar bisa menjadi senjata yang sangat berbahaya dalam perdebatan.
Sejauh ini, Anda seharusnya sudah memahami tentang berpikir kritis. Sekarang, saya ingin membagikan beberapa tips tentang cara memulai dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis (tips ini murni berdasarkan pengalaman pribadi, jadi silakan lakukan riset mandiri untuk memperdalam).
1. Puaskan Rasa Ingin Tahu
Jika pikiran Anda terasa "berisik," cobalah untuk memuaskannya. Saya sendiri masih mencari cara untuk menerapkan tips ini sambil mengurangi kebiasaan buruk seperti kurang tidur dan kurang menjaga kesehatan. Pikiran saya sering kali lebih ramai dibandingkan lingkungan sekitar, terutama saat hendak tidur. Puluhan pertanyaan bermunculan dalam benak saya setiap malam.
Saya tidak ingin rasa penasaran dan mood saya berlalu begitu saja, sehingga saya sering kembali membuka laptop untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang terlintas.
Trik ini mungkin tidak mudah diterima oleh mereka yang sudah memiliki disiplin tinggi dalam mengatur waktu dan mampu menunda atau mengabaikan rasa ingin tahunya. Jika Anda merasa tips ini kurang cocok, cobalah tips lain yang akan saya bagikan berikutnya.
2. Biasakan Bertanya Secara Mendalam, Bukan Sekadar Meluas
Pada akhir semester, mahasiswa baru Universitas Airlangga yang mengambil mata kuliah Biologi dan Kimia Dasar ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke sebuah lembaga yang berfokus pada isu-isu lingkungan. Sebagian besar kelompok, termasuk kelompok saya, memilih mengunjungi rumah kompos Universitas Airlangga yang terletak di belakang area parkir kantin GOR Kampus C.
Sebelum berkunjung, kami merencanakan berbagai hal yang dibutuhkan, seperti menentukan waktu kunjungan, membawa alat perekam untuk dokumentasi, serta menyusun beberapa pertanyaan untuk wawancara dengan penanggung jawab rumah kompos. Kami diminta melaporkan hasil kunjungan dalam bentuk presentasi dan video rekaman.
Namun, ketika video diputar di depan kelas, para mahasiswa dan dosen merasa bosan dengan apa yang mereka saksikan. Sebagian besar video berisi wawancara yang monoton dan tidak menarik. Hal serupa juga terjadi pada kelompok lain. Bahkan, narasumber terlihat bosan saat mahasiswa mengajukan pertanyaan.
Bukan hal yang mengejutkan jika narasumber merasa demikian. Setiap tahun, ia menerima pertanyaan yang sama berulang kali dan jarang mendapatkan pertanyaan yang berbeda dan menarik. Pertanyaan seperti "Sejak kapan rumah kompos ini berdiri?" atau tentang tujuan rumah kompos didirikan sudah terlalu sering ia dengar. Saya yakin narasumber sudah lelah menghadapi pertanyaan yang sama setiap tahunnya. Saya sangat menghargai kesabaran Pak Ilham, penanggung jawab rumah kompos, karena beliau tidak pernah sekalipun berkata "Tadi sudah saya jelaskan ke teman kalian, silakan tanya mereka."
Saya kira Pak Ilham akan lebih senang jika mahasiswa datang dengan satu atau dua pertanyaan mendalam, kemudian mampu merespons jawaban beliau dengan pertanyaan lanjutan. Dengan begitu, percakapan akan terasa lebih efektif, interaktif, dan mahasiswa bisa memperoleh banyak wawasan, tidak hanya tentang kompos, tetapi juga tentang isu lingkungan secara global.
Meskipun demikian, saya menyadari bahwa Pak Ilham pasti tetap merasa kewalahan menghadapi pertanyaan mahasiswa yang membosankan. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan, kelancaran rezeki, dan keberkahan dalam pekerjaannya. Aamiin.
3. Meluangkan Waktu untuk Melamun
Anda perlu meluangkan waktu untuk merenung atau melamun. Beberapa orang mungkin lebih suka menggunakan istilah "meditasi" agar terdengar lebih keren. Saya pribadi sering melakukan ini ketika merasa bosan dan tidak mengantuk. Biasanya, saya melamun sambil mendengarkan lagu-lagu favorit saya.
Mungkin tips ini kurang cocok bagi mereka yang sangat disiplin dan menghargai waktu. Kelompok ini cenderung memilih aktivitas yang dianggap lebih produktif, seperti menyelesaikan tugas kuliah, mengikuti organisasi, atau mencari peluang kerja. Namun, melamun juga merupakan cara efektif untuk berpikir lebih jernih, mengevaluasi diri, dan berkomitmen menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan.
Menurut saya, setiap orang perlu menyisihkan sedikit waktu untuk melamun, apa pun topik yang dipikirkan --- entah itu soal asmara, perkuliahan, atau masalah finansial. Meski demikian, saya juga menyadari risiko melamun terlalu lama, yang dapat menyebabkan kehilangan waktu untuk aktivitas lain yang lebih bermanfaat.
4. Tetap Skeptis, Pelajari Semua Pandangan, dan Jangan Terburu-buru Menyimpulkan
Siapa yang tidak kenal dengan Agus Salim, seseorang yang sempat menjadi perbincangan karena terlibat kasus donasi miliaran rupiah. Kasus ini menyita perhatian publik selama lebih dari dua bulan tanpa ada kejelasan yang memuaskan. Mari kita analisis mengapa saat itu saya belum menemukan titik terang dalam kasus ini.
Awalnya, Agus menerima sejumlah uang melalui donasi, di mana uang tersebut seharusnya dialokasikan untuk biaya pengobatan. Sisa dana yang tidak terpakai akan dikelola oleh Novi, perwakilan dari yayasan yang bertanggung jawab atas donasi tersebut, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, Agus menggunakan uang tersebut bukan untuk berobat, melainkan untuk kebutuhan keluarga dan masa depannya. Hal ini memicu ketidakpuasan dari Novi, yang kemudian meminta agar dana tersebut dikembalikan dan dikelola sesuai peruntukannya.
Agus, yang merasa berhak atas dana tersebut, dibantu oleh Farhat Abbas untuk memperjuangkan haknya. Setelah tekanan yang cukup besar dari pihak Agus, Novi akhirnya sepakat bahwa dana tersebut akan sepenuhnya digunakan untuk Agus, meskipun tindakan ini bertentangan dengan aturan yang berlaku. Pada titik ini, saya sempat berpikir bahwa Agus adalah pihak yang bersalah, sementara Novi dan yayasannya adalah korban.
Namun, perspektif lain muncul dari seorang teman lama saya. Menurutnya, dalam kasus ini, semua pihak memiliki kesalahan, termasuk Novi. Ia berpendapat bahwa Novi seharusnya segera menarik diri dari permasalahan begitu Agus ketahuan menyalahgunakan dana. Demi menjaga citra yayasan, Novi memilih untuk melaporkan atau mempublikasikan tindakan Agus di media sosial. Sayangnya, langkah ini justru menyeret Novi lebih dalam ke dalam pusaran masalah. Novi dituduh merebut hak Agus, padahal dana tersebut sudah sepenuhnya menjadi milik Agus. Bahkan, Novi juga dihadapkan pada tuduhan-tuduhan lain yang tidak relevan seperti narkoba.
Situasi ini membuat saya semakin sulit menemukan jalan keluar. Satu-satunya titik terang muncul ketika Agus akhirnya menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada semua pihak, termasuk para donatur. Permintaan maaf ini penting karena selain melanggar perjanjian, pihak Agus juga sempat terindikasi melakukan intimidasi kepada donatur.
Dari sini saya menyadari bahwa orang yang mampu berpikir kritis cenderung terus-menerus mencari informasi dan enggan menyimpulkan sesuatu secara terburu-buru. Akibatnya, banyak orang dengan pola pikir kritis merasa kesulitan untuk berpihak atau menentukan sikap karena merasa informasi yang ada belum cukup.
5. Mengenali Kesalahan Berpikir
Dalam bagian ini, saya akan menjelaskan tiga istilah penting yang sering digunakan dalam dunia debat.
Yang pertama adalah Ad Hominem.
Ad hominem adalah kesalahan logika di mana seseorang menyerang karakter atau pribadi lawan debat, bukan argumen yang disampaikan. Singkatnya, ini terjadi ketika seseorang berkata, "Kamu tidak layak didengar karena kamu bukan ahli dalam bidang ini," padahal argumen yang disampaikan seharusnya dinilai berdasarkan logika dan fakta, bukan latar belakang pribadi.
Contoh ad hominem sangat sering kita temui, termasuk di lingkungan sekolah. Saya teringat pengalaman pribadi saat mengikuti ujian akhir semester mata pelajaran Matematika ketika SMA. Ketika menerima lembar soal, saya terkejut karena soal-soal tersebut disampaikan dalam bahasa Inggris. Meskipun saya tidak memiliki masalah dengan bahasa Inggris, saya merasa bahwa ujian seharusnya menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan apa yang diajarkan.
Banyak teman saya yang terkendala oleh bahasa, sehingga mereka kesulitan memahami sebagian besar soal, yang akhirnya berdampak pada nilai akhir mereka. Karena itu, saya mencoba mewakili teman-teman untuk menyampaikan rasa keberatan kepada guru. Saya menyarankan agar ujian menggunakan bahasa Indonesia saja, kecuali jika selama proses pembelajaran guru memang mengajarkan dalam bahasa Inggris.
Namun, niat saya yang hanya ingin memberikan saran tampaknya tidak diterima dengan baik. Guru tersebut justru merespons dengan merendahkan saya, "Ini adalah permintaan dari otoritas sekolah, dan saya adalah guru di sini. Memangnya kamu guru? Memangnya kamu berhak mengatur disini?"
Jawaban itu sangat mengecewakan saya. Rasa marah dan kecewa sempat mengganggu konsentrasi saya saat ujian berlangsung. Teman-teman lain juga kebingungan dan terus bertanya karena tidak memahami soal, baik karena keterbatasan pemahaman materi atau kendala bahasa.
Pada saat itu, saya memilih diam dan berusaha tetap fokus meskipun suasana kelas ramai oleh diskusi selama ujian. Pada akhirnya, saya berhasil meraih nilai tertinggi di kelas.
Istilah kedua adalah Ad Verecundiam.
Saya pertama kali mengenal istilah ini pada pertengahan semester ketika seorang teman lama yang kuliah di fakultas hukum di salah satu universitas di Malang meminta saya untuk mempelajarinya. Setelah memahami sekilas topik ini, saya merasa sangat tertarik dan berusaha memahaminya lebih dalam.
Ad Verecundiam adalah kesalahan logika yang terjadi ketika seseorang menganggap suatu pernyataan benar hanya karena disampaikan oleh figur otoritas, meskipun figur tersebut tidak memiliki keahlian di bidang yang sedang dibicarakan.
Sebagai contoh, saya ingin membahas Guru Gembul.
Siapa yang tidak mengenal Guru Gembul? Saya mengenalnya sebagai seorang kritikus yang sering membahas berbagai isu, terutama yang berkaitan dengan pendidikan dan keislaman. Dalam salah satu kontennya, Guru Gembul pernah mengkritik seorang pengikutnya di YouTube. Pengikut tersebut cenderung mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunakan setiap pernyataan Guru Gembul sebagai landasan berpikir, tanpa mempertimbangkan konteks atau melakukan riset lebih lanjut.
Banyak tokoh yang aktif di dunia maya, seperti Raymond Chin, Felix Siauw, Ferry Irwandi, dan Timothy Ronald, sering kali menekankan kepada pengikut mereka untuk tidak menjadikan satu sumber sebagai acuan tunggal. Mereka mendorong audiens untuk melakukan riset mandiri. Bahkan, dalam konten yang membahas prediksi pasar kripto, Timothy dan rekannya, Kalimasada, selalu mengingatkan, "Ini hanya analisis pribadi, silakan lakukan riset mandiri."
Guru Gembul juga sering kali menjadi makian, terutama ketika ia mengkritik tokoh-tokoh agama. Dalam sebuah debat melawan Ustadz Nuruddin, Guru Gembul berusaha menjelaskan argumennya secara logis, tanpa melibatkan keyakinan atau pandangan agama tertentu. Namun, ia diserang dengan argumen ad hominem, seperti "Anda ini tidak paham Islam," dan ad verecundiam, seperti "Ulama ini sudah mengatakan demikian, dan itu pasti benar karena beliau memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada Anda."
Selain itu, ia juga menghadapi serangan ad populum, yang pada akhirnya membuatnya memilih untuk mengalah. Perdebatan tersebut memicu kritik dari teman-teman dan pengikutnya.
Istilah terakhir adalah Ad Populum.
Bagi saya, istilah ini mudah diingat karena pengucapannya mirip dengan kata "popular", yang berarti terkenal atau mayoritas. Ad Populum adalah kesalahan logika yang terjadi ketika seseorang menganggap sesuatu benar hanya karena banyak orang mempercayainya.
Kesalahan ini sangat sering kita temui di Indonesia. Cara sederhana untuk menggambarkan Ad Populum adalah:
"Meskipun kamu bodoh, jahat, miskin, jelek, dan sebagainya, kamu akan tetap menang jika jumlahmu banyak."
Contohnya, dalam perdebatan antara Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin, audiens yang hadir mayoritas adalah santri-santri Ustadz Nuruddin. Saya tidak melihat satupun pendukung Guru Gembul dalam forum tersebut. Hal ini menyebabkan setiap pernyataan Ustadz Nuruddin dianggap benar karena para santri mendukung Ustadz Nuruddin, meskipun ia hanya mengutip perkataan ulama besar tanpa mempertimbangkan pandangan Guru Gembul.
Contoh lain adalah kasus truk yang mengalami kecelakaan dan menumpahkan minyak di jalan. Kita tentu ingat bagaimana reaksi orang-orang di sekitar lokasi kejadian.
Beberapa orang membantu sopir truk yang terluka dan ada pula yang merekam kejadian tersebut untuk dilaporkan atau disebarkan di media sosial. Namun, yang membuat berita ini viral bukanlah kecelakaannya, melainkan orang-orang yang membawa ember atau baskom untuk mengangkut minyak tumpah tersebut dan membawanya pulang.
Orang yang memiliki rasa empati tentu memahami bahwa tindakan ini salah dan bisa diproses secara hukum. Namun, banyak orang membiarkan kejadian tersebut karena jumlah pelaku pencurian minyak jauh lebih banyak daripada mereka yang tidak. Ada ketakutan akan dihakimi secara massal jika menegur. Bahkan, ketika diingatkan, pelaku sering kali berdalih:
"Itu yang di sana juga mencuri dan tidak ditegur, jadi tidak apa-apa kan?"
Contoh lain yang sering saya temui di kalangan seusia saya adalah fenomena pacaran. Dalam Islam --- dan mungkin di berbagai agama --- pacaran dilarang karena dianggap sebagai bentuk zina, sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat di Surat Al-Isra. Meski paham bahwa pacaran dilarang, banyak orang tetap melakukannya dan mencari-cari pembenaran, seperti:
"Membunuh dan menipu orang itu dosa. Pacaran juga dosa, tapi kalau tujuannya taaruf ya tidak apa-apa."
Atau:
"Kalau tujuannya untuk saling membantu dalam kebaikan, pacaran tidak masalah."
Namun, jika niatnya adalah membantu dalam kebaikan, bukankah berteman juga memiliki tujuan yang sama? Mengapa harus ada istilah khusus dalam hubungan pertemanan lawan jenis yang hanya ditujukan kepada satu orang? Apakah dalam pertemanan biasa kita tidak saling membantu?
Tentu saja, masih ada banyak istilah dan bentuk kesalahan logika lainnya yang bisa Anda pelajari. Saya sarankan untuk melakukan riset mandiri guna memperluas pengetahuan Anda dalam bidang ini.
Namun, saya tidak menyarankan untuk secara langsung mengungkapkan kesalahan berpikir orang lain, terutama dalam situasi di mana Anda berhadapan dengan mereka yang memiliki sifat-sifat diatas. Mengoreksi pendapat orang yang cenderung berpikir demikian bisa berdampak buruk bagi Anda, keluarga, dan hubungan pertemanan. Hal ini karena tidak semua orang mampu berpikir logis dan terbuka terhadap perbedaan pendapat.
Segala bentuk pemikiran yang membantah atau mengkritisi pendapat orang lain sebaiknya cukup disimpan dalam benak Anda, kecuali Anda merasa yakin bahwa lawan bicara Anda adalah seseorang yang mampu menilai dan mempertimbangkan argumen dengan baik.
Sebenarnya, apa yang baru saja Anda baca tentang tips berpikir tidaklah terlalu penting. Pada dasarnya, setiap manusia telah dibekali akal sehat yang mampu berpikir, termasuk berpikir kritis. Namun, seiring berjalannya waktu, kemampuan berpikir kritis ini perlahan terkikis, baik secara sadar maupun tidak.
Inti dari berpikir kritis adalah banyak bertanya. Jika semua orang bisa bertanya, apakah itu berarti mereka yang tidak mampu berpikir kritis adalah mereka yang tidak bisa bertanya? Tidak selalu. Banyak orang sebenarnya mampu dan ingin bertanya atau berargumen, tetapi mereka terhambat oleh satu hal penting yang pernah dirusak dalam diri mereka: kepercayaan diri.
Kepercayaan diri adalah keterampilan yang tidak akan pernah Anda dapatkan secara eksplisit dari sekolah, perkuliahan, atau bahkan internet. Seperti halnya akal untuk berpikir, kepercayaan diri seharusnya menjadi bekal setiap manusia. Sayangnya, semakin seseorang menjalani hidup, semakin kepercayaan dirinya terkikis. Kehilangan kepercayaan diri ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar kehilangan kemampuan berpikir kritis.
Mengapa?
Karena kehilangan kepercayaan diri berdampak pada keputusan, peluang karir, hubungan sosial, dan bahkan keberanian untuk berpikir kritis di masa depan. Berikut adalah beberapa faktor yang menurut saya dapat merusak rasa percaya diri seseorang.
1. Bad Parenting
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya. Mereka telah berhasil mendidik saya dengan baik, tanpa mengekang, dan memberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup saya sendiri. Di tengah kesibukan pekerjaan, mereka tetap menerapkan nilai-nilai parenting, sehingga mampu menjadi guru pertama yang baik bagi saya dan adik-adik saya.
Dari mereka, saya menyadari betapa pentingnya pendidikan parenting. Sayangnya, hal ini jarang diajarkan di sekolah. Banyak orang menikah hanya karena rasa cinta yang fana, warisan, atau ketertarikan fisik, tanpa memahami bahwa pernikahan akan melahirkan individu baru yang kehidupannya bergantung pada mereka.
Kita sering mendengar pepatah "banyak anak banyak rezeki". Namun, pepatah ini sering kali disalahpahami. Pada masa penjajahan, memiliki banyak anak berarti memiliki lebih banyak tenaga kerja untuk menghasilkan keuntungan. Namun, pepatah ini tidak lagi relevan di era modern.
Sebagian orang tua menaruh ekspektasi berlebihan pada anak-anak mereka. Kita sering mendengar cerita tentang orang tua yang mengharapkan anaknya menjadi polisi, pegawai negeri, tentara, atau profesi lain yang dianggap mulia. Hal ini bisa jadi karena orang tua tidak berhasil mencapai cita-cita tersebut dan berharap anaknya mampu melampaui mereka. Contohnya: "Dulu ayah pilot penerbangan sipil, nanti kamu harus jadi pilot penerbangan internasional atau militer ya." Namun, bagaimana jika anak lebih tertarik menjadi ilmuwan atau peneliti? Saat anak mengungkapkan keinginannya, orang tua mungkin merasa kecewa dan berkata: "Kamu tidak taat kepada orang tua." Atau: "Ayah dan ibu sudah membesarkan kamu, tapi kamu malah melawan." Hal ini membuat anak tertekan, kehilangan arah, dan ragu dalam mengambil keputusan.
Selain itu, sebagian besar anak pernah mengalami perbandingan sosial. Fenomena perbandingan sosial adalah hal yang hampir semua orang alami. Orang tua yang tidak memiliki niat kuat untuk memiliki anak sering kali menyesali kehadiran mereka. Perbandingan sosial biasanya dimulai dengan makian yang disertai rasa kecewa dan iri, misalnya: "Ibu malu sama tetangga yang anaknya sudah jadi manajer di perusahaan A, sedangkan kamu di rumah saja dan menganggur."
Menurut saya, kalimat seperti ini bukanlah motivasi, melainkan penghancur kepribadian. Anak yang terus-menerus dibandingkan akan kehilangan identitas dan semangat hidup.
Meskipun begitu, sebagian orang tua beranggapan bahwa metode ini adalah bentuk pendidikan disiplin:
"Ayah dulu kalau tidak dapat nilai 100, dipukul pakai rotan. Kamu harusnya bersyukur."
"Ini justru untuk memotivasi kamu agar menjadi lebih baik lagi"
Namun, bisa jadi kalimat ini hanya bualan untuk menutupi kekerasan dalam pola asuh mereka. Hal-hal seperti ini menanamkan ketakutan pada anak. Mereka menjadi takut terhadap kesalahan kecil, bahkan hingga dewasa, dan terus teringat bentakan orang tua di masa lalu.
2. Sekolah
Di sekolah, kepercayaan diri kita sering kali dirusak oleh sistem yang sangat familiar: sistem pemeringkatan. Meskipun saya sering mendapatkan nilai tinggi dan dianggap sebagai siswa pintar, saya tidak setuju dengan sistem pemeringkatan dalam institusi pendidikan.
Sistem ini cenderung menciptakan kelompok-kelompok yang dikotomis --- memisahkan siswa berdasarkan perolehan nilai, bukan kemampuan berpikir; memisahkan mana perguruan tinggi favorit dan mana yang bukan. Akibatnya, siswa dengan nilai rendah sering kali mengalami penghinaan dan stigmatisasi sebagai "bodoh." Masalah seperti bullying, segregasi, dan intoleransi kerap kali berakar dari pengelompokan semacam ini.
Pemeringkatan juga memicu perbandingan sosial, seperti yang terjadi dalam pola asuh di rumah. Guru dan orang tua sering kali terlibat dalam membandingkan siswa satu sama lain. Padahal, seharusnya sistem pendidikan menghargai siswa berdasarkan kompetensinya, memberikan apresiasi dan dukungan untuk mengembangkan potensi mereka. Fokusnya seharusnya adalah membina siswa agar mampu bersaing di tingkat yang lebih tinggi, baik nasional maupun internasional, bukan hanya menjadikan mereka alat promosi sekolah untuk menarik siswa baru.
Sekolah juga sering menyampaikan pengetahuan yang tidak berangkat dari pertanyaan. Saya merasa lebih memahami sesuatu dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri saya, dibandingkan pelajaran yang diberikan tanpa dorongan keingintahuan. Sejak kecil, saya sangat pandai dalam matematika, sehingga saya dan orang tua mengira bahwa saya memiliki bakat di bidang sains dan komputer.
Ketika mengikuti tes minat dan bakat, hasilnya menunjukkan bahwa program studi yang cocok untuk saya adalah arsitektur. Namun, saya merasa kurang setuju dengan hasil tes tersebut, meskipun tes tersebut juga merekomendasikan program studi seni pertunjukan karena bakat saya dalam musik.
Ketertarikan saya berubah drastis saat SMA, meskipun kemampuan saya di bidang sains tetap tinggi. Menurut saya, ada dua faktor yang mempengaruhi perubahan ini. Yang pertama adalah kualitas pembelajaran sains yang buruk. Ketika saya SMA, guru-guru sains terlalu memanjakan siswanya dengan alasan bahwa sains itu sulit. Hal ini membuat ketertarikan saya terhadap sains menurun. Yang kedua adalah karena saya memiliki teman dekat yang sangat tertarik pada ilmu sosial, khususnya hukum dan politik. Tumbuh di era konflik politik, saya banyak bertanya dan berdiskusi dengannya tentang dinamika kehidupan di Indonesia. Hal ini membuat ketertarikan saya terhadap ilmu sosial meningkat.
Meskipun begitu, saya tidak berhenti mempelajari sains. Namun, ketertarikan saya terhadap sains menjadi berkurang dan saya merasa kurang kreatif dalam mengajukan pertanyaan di bidang tersebut.
Saya mengkritik metode-metode pembelajaran dan kurikulum di sekolah, tetapi saya tidak memiliki rekomendasi konkret tentang metode apa yang terbaik. Saya percaya bahwa setiap siswa memiliki cara belajar yang unik, dan tanggung jawab untuk menemukan metode yang tepat ada pada diri mereka sendiri, bukan sepenuhnya tanggungan sekolah atau pihak lain.
Selain itu, mencatat adalah metode yang tidak berguna. Saya mungkin menjadi salah satu siswa yang kurang disukai guru di sekolah karena dianggap tidak sopan. Salah satu alasannya adalah karena saya hampir tidak pernah mencatat pelajaran. Saya memilih untuk tidak mencatat karena saya percaya bahwa pelajaran dari guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan. Saya lebih memilih menggunakan waktu di kelas untuk mendengarkan, bertanya, dan berdiskusi.
Dalam konteks ini, saya sering dianggap sombong dan malas, tetapi saya tidak terlalu peduli. Namun, kekhawatiran muncul ketika siswa diwajibkan mengumpulkan catatan selama satu semester untuk dinilai. Meskipun awalnya saya tidak peduli, saya khawatir jika nilai saya terancam dan berpengaruh pada peluang masuk universitas pilihan.
Saya tidak mengatakan bahwa mencatat itu membuat seseorang menjadi bodoh, atau bahwa siswa harus berhenti mencatat. Jika mencatat membantu kalian memahami materi, maka lanjutkan. Bagi saya, mencatat justru membuat saya tertinggal dalam memahami pelajaran. Meskipun begitu, setiap orang memiliki preferensi belajar yang berbeda. Pilihlah cara belajar yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan kalian masing-masing.
3. Pacaran
Beberapa lingkungan pertemanan dapat menurunkan kepercayaan diri dan menghambat kemampuan berpikir bebas seseorang. Namun, ini bukan berarti saya menganjurkan untuk tidak memiliki teman atau untuk memilih-milih teman. Sampai saat ini, saya tidak memiliki teman yang selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan saya, karena ketergantungan seperti ini bisa berdampak negatif, mirip seperti hubungan asmara yang tidak sehat.
Sekitar tiga bulan lalu, saya melihat sebuah konten di Instagram yang menampilkan seorang mahasiswa --- sebut saja Fulan --- yang sedang makan makanan murah menggunakan uang saku dari orang tuanya. Video itu direkam oleh temannya --- sebut saja Fulano --- yang merasa prihatin terhadap Fulan karena terjebak dalam hubungan asmara. Dalam video tersebut, Fulan terlihat makan dengan tas belanjaan mewah di sebelahnya. Fulano menasihati Fulan, "Bro, orang tua lu kasih duit buat kuliah, bukan buat pacar lu."
Secara tersirat, Fulano menyampaikan bahwa hubungan asmara Fulan sudah tidak lagi sehat. Seharusnya, uang yang diberikan orang tuanya digunakan untuk kebutuhan hidup, seperti makan, laundry, dan transportasi. Namun, Fulan tampaknya tidak ingin berdebat atau berpikir panjang. Ia hanya berkata, "Ya, namanya juga cinta. Kalau cewek senang, cowok juga ikut senang."
Di sini, terlihat bahwa perasaan cinta Fulan mengalahkan akal sehat dan kemampuannya dalam membuat keputusan. Secara perlahan, kemampuan berpikir kritis terkikis, terutama dalam konteks percintaan.
Kepercayaan diri dan kemampuan berpikir kritis juga sangat bergantung pada kesehatan mental seseorang. Semakin sehat mental seseorang, semakin tinggi pula kemampuannya untuk berpikir jernih dan percaya diri.
Beberapa pekan lalu, saya kembali menemukan konten di Instagram yang menunjukkan pidato seorang pembina upacara di sekolah. Dalam pidatonya, pembina tersebut menyatakan bahwa orang yang terlibat dalam hubungan asmara cenderung memiliki tekanan mental yang lebih tinggi. Video ini cukup viral, jadi Anda bisa mencarinya sendiri. Namun, di sini saya ingin membuktikan pernyataan tersebut.
Orang yang sedang menjalani hubungan asmara biasanya lebih suka mendengarkan lagu-lagu bertema cinta, terutama yang bernuansa galau. Meskipun terdengar sepele, lagu-lagu seperti ini bisa memicu rasa cemas dan curiga terhadap pasangan. Pikiran-pikiran negatif mulai muncul, seperti kekhawatiran bahwa pasangan memiliki hubungan dengan orang lain. Hal ini dapat menimbulkan rasa posesif, yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, termasuk dalam berpikir dan membangun kepercayaan diri.
Situasi ini bisa semakin buruk jika terjadi dalam hubungan jarak jauh. Saya sering melihat mahasiswa baru yang menjalin hubungan sejak SMA dan berusaha mempertahankan hubungan tersebut meskipun kuliah di tempat yang berbeda. Ketika hubungan jarak jauh ini dipenuhi rasa curiga dan prasangka, hubungan yang seharusnya membangun malah menjadi beban.
Sebagai contoh, misalkan saya memiliki pacar saat SMA dan kami melanjutkan kuliah di tempat yang berbeda. Saya mengunggah foto kerja kelompok bersama teman perempuan di Instagram, yang tidak lebih dari bagian tugas kuliah. Namun, pacar saya mungkin merasa tidak nyaman dan bertanya, "Itu kamu foto sama siapa? Pacar baru ya?"
Prasangka ini bisa menciptakan tekanan, baik bagi saya maupun bagi pacar saya. Saya merasa tertekan karena harus menghadapi pertanyaan yang berulang, sementara pacar saya juga tersiksa dengan pikirannya sendiri. Pada akhirnya, ini berdampak buruk pada aktivitas akademik kami berdua.
Contoh ini menjelaskan bagaimana hubungan asmara yang tidak sehat dapat merusak kesehatan mental dan kemampuan berpikir bebas. Hubungan sosial yang salah dapat mengikis kepercayaan diri dan membuat seseorang kehilangan kemampuan berpikir kritis.
Sebaiknya, hindarilah perilaku eksternal seperti ini sebelum faktor eksternal merusak kepribadian Anda dan menimbulkan rasa takut yang berlebihan. Rasa takut sering kali berasal dari pengalaman di masa lalu, bukan dari dalam diri Anda sendiri.
Anda memiliki kapasitas untuk menghadapi situasi seperti ini. Namun, terkadang kurangnya keberanian dan idealisme membuat Anda ragu dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, buang rasa takut. Sulit? Memang, tetapi semua adalah proses. Jangan biarkan diri Anda terbawa arus dan kehilangan jati diri. Bentuklah pribadi yang lebih baik. Jika tidak ada yang mendukung, carilah sendiri cara untuk berkembang. Pada akhirnya, Anda yang bertanggung jawab atas pertumbuhan diri Anda.
Sejauh ini, Anda seharusnya sudah memahami pentingnya berpikir kritis, membangun kepercayaan diri, dan menghadapi tantangan untuk menjadi individu yang mampu berpikir bebas serta membuat keputusan logis. Sekarang, saya akan membagikan cara memanfaatkannya untuk memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya melalui kecerdasan buatan (AI). Dengan begitu, kita bisa menjadi lebih pintar dan membuktikan bahwa anggapan "AI membuat masyarakat menjadi bodoh" adalah keliru.
1. Menggunakan AI untuk Latihan Soal
Banyak institusi pendidikan melarang peserta didiknya menggunakan AI dalam mengerjakan latihan soal. Padahal, jika digunakan dengan benar, AI justru bisa menjadi alat yang membantu proses belajar, terutama bagi mereka yang benar-benar ingin memahami materi (bukan sekadar mencari jawaban instan).
Saya sering menggunakan metode ini ketika kesulitan mengerjakan soal fisika di SMA. Topik-topik yang membutuhkan kemampuan numerik sulit dipahami dalam suasana kelas yang interaktif dan penuh diskusi. Saya membutuhkan ketenangan untuk mencerna soal dan menyelesaikannya dengan baik.
Di kelas, saya sering kali tidak memahami penjelasan guru. Oleh karena itu, saya memanfaatkan AI untuk mencari pembahasan soal di luar jam pelajaran. Penjelasan dari AI seringkali lebih mudah dipahami daripada yang disampaikan di kelas.
Jangan pernah berpikir, "Saya tidak mau menggunakan AI karena takut AI yang belajar, bukan saya." Sebaliknya, anggaplah AI sebagai alat untuk membantu Anda memahami materi. Tujuan AI adalah mempermudah pekerjaan manusia --- dalam konteks ini, membantu Anda memahami soal dan cara penyelesaiannya.
Masalah utamanya bukan soal menyontek atau takut disebut melakukan kecurangan akademik, tetapi apakah Anda benar-benar mau belajar atau tidak karena itu adalah inti dari tujuan akademik.
2. Literasi Digital dan AI
Ada metode lain yang mungkin terdengar konyol, tetapi bisa membuat Anda semakin pintar jika dilakukan secara disiplin.
Sejak lima bulan lalu, saya tertarik mempelajari tentang mata uang kripto. Saya melihat potensi kripto sebagai solusi dalam menghadapi kejahatan keuangan seperti korupsi, inflasi, dan mafia uang, meskipun tidak semua mata uang kripto aman. Karena itu, penting untuk mempelajarinya lebih dalam.
Banyak tokoh besar, perusahaan, dan bahkan negara mulai berinvestasi dalam aset kripto, terutama Bitcoin, dan melakukan penambangan menggunakan energi dalam skala besar layaknya pembangkit listrik. Saya yakin mata uang kripto akan lebih banyak digunakan di masa depan. Oleh karena itu, saya merasa perlu mempelajarinya, tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk memahami konsepnya, seperti desentralisasi dan ekosistem kripto.
Namun, saya tidak tahu harus mulai dari mana karena materi ini tidak diajarkan di sekolah atau oleh orang tua saya. Di sinilah AI, seperti Perplexity, membantu saya.
Saya membagi topik "mata uang kripto" menjadi beberapa bagian, mirip dengan bagaimana kita mempelajari pelajaran di sekolah yang terdiri dari bab-bab. Saya meminta AI, "Sebutkan 10 topik penting tentang mata uang kripto." Perplexity kemudian memberikan daftar topik yang relevan.
Misalnya, salah satu topik adalah "cara menambang mata uang kripto." Saya melanjutkan dengan perintah, "Jelaskan secara rinci, jelas, dan mudah dipahami tentang cara menambang mata uang kripto." AI memberikan penjelasan sesuai permintaan saya. Jika saya merasa perlu mendalami lebih jauh, saya membagi topik tersebut menjadi subtopik dengan memberi perintah "Sebutkan 10 topik penting tentang cara menambang mata uang kripto".
Selama ada kemauan untuk belajar dan membaca, metode ini dapat membuat Anda semakin pintar dan memahami suatu topik dengan lebih dalam. Saya juga pernah menggunakan metode ini untuk mempelajari sejarah Indonesia pada awal abad ke-20, seperti Perang Aceh, Politik Etis, dan semangat perjuangan rakyat Indonesia.
3. Mendalami Materi Kuliah dengan AI
Metode lain yang saya gunakan adalah memanfaatkan AI untuk mendalami materi perkuliahan. Sering kali, presentasi yang disampaikan oleh dosen atau teman sekelas hanya berisi poin-poin singkat dan kurang mendalam.
Setelah presentasi, biasanya mereka membagikan dokumen atau sumber yang digunakan. Saya menyalin seluruh teks tersebut (Ctrl + A dan Ctrl + C), lalu menempelkannya di Perplexity. Setelah itu, saya memberikan perintah, "Ubah teks berikut agar lebih jelas dan mudah dipahami."
Saya merasa lebih nyaman membaca teks yang lebih elaboratif daripada slide presentasi yang hanya berupa poin-poin singkat. Jika saya ingin memperdalam lagi, saya akan meminta AI, "Sebutkan 5 topik penting dalam teks ini." Dengan cara ini, saya bisa memahami materi lebih mendalam.
Metode ini mungkin terdengar sederhana, tetapi sangat efektif dalam membantu saya memahami materi yang sulit.
Mungkin ada chatbot yang lebih baik dari metode ini, tetapi sejauh ini saya belum menemukannya atau belum tertarik mencobanya. Ada juga kemungkinan saya memiliki akses ke chatbot yang lebih canggih, tetapi bersifat berbayar. Yang jelas, selama Anda memiliki keinginan untuk belajar, AI bisa menjadi alat yang sangat bermanfaat dalam proses pendidikan dan pengembangan diri.
Demikian yang dapat saya bagikan dalam artikel ini. Semoga apa yang disampaikan dapat bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan bagi Anda. Perlu diingat, apa yang saya paparkan bukanlah satu-satunya pedoman. Tetaplah belajar dari sumber lain.
Jika terdapat kekeliruan dalam artikel saya atau ada hal yang ingin didiskusikan, silakan tinggalkan komentar. Saya sangat terbuka terhadap kritik dan perbedaan pandangan.
Sebagai penutup, saya teringat sebuah kutipan yang saya temukan dalam perjalanan dari Taman Suropati menuju Taman Menteng:
"Kebenaran mungkin bisa kalah, tapi kebenaran tidak pernah salah."
Ini adalah artikel pertama saya. Jika Anda menyukai ide-ide yang saya sampaikan, jangan ragu untuk memberikan like, komentar, dan membagikan artikel ini. Terima kasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H