Selain itu, ia juga menghadapi serangan ad populum, yang pada akhirnya membuatnya memilih untuk mengalah. Perdebatan tersebut memicu kritik dari teman-teman dan pengikutnya.
Istilah terakhir adalah Ad Populum.
Bagi saya, istilah ini mudah diingat karena pengucapannya mirip dengan kata "popular", yang berarti terkenal atau mayoritas. Ad Populum adalah kesalahan logika yang terjadi ketika seseorang menganggap sesuatu benar hanya karena banyak orang mempercayainya.
Kesalahan ini sangat sering kita temui di Indonesia. Cara sederhana untuk menggambarkan Ad Populum adalah:
"Meskipun kamu bodoh, jahat, miskin, jelek, dan sebagainya, kamu akan tetap menang jika jumlahmu banyak."
Contohnya, dalam perdebatan antara Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin, audiens yang hadir mayoritas adalah santri-santri Ustadz Nuruddin. Saya tidak melihat satupun pendukung Guru Gembul dalam forum tersebut. Hal ini menyebabkan setiap pernyataan Ustadz Nuruddin dianggap benar karena para santri mendukung Ustadz Nuruddin, meskipun ia hanya mengutip perkataan ulama besar tanpa mempertimbangkan pandangan Guru Gembul.
Contoh lain adalah kasus truk yang mengalami kecelakaan dan menumpahkan minyak di jalan. Kita tentu ingat bagaimana reaksi orang-orang di sekitar lokasi kejadian.
Beberapa orang membantu sopir truk yang terluka dan ada pula yang merekam kejadian tersebut untuk dilaporkan atau disebarkan di media sosial. Namun, yang membuat berita ini viral bukanlah kecelakaannya, melainkan orang-orang yang membawa ember atau baskom untuk mengangkut minyak tumpah tersebut dan membawanya pulang.
Orang yang memiliki rasa empati tentu memahami bahwa tindakan ini salah dan bisa diproses secara hukum. Namun, banyak orang membiarkan kejadian tersebut karena jumlah pelaku pencurian minyak jauh lebih banyak daripada mereka yang tidak. Ada ketakutan akan dihakimi secara massal jika menegur. Bahkan, ketika diingatkan, pelaku sering kali berdalih:
"Itu yang di sana juga mencuri dan tidak ditegur, jadi tidak apa-apa kan?"
Contoh lain yang sering saya temui di kalangan seusia saya adalah fenomena pacaran. Dalam Islam --- dan mungkin di berbagai agama --- pacaran dilarang karena dianggap sebagai bentuk zina, sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat di Surat Al-Isra. Meski paham bahwa pacaran dilarang, banyak orang tetap melakukannya dan mencari-cari pembenaran, seperti: