Banyak teman saya yang terkendala oleh bahasa, sehingga mereka kesulitan memahami sebagian besar soal, yang akhirnya berdampak pada nilai akhir mereka. Karena itu, saya mencoba mewakili teman-teman untuk menyampaikan rasa keberatan kepada guru. Saya menyarankan agar ujian menggunakan bahasa Indonesia saja, kecuali jika selama proses pembelajaran guru memang mengajarkan dalam bahasa Inggris.
Namun, niat saya yang hanya ingin memberikan saran tampaknya tidak diterima dengan baik. Guru tersebut justru merespons dengan merendahkan saya, "Ini adalah permintaan dari otoritas sekolah, dan saya adalah guru di sini. Memangnya kamu guru? Memangnya kamu berhak mengatur disini?"
Jawaban itu sangat mengecewakan saya. Rasa marah dan kecewa sempat mengganggu konsentrasi saya saat ujian berlangsung. Teman-teman lain juga kebingungan dan terus bertanya karena tidak memahami soal, baik karena keterbatasan pemahaman materi atau kendala bahasa.
Pada saat itu, saya memilih diam dan berusaha tetap fokus meskipun suasana kelas ramai oleh diskusi selama ujian. Pada akhirnya, saya berhasil meraih nilai tertinggi di kelas.
Istilah kedua adalah Ad Verecundiam.
Saya pertama kali mengenal istilah ini pada pertengahan semester ketika seorang teman lama yang kuliah di fakultas hukum di salah satu universitas di Malang meminta saya untuk mempelajarinya. Setelah memahami sekilas topik ini, saya merasa sangat tertarik dan berusaha memahaminya lebih dalam.
Ad Verecundiam adalah kesalahan logika yang terjadi ketika seseorang menganggap suatu pernyataan benar hanya karena disampaikan oleh figur otoritas, meskipun figur tersebut tidak memiliki keahlian di bidang yang sedang dibicarakan.
Sebagai contoh, saya ingin membahas Guru Gembul.
Siapa yang tidak mengenal Guru Gembul? Saya mengenalnya sebagai seorang kritikus yang sering membahas berbagai isu, terutama yang berkaitan dengan pendidikan dan keislaman. Dalam salah satu kontennya, Guru Gembul pernah mengkritik seorang pengikutnya di YouTube. Pengikut tersebut cenderung mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunakan setiap pernyataan Guru Gembul sebagai landasan berpikir, tanpa mempertimbangkan konteks atau melakukan riset lebih lanjut.
Banyak tokoh yang aktif di dunia maya, seperti Raymond Chin, Felix Siauw, Ferry Irwandi, dan Timothy Ronald, sering kali menekankan kepada pengikut mereka untuk tidak menjadikan satu sumber sebagai acuan tunggal. Mereka mendorong audiens untuk melakukan riset mandiri. Bahkan, dalam konten yang membahas prediksi pasar kripto, Timothy dan rekannya, Kalimasada, selalu mengingatkan, "Ini hanya analisis pribadi, silakan lakukan riset mandiri."
Guru Gembul juga sering kali menjadi makian, terutama ketika ia mengkritik tokoh-tokoh agama. Dalam sebuah debat melawan Ustadz Nuruddin, Guru Gembul berusaha menjelaskan argumennya secara logis, tanpa melibatkan keyakinan atau pandangan agama tertentu. Namun, ia diserang dengan argumen ad hominem, seperti "Anda ini tidak paham Islam," dan ad verecundiam, seperti "Ulama ini sudah mengatakan demikian, dan itu pasti benar karena beliau memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada Anda."